Belakangan ini nama Universitas Cenderawasih begitu populer. Hampir setiap aksi demo di Jayapura selalu menyeret nama Uncen. Aksi itu selalu menebar rasa cemas di masyarakat, tetapi universitas itu tetap dilihat sebagai ”obor” di tengah kegelapan. Uncen membawa harapan besar bagi masyarakat Papua.
Saat aksi demo, Kamis (16/3), Rektor Uncen Prof Dr Bert Kambuaya MBA bertemu seorang warga yang datang ke depan Kampus Uncen untuk memblokir ruas jalan yang menghubungkan Kota Jayapura-Sentani itu.
Kambuaya menegur orang itu, tetapi ia balik berkata, ”Saya kirim anak saya ke tempat ini untuk membawa perubahan bagi seluruh masyarakat Papua. Tetapi, perubahan itu tidak pernah terjadi, dan hari ini saya datang membantu anak saya di sini,” kata Kambuaya menirukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kambuaya balik berkata kepada lelaki setengah tua itu, ”Uncen hadir untuk menciptakan manusia yang cerdas dan bermoral untuk membangun Papua. Uncen harus melahirkan kelompok masyarakat yang mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya, bukan dengan cara demo dan aksi brutal.” Orang itu tidak menghiraukan ucapan tersebut dan tetap memblokir ruas jalan Kota Jayapura-Bandara Sentani.
Sebagai lembaga perguruan tinggi negeri, Uncen tetap memperjuangkan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Tetapi, perjuangan itu harus dilakukan secara ilmiah melalui seminar, diskusi, dan penelitian, bukan dengan demo, apalagi demo itu mengganggu ketertiban umum.
Wakil Ketua Senat Mahasiswa Uncen Mukry Hamadi menambahkan, Badan Pengurus Senat Mahasiswa Uncen membantah terlibat dalam kasus kekerasan, Kamis pekan lalu. Kekerasan itu terjadi di luar Kampus Uncen. Hanya sekitar 10 mahasiswa terlibat dalam aksi itu, sebagian besar adalah masyarakat dan mahasiswa dari perguruan tinggi swasta (PTS) di sekitarnya. Buktinya, dari 14 tersangka hanya seorang mahasiswa Uncen, yang lain adalah warga dan mahasiswa PTS lain.
Aksi demo selama ini dilakukan di depan Uncen karena masyarakat sangat sulit menyalurkan aspirasi mereka ke lembaga-lembaga resmi, seperti Kantor Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Tempat-tempat itu selalu dijaga ketat oleh polisi.
Demo di depan Kampus Uncen bergulir sejak masa reformasi 1996, kemudian semakin diperkuat ketika Timor Timur lepas dari Indonesia. Setiap demo digelar, ruas jalan yang menghubungkan Kota Jayapura-Bandara Sentani dan Kabupaten Jayapura itu selalu macet.
Padahal, Bandara Sentani sangat sentral bagi masyarakat Kota Jayapura khususnya dan Papua pada umumnya. Tidak ada ruas jalan darat yang menghubungkan Jayapura dengan kabupaten lain membuat Bandara Sentani menjadi begitu penting.
Setiap hari, 2.000-4.000 warga pergi dan pulang melalui bandara itu. Pergi ke Pegunungan Tengah (Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Tolikara, Puncak Jaya, Paniai, Pegunungan Bintang, dan Asmat) hanya melalui Bandara Sentani.
Begitu pentingnya ruas jalan itu, Kambuaya berjanji, aksi demo tidak boleh lagi digelar di depan Kampus Uncen. Pemerintah daerah sebaiknya menyiapkan sebuah tempat khusus bagi para demonstran untuk menyampaikan aspirasi mereka, seperti di Taman Imbi, pusat Kota Jayapura.
Wali Kota Jayapura MR Kambu menambahkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura sedang berupaya membangun jalan alternatif guna mengantisipasi kemacetan akibat demo di depan Uncen. Tetapi, pembangunan ruas jalan alternatif sepanjang 12 km itu tidak mudah. Masyarakat pemilik hak ulayat tak akan menyerahkan tanahnya untuk jalan. Lagi pula, ruas jalan itu akan melalui areal hutan lindung Pegunungan Cycloops.
Uncen yang berdiri tahun 1962 hingga sekarang telah mewisuda sekitar 26.000 sarjana. Lulusan Uncen bekerja di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, termasuk Gubernur Papua JP Solossa (almarhum), Frans Wospakrik (Wakil Ketua MRP), John Ibo (Ketua DPRP), serta mantan Rektor Uncen Agus Kafiar yang kini menjadi salah seorang pimpinan PT Freeport Indonesia. (kornelis kewa ama)
Sumber: Kompas, 23 Maret 2006