Dalam rangka melaksanakan Pasal 5, 6, 7, dan 8 Peraturan Menristek dan Dikti Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penamaan Program Studi pada Perguruan Tinggi, Kemenristek dan Dikti menganggap perlu untuk melakukan uji publik terlebih dahulu.
Draf nama-nama program studi (prodi) pada jenjang S-1, S-2, dan S-3 pun telah dikeluarkan pada 6 Mei 2017. Diharapkan masyarakat bisa ikut menilainya dan memberikan masukan yang positif untuk kemajuan bangsa kita dalam bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi
Artikel ini berusaha memberikan masukan positif dalam uji publik ini, khususnya yang terkait dengan prodi pada jenjang S-3. Dari nama-nama prodi yang telah diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti), terlihat bahwa nama-nama prodi S-3 sangat ketat, kaku, dan tidak fleksibel. Prodi Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi, misalnya, pada jenjang S-1, S-2, dan S-3 semuanya bernama sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertimbangkan tiga hal
Ada tiga hal penting harus dipertimbangkan oleh Kemenristek dan Dikti terhadap penamaan prodi pada jenjang S-3. Pertama, perlunya mengakomodasi semua profesor produktif di Indonesia agar dimungkinkan untuk membimbing mahasiswa S-3.
Penamaan prodi yang sangat kaku seperti ini membuat perguruan tinggi negeri (PTN) di daerah-daerah dan swasta (PTS) menjadi sangat sulit membuka prodi S-3. Ini artinya kita akan membiarkan para profesor produktif dari PTN di daerah-daerah dan PTS menjadi penganggur ”sangat intelektual”. Kita berpotensi menghukum profesor yang produktif ini, padahal mereka tidak berbuat salah.
Kedua, sesuai Peraturan Presiden No 8/2012, setiap lulusan harus sesuai dengan tuntutan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Tuntutan lulusan doktor terapan dan doktor harus sesuai KKNI level 9, yang salah satu cirinya: mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan interdisipliner, multidisiplin, dan transdisipliner.
Nama prodi yang sangat tidak fleksibel dan kaku menyulitkan kita untuk memenuhi KKNI level 9. Apakah mungkin melakukan riset secara interdisipliner, multidisiplin, dan transdisipliner pada prodi yang tidak fleksibel? Jawabnya: tidak mungkin!
Ketiga, Kemenristek dan Dikti bertekad meningkatkan publikasi internasional para dosen, khususnya para profesor. Bahkan kita punya target khusus: mengalahkan Malaysia dalam hal publikasi internasional.Untuk tujuan ini bahkan telah diterbitkan Permenristekdikti No 20/2017, lengkap dengan ancaman yang sangat terkenal itu: jika seorang profesor tak mampu memublikasikan tiga artikelnya pada jurnal internasional atau satu artikel pada jurnal internasional bereputasi, sejak 2015 sampai 2017, tunjangan kehormatan profesor akan dihentikan (Kompas, 6/2).
Atas dasar inilah kita harus mencari celah agar semua profesor diberi kesempatan sama untuk memublikasikan hasil risetnya pada jurnal internasional. Dengan nama prodi S-3 yang tidak fleksibel, kita berpotensi menutup peluang ini bagi sebagian profesor produktif. Padahal, untuk mengalahkan Malaysia kita perlu menghimpun kekuatan semua profesor produktif dari Sabang-Merauke.
Ada dua masalah pendidikan S-3 di Tanah Air. Pertama, kita kekurangan profesor yang produktif, yang siap membimbing mahasiswa S-3 dalam melakukan penelitian dan memublikasikan hasil-hasilnya di jurnal internasional bereputasi. Padahal, Permenristekdikti No 44/2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) telah mengatur secara khusus dan eksplisit tentang kewajiban publikasi mahasiswa program doktor. Pada lampiran Permenristekdikti ini disebutkan, mahasiswa program doktor wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi sebelum mereka lulus.
Kedua, Permenristekdikti No 100/2016 mensyaratkan enam dosen tetap bergelar S-3 untuk membuka prodi S-3. Dua di antara enam dosen ini harus bergelar akademik profesor.
Di sinilah sumber masalahnya. Mengapa? Kalau sebuah prodi hanya punya dua profesor produktif, berdasarkan Permenristekdikti ini mereka tetap tidak akan bisa membimbing mahasiswa S-3. Dua profesor ini harus menunggu empat rekannya yang lain mendapatkan gelar S-3, baru mereka diizinkan membuka prodi S-3. Bisa saja penantian mereka ini merupakan penantian tak berujung. Dan, seumur hidup mereka tak akan pernah membimbing mahasiswa S-3.
Ini hal yang sangat mubazir dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya profesor kita. Para profesor produktif yang gagal membimbing S-3 ini banyak jumlahnya. Mereka utamanya berasal dari PTN lemah di daerah-daerah dan PTS. Bila kebijakan penamaan prodi ini diterapkan pada jenjang S-3, akan lebih banyak lagi profesor produktif yang menganggur. Dan, ini mestinya tidak boleh terjadi. Kita harus menyelamatkan mereka.
Mutu pendidikan S-3
Sebaiknya pendidikan jenjang S-3 di Tanah Air disederhanakan, sekaligus ditingkatkan mutunya. Semua PT secara otomatis diberikan izin membuka prodi S-3. Sebagai penyaring, hanya profesor produktif yang punya publikasi internasional bereputasi, paling sedikit dua buah, yang dapat ditugaskan jadi promotor mahasiswa S-3. Ini dimungkinkan karena kurikulum S-3 kita berbasis riset. Dengan demikian, bila tak punya seorang pun profesor produktif, PT tersebut dilarang menerima mahasiswa S-3.
Tentu kita bertanya-tanya: apakah program S-3 seperti ini dapat dipertanggungjawabkan? Di negara maju, seperti Jerman, pendidikan S-3 tidak ada institusi formalnya dalam bentuk prodi S-3. Pendidikan S-3 hanya berbasis profesor. Kalau seorang profesor menerima mahasiswa S-3 untuk bekerja di laboratoriumnya sebagai kandidat doktor, maka keputusannya tak dapat digugat oleh siapa pun.
Hanya saja, di Indonesia, Kemenristek dan Dikti yang menentukan siapa saja yang berhak menjadi promotor. Keputusan ini didasarkan produktivitas publikasi internasional dari setiap profesor yang ada, tanpa pandang bulu dan asal institusinya.
Dengan demikian, kita ikut memberdayakan seluruh profesor di Indonesia yang produktif dan yang mau berkontribusi untuk republik ini dalam bidang ilmunya masing-masing. Selama ini, kita membiarkan banyak profesor produktif menganggur karena regulasi yang kita ciptakan sendiri. Partisipasi seluruh rakyat Indonesia terhadap pembangunan di negeri ini sangat penting, tak terkecuali dalam bidang sains dan teknologi, yang tulang punggungnya terdiri atas para profesor produktif ini.
Selain itu, pendidikan S-3 seperti ini berlangsung sangat efisien. Karena di setiap universitas kita hanya punya satu prodi S-3. Selama ini kita banyak memiliki prodi S-3 dalam sebuah universitas. Bahkan tidak jarang lebih banyak jumlah pengelola prodi daripada mahasiswa yang terdaftar. Akibatnya, dana habis hanya untuk pengelola prodi saja.
SYAMSUL RIZAL, PROFESOR DI UNIVERSITAS SYIAH KUALA; ALUMNUS UNIVERSITAET HAMBURG, JERMAN
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul “Uji Publik Penamaan Prodi di PT”.