Nama Achmad Mochtar bagi khalayak mungkin tidak dikenal. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi Direktur Lembaga Eijkman (kini Lembaga Biologi Molekuler Eijkman). Dia pula yang akhirnya dihukum penggal pada 3 Juli 1945 saat Jepang menguasai Indonesia. Tuduhannya, bertanggung jawab atas kematian 900 tenaga romusa yang diberi vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) di Klender, Jakarta.
“Nama baik beliau harus dikembalikan,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki pada peluncuran buku War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case Murder by Medicine yang diluncurkan tepat 70 tahun wafatnya Prof Dr Achmad Mochtar, Jumat (3/7), di Makam Kehormatan Belanda (Ereveld) Ancol, Jakarta. Penulis buku adalah Direktur Eijkman-Oxford Clinical Research Unit di Jakarta, J Kevin Baird, dan Sangkot Marzuki.
Menurut Sangkot, Mochtar dan para staf Lembaga Eijkman lain semasa pendudukan Jepang terbukti tak terkait kematian sekitar 900 romusa akibat vaksinasi. Nama baik Mochtar perlu dipulihkan. Bahkan, pantas diberi gelar pahlawan nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah Indonesia memberi penghargaan Bintang Jasa Kelas Tiga bagi Mochtar tanpa menyatakan tegas ia tak bersalah. “Untuk yang telah dilakukannya, penghargaan itu terlalu rendah,” ujar Sangkot.
Berdasarkan fakta yang ada, Mochtar diketahui berkorban nyawa dengan menandatangani pengakuan bertanggung jawab atas kematian romusa yang diberi vaksin TCD. Namun, seluruh staf dibebaskan melalui kesepakatan Mochtar dengan polisi militer Jepang atau Kenpetai.
Pertengahan 1944, lebih dari 900 romusa di wilayah Klender meninggal dengan tanda-tanda tetanus, yakni demam tinggi disertai kejang. Mereka divaksinasi TCD beberapa hari sebelumnya. Pemerintah Jepang menuduh Mochtar, beberapa staf, dan dokter Jawatan Kesehatan Kota Jakarta menyabotase vaksin dengan kuman tetanus sehingga ditangkap dan disiksa Kenpetai. Sejumlah staf Lembaga Eijkman dan Jawatan Kesehatan Kota Jakarta memang menyuntikkan vaksin itu pada romusa, tetapi atas perintah penguasa Jepang.
Mereka dijadikan kambing hitam atas kejahatan perang yang hingga kini belum jelas siapa pelakunya. Sekretaris Jenderal AIPI Budhi M Suyitno mengatakan, ada jejak kegiatan cabang unit 731 militer Jepang di Bandung. Saat itu, Lembaga Pasteur Bandung memproduksi vaksin TCD untuk romusa.
Berdasarkan catatan ilmiah Lembaga Eijkman, Mochtar dan staf tak bersalah. Disebutkan, romusa dari Klender dibawa ke rumah sakit, kini RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Seluruh romusa meninggal, padahal sudah diberi anti serum. Seharusnya tingkat kematian kurang dari 100 persen.
Jatman, analis Lembaga Eijkman, mengotopsi pasien tetanus yang meninggal dan mengambil jaringan bagian tubuh yang disuntik sebelum ikut ditangkap Kenpetai. Dari hasil eksperimen pengulturan, tak ditemukan bakteri tetanus. Ia memeriksa toksin pada vaksin itu lalu mengekstraknya dan menyuntikkan pada tikus. Tikus kejang-kejang dan mati.
Menurut Sangkot, penguasa saat itu sengaja memberi toksin tetanus untuk mengetes vaksin yang diberikan sebelumnya. Kegiatan yang seharusnya diujikan dulu pada hewan itu ternyata dilakukan pada romusha. (JOG)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2015, di halaman 13 dengan judul “Achmad Mochtar dan Kematian 900 Romusa”.