Setelah vakum sekian lama—karena penundaan pemberlakuan Permendikbud tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi—muncul surat dari Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristekdikti, Intan Ahmad, tertanggal7 September 2015, tentang Uji Publik SN Dikti.
Berdasarkan surat Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan ini, Permendikbud berganti nama menjadi Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti). Adapun judulnya tetap sama: Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti).
Sebelumnya, pada 20 Mei 2015, tepat di Hari Kebangkitan Nasional, Menristekdikti Muhammad Nasir mengeluarkan surat edaran Nomor 01/M/SE/V/2015 tentang Evaluasi Permendikbud. Salah satu yang dievaluasi adalah SN Dikti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak serius
Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, dalam artikel yang berjudul ”SN Dikti dan Publikasi Internasional”(Kompas, 30 Mei 2015), yang akan menjadi titik krusial dalam SN Dikti dan pasti akan dievaluasi adalah masalah publikasi internasional. Apa sebab saya sebut krusial? Karena hal ini menyangkut masa depan dan marwah bangsa kita.
Memang sangat mengejutkan, saat Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla ingin tancap gas dalam bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi—ini terbukti dari dibentuknya kementerian tersendiri yang terpisah dari Kemendikbud—justru Kemenristekdikti yang terkesan tak serius mendukung kebijakan ini.
Dalam rancangan baru SN Dikti yang harus diuji publik, masalah publikasi internasional ini jadi sangat minimalis, bahkan menjadi nol. Pada SN Dikti versi Permenristekdikti tertulis: ”Yang menjadi pembimbing utama mahasiswa S-3, sudah cukup kalau punya 1 karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi. Demikian juga mahasiswa S-3, sudah boleh diluluskan kalau sudah punya 1 publikasi nasional terakreditasi”.
Sebelumnya, pada SN Dikti versi Permendikbud tertulis: ”Yang menjadi pembimbing utama mahasiswa S-3 harus sudah pernah memublikasikan paling sedikit 2 karya ilmiah pada jurnal internasional, dan mahasiswa S-3 baru bisa diluluskan kalau mempunyai 2 publikasi internasional”. Rancangan terbaru ini sungguh mengalami kemunduran yang sangat luar biasa!
Kalau rancangan Permenristekdikti disahkan dalam keadaan seperti draf sekarang ini, cita-cita kita untuk mengalahkan Malaysia, misalnya, dalam hal publikasi internasional, sudah tidak mungkin lagi. Sudah tutup buku! Malaysia berlari kencang sekali, dan kita masih merangkak seperti kura-kura.
Generasi kita yang hidup sekarang ini pun di kemudian hari harus menanggung beban sejarah yang tidak ringan. Kita membiarkan seorang profesor berkarya secara minimalis, dan menjalankan pendidikan S-3 tanpa ada kontrol publikasi internasional.
Saya yakin, dalam 20-30 tahun ke depan—dengan SN Dikti versi Permendikbud pun—Malaysia belum bisa kita kalahkan. Akan tetapi, paling tidak generasi kita sudah mempersiapkan fondasi yang kuat untuk memenangi pertarungan ini di masa yang akan datang.
Harus kita akui, negara-negara yang maju ekonominya memiliki korelasi yang erat dengan jumlah publikasi internasional yang dimilikinya. Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris, Jerman, Jepang, Perancis, dan Korea Selatan, misalnya, adalah negara-negara yang hebat secara ekonomi. Ternyata mereka juga sangat hebat dalam jumlah publikasi internasionalnya.
Jumlah publikasi kita sekarang ini berada di posisi nomor 57 dunia. Posisi ini masih di bawah Nigeria (urutan ke-51), Tunisia (52), apalagi dengan Malaysia (36) dan Singapura (32). Kalau jumlah publikasi ini dibagi dengan jumlah penduduk, peringkat negara kita akan melorot jauh sekali ke bawah.
Dengan posisi yang sangat memalukan ini, keputusan Presiden Jokowi menggabung Ristek dan Dikti dalam satu kementerian sudah tepat. Namun, yang tidak tepat adalah kalau saja Rancangan Permenristekdikti disahkan dalam keadaan seperti sekarang ini.
Langkah ke depan
Ada beberapa langkah yang harus kita persiapkan kalau kita ingin meningkatkan jumlah publikasi internasional kita ke depan. Pertama, masalah publikasi internasional dalam SN Dikti versi Permendikbud harus kita pertahankan.
Kedua, setiap perekrutan pengajar di perguruan tinggi harus ada kontrak bahwa yang bersangkutan harus bersedia melanjutkan pendidikan S-3-nya. Kalau mereka sudah lulus S-3, baru mereka bisa ditetapkan sebagai pengajar permanen.
Ketiga, harus kita akui bahwa publikasi internasional kita sangat kurang, salah satu penyebabnya adalah kemampuan para pengajar dan peneliti kita dalam penguasaan bahasa Inggris yang juga sangat kurang. Celakanya, kita selalu membenturkan pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam format dua kutub: nasionalis dan a-nasionalis.
Akibatnya, pembelajaran bahasa Inggris di level SD dan menengah terasa termarjinalkan di sekolah-sekolah negeri karena dianggap a-nasionalis. Alhasil, usia emas untuk belajar bahasa asing bagi anak-anak kita terlewatkan begitu saja tanpa perhatian khusus. Sungguh sangat mubazir. Akibatnya, saat mereka sudah dewasa, sudah sangat sulit untuk belajar bahasa Inggris karena usia emas telah lewat.
Konsep dan definisi nasionalisme di Indonesia memang sudah harus berubah. Kalau dulu berkaitan erat dengan patriotisme, sekarang konsep nasionalisme seharusnya berkaitan erat dengan prestasi (achievement). Negara dan nasionalisme kita terpuruk karena prestasi kita terpuruk di segala bidang: olahraga, ekonomi, teknologi, pangan, lingkungan, dan lain-lain.
Nasionalisme hanya bisa muncul kalau ada prestasi. Prestasi akan terus terpuruk kalau pendidikan dasar, menengah, dan tinggi kita juga terpuruk.
Syamsul Rizal, guru besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2015, di halaman 7 dengan judul “Uji Publik Standar Nasional Pendidikan Tinggi”