Selain persoalan bayarnya gede, jadwal seleksi mandiri itu menimbulkan masalah tersendiri bagi murid kelas III SMTA (SMK dan SMA) yang akan mengikutinya. Hampir semua seleksi mandiri tersebut dilaksanakan sebelum atau berdekatan dengan ujian nasional, sehingga sering mengacaukan konsentrasi para murid kelas III SMTA antara stres menghadapi ujian nasional dan stres menghadapi seleksi mandiri. Inilah keluhan terbanyak atas pola seleksi mandiri yang dilaksanakan oleh setiap PT BHMN. Murid, orang tua, sekolah, dan Kementerian Pendidikan Nasional direpotkan oleh seleksi mandiri tersebut. Sebab, ternyata banyak anak kelas III SMA yang dinyatakan lolos seleksi mandiri oleh suatu PT BHMN, tapi tidak lulus ujian nasional. Kasus-kasus seperti itu mengacaukan anak, orang tua, maupun kebijakan pendidikan itu sendiri. Kebijakan satu dan lainnya tidak sinkron.
Ramah anak
Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh dan Wakil Menteri Fasli Jalal memperhatikan sungguh keluhan masyarakat mengenai jadwal seleksi mandiri yang mengacaukan konsentrasi tersebut, sehingga perlu membuat kebijakan baru mengenai jadwal seleksi mandiri yang lebih ramah anak, yaitu dilaksanakan setelah SNMPTN. Kebijakan baru tersebut akan sangat membantu murid Kelas III SMTA untuk berkonsentrasi menghadapi ujian nasional dan SNMPTN secara bertahap. Dengan kata lain, kebijakan ini amat berpihak pada murid. Cukuplah anak saya termasuk menjadi korban terakhir dari kebijakan pendidikan yang amburadul. Pada 2010, saat kelas III SMA, konsentrasinya terpecah antara ujian masuk UGM, ujian nasional, dan Seleksi Masuk (Simak) UI, yang pelaksanaannya berdekatan. Ujian masuk UGM dilaksanakan hanya dua hari setelah ujian nasional, sedangkan Simak UI satu minggu setelah ujian nasional. Bisa dibayangkan tingkat stres mereka. Belum selesai stres menghadapi ujian nasional, mereka sudah harus mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk UGM, dan belum sembuh stres menghadapi ujian nasional dan ujian masuk UGM, sudah harus bersiap diri mengikuti Simak UI. Tidak bisa memilih salah satu saja, karena semuanya tidak menentu nasibnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai orang tua dan sekaligus pengamat kebijakan pendidikan, penulis saat itu merasakan betapa jadwal seleksi mandiri beberapa PT BHMN tersebut sangat tidak ramah anak, padahal targetnya adalah anak-anak kelas III SMTA. Tapi mengapa kondisi psikologis anak tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun jadwal seleksi. Padahal kalender pendidikan, termasuk jadwal ujian nasional sudah dimuat oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada awal tahun ajaran baru. Jadi para pemimpin PTN/PT BHMN tentu mengetahui jadwal ujian nasional tersebut, kecuali memang jadwal ujian nasionalnya berubah dari yang tertulis pada kalender pendidikan sebelumnya.
Ketentuan baru mengenai jadwal seleksi mandiri yang harus dilaksanakan setelah SNMPTN itu diharapkan lebih ramah terhadap anak, karena konsentrasi anak akan diarahkan secara bertahap: pertama adalah menghadapi ujian nasional, kedua menghadapi SNMPTN, setelah itu baru berkonsentrasi menghadapi seleksi mandiri. Dan mengingat kuota SNMPTN sekarang mencapai 60 persen, keikutsertaan dalam seleksi mandiri sebetulnya bersifat opsional. Artinya, bagi mereka yang tidak yakin akan hasil SNMPTN dan mempunyai uang cukup, dapat mengikuti seleksi mandiri. Tapi, bila yakin akan hasil SNMPTN, tidak perlu ikut seleksi mandiri. Ini berbeda ketika seleksi mandiri dilaksanakan sebelum ujian nasional dan SNMPTN, serta kuota mahasiswa yang diterima melalui seleksi mandiri jauh lebih besar dibanding yang diterima melalui SNMPTN. Maka, mau tidak mau, para murid SMTA harus berjuang untuk bisa ikut seleksi mandiri.
Mengacaukan sistem
Sistem seleksi mandiri yang dilaksanakan oleh PTN/PT BHMN sebelum ujian nasional atau SNMPTN itu memang mengacaukan sistem pendidikan nasional. Praktis pendidikan terasa berjalan secara awut-awutan tanpa aturan. Ada kesan, PT BHMN seperti negara dalam negara yang dapat membuat aturan sendiri atas nama otonomi kampus. Mereka tidak menyadari bahwa yang menjadi korban dari kebijakan tersebut adalah anak-anak kita sendiri.
Kekacauan bukan hanya dialami oleh murid kelas III SMA, tapi juga orang tua karena harus menyiapkan biaya besar dalam waktu yang bersamaan. Untuk menyiapkan anak menghadapi ujian nasional, orang tua harus mengeluarkan biaya banyak untuk ikut bimbingan belajar. Demikian pula untuk ikut seleksi mandiri, mereka menyiapkan dana besar untuk biaya pembelian formulir dan keperluan lain, sampai membayar secepatnya setelah dinyatakan lolos. Di sini, orang tua pun ikut stres. Bersyukurlah karena Menteri Pendidikan M. Nuh berani mengambil keputusan tegas dan membuat peraturan baru bahwa seleksi mandiri hanya boleh dilaksanakan setelah pelaksanaan SNMPTN. Ini jelas langkah baik yang perlu diapresiasi dalam rangka memperbaiki akses masyarakat untuk masuk ke PTN. Langkah baik berikutnya yang kita tunggu adalah memastikan kembalinya PT BHMN menjadi PTN paling lambat 31 Desember 2012, agar PTN terkemuka tetap terjaga sebagai pusat keunggulan (center of excellence) bangsa. Semoga ini terjadi!
DARMANINGTYAS, PENGURUS MAJELIS LUHUR TAMANSISWA, YOGYAKARTA
Sumber: Koran Tempo, 25 Januari 2011