Terbatasnya pengetahuan terkait pola tanam dan minimnya harga jual di pasar menyebabkan petani enggan menanam ubi kayu. Padahal banyak produk turunan yang berbahan dasar ubi kayu.
Hal ini disampaikan peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang, Jawa Timur, Dr Sholihin di Bogor, Kamis (20/8). Dari data Badan Pusat Statistik, produktivitas ubi kayu tahun 2014 sebesar 23,5 juta ton dari total lahan panen 1 juta hektar.
Terjadi sedikit peningkatan dari data tahun 2013, dengan luas lahan 1,2 juta hektar. “Walau meningkat, jumlah ini masih rendah karena potensi ubi kayu bisa mencapai 100 ton per hektar,” ujar Sholihin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keterbatasan ini terjadi karena minimnya pengetahuan mengelola tanaman ubi kayu di kalangan petani. Mereka lebih memilih tanaman bernilai jual tinggi, seperti padi, jagung, dan kedelai.
Kebanyakan petani, kata Sholihin, hanya menanam satu jenis tanaman di lahannya, padahal ubi kayu dapat dijadikan tanaman pengganti. Adapun lahan pertanian Indonesia, 25 persen berjenis inseptisol (tanah dengan kandungan tanah liat dan pasir seimbang) serta ultisol (tanah merah dan masam), sangat cocok untuk menanam ubi kayu.
Sholihin menjelaskan, agar produktivitas meningkat, perlu dicari varietas tanaman yang cocok dengan kondisi lahan, penggunaan pupuk yang sesuai jenis dan dosis, serta pengendalian gulma dan hama secara intensif.
Saat ini, ada 11 varietas unggul hasil persilangan Litbang UK2, Malang, Darul Hidayah, Adira, UJ3, dan UJ5 dengan kelemahan dan keunggulan unik. Ada yang peka terhadap hama hingga bisa tahan pada musim kering.
“Penggunaan varietas tanaman disesuaikan dengan kondisi lingkungan,” ucapnya. Untuk pupuk, perlu kombinasi pupuk organik dan anorganik secara tepat. Dari penelitiannya, untuk menghasilkan umbi segar 35,7 ton per hektar (ha), rata-rata penghilangan nutrisi nitrogen dari tanah adalah 55 kg N/ha.
Tingkat penyerapan nitrogen lebih rendah daripada tanaman lain, seperti jagung (96 kg N/ha), kacang tanah (105 kg N/ha), gandum (56kgN/ha), juga padi (60kg N/ha). “Ubi kayu masih bisa tumbuh di tanah yang miskin unsur hara,” katanya. Sementara ubi kayu banyak menyerap kalium.
Upaya lain ialah pengendalian hama tungau merah yang biasa menyerang pada musim kemarau. Serangan ini bisa menurunkan produktivitas 20-53 persen.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Made Jana Mejaya mengatakan, keterbatasan produktivitas ini akibat petani menanam secara mandiri. “Belum ada program khusus, pemerintah tengah fokus mengembangkan tiga komoditas, yakni padi, jagung, dan kedelai,” ucapnya. Masa tanam ubi kayu 7 bulan, sedangkan padi 4 bulan.
Sholihin menjelaskan, sejumlah perusahaan mulai melirik ubi kayu karena produk turunannya cukup banyak, antara lain kerupuk, keripik, tape, dan tepung. Di Pati, Jawa Tengah, ada 500 industri kecil dan menengah kekurangan pasokan sehingga harus membeli dari Lampung dan Kalimantan. (B12)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Pengetahuan Terbatas, Produktivitas Ubi Kayu Kurang Optimal”.