Belum apa-apa, judul ”Seksualitas” di atas mungkin sudah membuat jengah. Padahal, pendidikan seksualitas sesungguhnya sangat positif karena mencakup bidang yang sangat luas, mulai dari pengenalan identitas diri dan jenis kelamin, organ-organ reproduksi dan fungsinya, hingga bagaimana merawat dan menjaga kesehatannya.
Seksualitas juga menyangkut hubungan antarmanusia, terutama laki-laki dan perempuan, pengenalan dan pengendalian emosi, serta yang terpenting menghindarkan diri dari pelecehan dan kekerasan seksual. Inilah yang sungguh dibutuhkan anak ataupun remaja untuk melindungi dirinya.
Sayang, membahas seksualitas secara terbuka masih banyak ditabukan. Guru dan orangtua tak terlatih menjawab pertanyaan anak dan remaja seputar seks. Tidaklah mengherankan apabila dalam diskusi ”Remaja, Seksualitas, dan Teknologi: Remaja Tidak Sendirian” yang berlangsung pekan lalu, masih muncul pertanyaan, ”Apa sih pacaran sehat itu?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitulah ironinya. Remaja dengan perkembangan seksualitas dan rasa keingintahuan yang menggoda justru menghadapi jalan buntu. Adanya adalah larangan ini dan itu, sementara gejolak hormonal dalam diri begitu meledak-ledak. Ke mana mereka harus belajar untuk mengendalikannya secara benar?
Dalam diskusi yang diselenggarakan Rutgers WPF—organisasi nirlaba di bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, dan hak asasi manusia—muncul informasi: remaja dengan segenap kenaifannya memilih mencari informasi soal kesehatan reproduksi di media online. Dengan memakai mesin pencari semacam Google, mereka mengakses informasi, mulai dari seluk-beluk berpacaran, penyakit menular seksual, hingga kehamilan tak diinginkan.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 2014 menunjukkan, dari 88,1 juta pengguna aktif internet, 49 persennya berusia 18-25 tahun. Padahal, di sisi lain, informasi yang tersedia di internet tidak selalu akurat dan kadang menyesatkan. Kondisi ini sejalan dengan kesimpulan penelitian Rutgers WPF bahwa banyak informasi yang tersedia online tetapi sulit menemukan yang kredibel dan ramah remaja.
Bahkan sebaliknya, remaja justru rentan menjadi korban kekerasan di internet. Banyak remaja menjadi korban, mulai dari penipuan, cyberbullying, hingga pelecehan seksual. Salah satunya adalah honeytrap, jebakan janji online yang berujung pada penipuan atau kekerasan saat pertemuan offline.
Maka, ketika dalam diskusi, para pembicara menjadi sasaran pertanyaan bertubi-tubi. Ada Ignatius Haryanto (Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan), Dena Rachman (artis), dan Dhyta Caturini (aktivis). ”Pacaran sehat adalah pacaran dengan kasih sayang yang tak berlebihan,” kata Dena menjawab pertanyaan peserta di atas.
Jawaban semacam itu tentu saja butuh penjelasan lebih lanjut. Tidak berlebihan itu seperti apa? Bagaimana praktiknya?
Bekerja sama dengan aneka institusi—Kemsos, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, PKBI DKI Jakarta, PKBI DI Yogyakarta, PKBI Jawa Timur, Aliansi Remaja Indonesia, Yayasan Pelita Ilmu, dan CD Bethesda—Rutgers WPF menerapkan program access, services, knowledge (ASK) sejak 2013. Itu untuk mendorong akses pendidikan sekaligus layanan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang ramah remaja.
Program beraplikasi android yang bisa diunduh di Googleplay ini bertajuk ”Sobat ASK” dengan tagline #kamu tidak sendirian. Di sinilah remaja bisa belajar dan mendapatkan jawaban yang tepat dan sehat.
Modul e-course atau kursus online ini melengkapi modul pendidikan dan kesehatan reproduksi yang sudah digelar di sejumlah sekolah, seperti ”Aku dan Kamu” untuk TK, ”Setara-semangat Masa Remaja” untuk SMP, dan ”Daku-Dunia Remajaku Seru” untuk SMA, serta modul khusus di lembaga pemasyarakatan anak ataupun sekolah luar biasa.
Harapannya tentu saja membuat remaja melek teknologi dan informasi, juga menjadi melek seksualitas.–AGNES ARISTIARINI
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Seksualitas”.