“Tidak terelakkannya peristiwa kataklisme (mahabencana) bermakna, kita harus menyiapkan salinan peradaban kita dan memindahkannya ke angkasa luar dan di luar jangkauan bahaya”. Robert Shapiro, kimiawan pendiri The Aliance to Reque Civilization, dalam tulisan Ben Austen “After Earth”, Popular Science, Maret 2011.
”Ada pertumbuhan ekonomi”, itu yang sering kita dengar. Namun, pada sisi lain, masih ada banyak kabar tentang kemiskinan, tentang kemacetan, tentang tantangan berat di depan karena membubungnya harga bahan bakar minyak dan pangan, dan perubahan iklim pada umumnya. Semua itu membuat negara kita terpojok dalam kesulitan. Alasannya, ketika tidak ada keruwetan persoalan di atas saja kita sudah keteteran, apalagi ketika tantangan riil di atas tiba-tiba seperti tumplek-blek menimpa kita. Salah satu buktinya adalah betapa kita masih perlu berjuang keras untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang tenggatnya tinggal 5 tahun lagi.
Yang memprihatinkan, justru ketika tantangan riil tersebut sudah terpampang di depan mata, masalah kita—berbeda dengan sebagian besar negara lain di kawasan ini—masih saja belum beranjak dari cekcok politik, yang membuat tenaga, waktu, dan pikiran habis tersedot untuk pemantapan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang jauh lebih memprihatinkan, pada saat yang sama, bangsa lain sibuk berpikir untuk meraih masa depan, terbang tinggi untuk menjangkau impian jangka panjang, selain menuntaskan permasalahan hari ini dan mencoba mengantisipasi problem masa depan.
Strategi Singapura
Apa yang bisa kita katakan kalau membaca statistik Singapura seperti ini: angka pertumbuhan 2010 sebesar 14,5 persen, investasi asing langsung meningkat 123 persen. Berbagai aturan dirancang dan dilaksanakan, yang tujuannya adalah untuk merangsang dan memudahkan datangnya modal dan investasi. Sebagian telah tuntas dilaksanakan dengan hasil gemilang.
Di bidang teknologi informasi-komunikasi tak lama lagi akan ada media ecosystem untuk produksi digital dan fasilitas penyiaran, serta wadah bagi pencipta konten yang dibangun atas dasar kluster industri animasi yang ada dewasa ini.
Tak jauh dari mediapolis, seperti dilaporkan Neel Chowdury di Time (14/3), ada Fusionopolis dan Biopolis, yang akan menopang pengembangan kluster rekayasa dan biomedik. Jangan dilupakan pula, sebelum ini Singapura juga sudah berhasil menarik perusahaan seperti Procter & Gamble yang menanamkan dana sebesar 250 juta dollar AS untuk pembangunan pusat inovasi.
Selain untuk masa depan, Singapura juga menanggulangi persoalan hari ini, dalam hal ini kemacetan lalu lintas. Dengan aplikasi cerdas yang diunduh ke telepon seluler, warga yang sehari-hari punya mobilitas tinggi akan memiliki informasi lalu lintas berguna yang akan membantu mobilitasnya dari satu tempat ke tempat lain.
Solusi itu juga ingin ditawarkan ke kota- kota yang lalu lintasnya sering macet parah, seperti Bangkok, Mumbai, New York, dan tentunya Jakarta.
Kereta ”Hayabusa”
Masih dalam soal transportasi, Jepang yang sudah maju dalam pembuatan kereta peluru tampaknya tak kunjung berhenti melahirkan inovasi baru. Tanggal 5 Maret lalu, Jepang meluncurkan kereta peluru terbaru ”Hayabusa” (Elang) yang mampu melaju dengan kecepatan 300 kilometer per jam. Keretanya dibuat amat mewah dan nyaman, menyerupai kelas bisnis di pesawat terbang (AFP).
Sebagaimana Singapura yang juga ingin menawarkan eksper di bidang lalu lintas ke kota-kota macet dunia, Jepang pun—yang sudah membangun jaringan kereta peluru sejak tahun 1960-an—ingin menjual teknologi infrastruktur yang dikuasainya ke luar negeri, termasuk AS.
Kereta berwarna hijau dan perak seri E5 Hayabusa menempuh jarak Tokyo-Aomori di ujung utara Pulau Honshu yang berjarak 675 kilometer dalam tempo 3 jam 10 menit.
Baru diluncurkan, Hayabusa sudah ditargetkan untuk bisa mencapai kecepatan 320 kilometer per jam tahun depan. Dengan itu, ia akan jadi kereta paling cepat di Jepang.
Kita sebaliknya masih ingat, KA Parahyangan yang termasuk ikon dalam mobilitas Jakarta-Bandung itu pun bukannya berkembang menjadi kereta modern yang bisa menempuh kedua kota dalam tempo dua jam, tetapi malah tamat riwayatnya karena dibiarkan kalah oleh otomotif.
Impian tinggi
Terbang lebih tinggi daripada sekadar urusan terestrial (Bumi), sejumlah kalangan kini sudah memikirkan zaman ketika manusia harus tinggal di luar Bumi, setelah Bumi tak lagi layak untuk didiami, baik karena lingkungannya sudah rusak karena polusi maupun perubahan iklim.
Di luar alasan yang mungkin terdengar muskil atau futuristik di atas, ada alasan yang boleh jadi lebih riil. Seperti dicatat oleh Ben Austen dalam artikelnya di majalah Popular Science (3/11), alasan untuk pindah dari Bumi sebagian besar justru karena faktor manusia, dan kalau begini, pasti bukan urusan masa depan jauh.
Disebutkan, jumlah bahan yang dikonsumsi manusia setiap tahun kini sudah melebihi apa yang bisa ditanggung oleh Bumi, dan World Wide Fund for Nature memperkirakan, pada 2030 kita akan mengonsumsi sumber daya alam yang nilainya setara dengan dua planet setiap tahunnya.
Selain itu, Center for Research on the Epidemiology of Disasters, organisasi kemanusiaan internasional, melaporkan, hantaman kekeringan, gempa bumi, hujan bercurah tinggi, dan banjir sepanjang dekade silam lipat tiga kali dibandingkan angka tahun 1980-an dan hampir 54 kali dibandingkan tahun 1901 ketika data mengenai soal-soal di atas pertama kali dikumpulkan.
Melihat fenomena perubahan iklim yang semakin dirasakan nyata dalam satu-dua tahun terakhir, juga mencuatnya berbagai krisis menyangkut pangan dan lingkungan (seperti semakin banyaknya wilayah pantai yang dilanda rob berkelanjutan), maka ide untuk koloni angkasa—betapapun sejauh ini masih erat dikaitkan dengan fiksi ilmiah—jadi terasa dekat dan relevan.
Pertanyaan yang harus kita jawab, dalam suasana kehidupan berbangsa yang terus-menerus diliputi hiruk-pikuk politik dan upaya survival kekuasaan, seberapa banyak lagi sumber daya kita yang masih tersisa untuk melahirkan terobosan iptek atau menekuni ide besar seperti pengereman pemanasan global atau koloni angkasa? [OLEH NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, 9 Maret 2011