Hasil riset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan, orang Alor di Nusa Tenggara Timur memiliki struktur genetika paduan Papua dengan Austronesia. Itu didukung penggunaan bahasa dan bersesuaian dengan cerita lisan yang diyakini warga lokal. Temuan itu menunjukkan peran penting pulau-pulau di zona Wallacea sebagai jembatan penghubung dua kelompok populasi besar di Nusantara.
“Orang Alor rata-rata memiliki sekitar 90 persen motif genetika Papua dan 10 persen motif Austronesia. Ini menunjukkan ada jejak pembauran purba dalam pembentukan populasi Alor,” kata Herawati Sudoyo Supolo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi, di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Minggu (5/11).
Penutur Austronesia dikenal sebagai populasi yang masuk ke Indonesia sekitar Taiwan-Filipina dan daratan Asia 5.000 tahun lalu. Sementara penutur Papua, atau kerap disebut Trans-New Guinea, masuk ke Nusantara dari Afrika 50.000 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riset genetika orang Alor dimulai sejak 2003 dengan mengambil sampel darah sekitar 97 wakil masyarakat dari berbagai suku di pulau ini. Sampel genetik ini awalnya diuji dengan DNA mitokondria untuk mengetahui jalur kekerabatan lewat jalur perempuan. Ditemukan, Alor berkelompok dengan Papua.
Pemeriksaan dengan menggunakan penanda kromosom Y, yang digunakan untuk mengetahui kekerabatan melalui jalur lelaki, ternyata juga menunjukkan orang Alor memiliki haplotipe (motif genetik) Papua. Selain itu ditemukan haplotipe Austronesia meski dengan jumlah lebih kecil.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Martinus Kafelkai (dua dari kanan), warga Kampung Tradisional Takpala, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, berfoto bersama wisatawan, Minggu (5/11). Penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan, orang Alor di Nusa Tenggara Timur memiliki struktur genetika paduan Papua dengan Austronesia.
Herawati menambahkan, sampel itu baru-baru ini diuji kembali dengan teknologi terkini memakai inti DNA atau DNA autosome. Kajian ini bisa memberikan secara lebih akurat tentang pembauran yang terjadi karena bisa menunjukkan separuh motif genetika ayah dan separuh motif ibu ke sampel yang diuji. “Hasilnya menguatkan bahwa orang Alor punya dua motif, Papua lebih dominan,” ucapnya.
Pembauran genetika Papua dengan Austronesia ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Alor, tetapi juga di kepulauan lain di zona Wallace, seperti di Flores, Lembata, Adonara, Pantar, Pulau Timor, Maluku, dan Maluku Utara. “Secara gradual, semakin ke timur persentase motif Papua pada populasi di zona ini makin meningkat,” katanya.
Pembauran budaya
Pembauran dua unsur genetika yang berbeda asal-usul ini juga terlihat dari berbagai unsur kebudayaan masyarakat Alor. Misalnya, dari aspek bahasa, menurut kajian Summer Institute of Linguistic (SIL) International tahun 2017, di Pulau Alor terdapat 16 kelompok bahasa atau kelompok etnis. Sebanyak 15 kelompok etnis ini memiliki bahasa ibu Trans-New Guinea (Papua), dan hanya satu kelompok etnis yang menuturkan bahasa Austronesia, yaitu subetnis Alor.
Ayub A Afuiata (66), tetua adat Kampung Adat Takpala, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, mengatakan, berdasarkan cerita lisan, leluhurnya dari jalur perempuan datang dari luar, sedangkan lelakinya sudah lebih dulu ada di Alor. “Kalau orang-orang tua dulu disebutkan dari dua perempuan, Fikar dan Tilakar, yang datang dari langit, sementara leluhur lelaki datang dari Gunung Ateang Afeang,” kata Ayub, yang merupakan kelompok subetnis Abui.
Cerita lisan tentang perbedaan asal leluhur lelaki dan perempuan ini sebenarnya banyak ditemukan pada masyarakat tradisional di Indonesia, seperti kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan di Jawa serta kisah sejenis pada masyarakat Wehali di Pulau Timor. Menurut Herawati, kisah-kisah ini sebenarnya memberikan makna tentang adanya pembauran asal-usul leluhur manusia Indonesia di masa lalu, yang ternyata terbukti secara genetika. (AIK)
Sumber: Kompas, 6 November 2017