Keterbatasan lahan tambak di pesisir mendorong intensifikasi budidaya perikanan. Itu untuk meningkatkan dan mempercepat panen demi memenuhi kebutuhan produk perikanan yang terus meningkat.
Salah satunya dengan mengembangkan tambak superintensif untuk budidaya udang vaname. Panen hasil budidaya udang di tambak superintensif, belum lama ini dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Desa Punaga, Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
“Teknik budidaya ini untuk meningkatkan produksi udang yang jadi komoditas ekspor, sekaligus mendukung ketahanan pangan produk perikanan,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Achmad Poernomo di Jakarta, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Uji coba sistem tambak itu dikoordinasi Kepala BPPBAP Maros Andi Parenrengi, didukung Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang.
Tambak disebut superintensif, karena dari areal tambak seluas 1.000 meter persegi yang terbagi dalam tiga petak, menampung 750 ekor udang permeter persegi. Kedalaman air lebih dari 2 meter. Meski padat penebaran, produktivitasnya tinggi dan beban limbah minim.
Tambak dilengkapi tandon air bersih dan petak pengolah limbah budidaya, yang terdiri atas kolam pengendapan, oksigenasi, biokonversi, dan penampungan. Itu untuk mengolah limbah jadi pupuk dan biogas. “Dari tambak seluas itu diperoleh hasil 7,5 ton udang vaname,” kata Andi.
Panen perdana dilakukan parsial yaitu pada pemeliharaan superintensif hari ke-70. Tujuan panen parsial menyeimbangkan biomassa udang dalam pemanfaatan ruang dan komponen abiotik, seperti lingkungan perairan, khususnya kadar oksigen.
Panen parsial salah satu bagian penelitian yang sudah tiga tahun. Bagi BPPBAP, pengembangan budidaya udang vaname superintensif di tambak kecil merupakan satu penelitian strategis.
“Hasil penjualan dari produksi panen parsial itu akan menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) bagi BPPBAP,” ujar Achmad.
Inisiasi sistem akuakultur ini jadi harapan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi berdaya saing. Balitbangmengkaji sistem akuakultur tambak superintensif agar memenuhi prinsip akuakultur berkelanjutan.
Hasil kajian
Budidaya udang vaname superintensif berawal dari kajian awal Prof Dr Ir Rachman Syah MS tahun 2013. Sebagai peneliti utama di BPPBAP Maros, ia menginisiasi kajian kinerja budidaya udang itu pada padat penebaran yang berbeda. Itu acuan menentukan padat penebaran optimalnya di tambak kecil.
Kinerja yang diperoleh sangat memuaskan. Selama masa pemeliharaan 105 hari, produksi budidaya udang superintensif kepadatan 500 ekor per meter persegi sebesar 6.376 kg. Pada kepadatan 600 ekor dihasilkan produksi 8.407 kg. “Keuntungan dari upaya itu Rp 234 juta hingga Rp 338 juta per siklus,” kata Rachman.
Tahun 2014, hasil penelitian pada lokasi sama menunjukkan, pada padat penebaran 750, 1.000, dan 1.250 ekor per m2 didapat produksi masing-masing 7.200 kg, 10.700 kg, dan 12.200 kg selama 105 hari memelihara.
Kinerja ini berprospek baik bagi usaha akuakultur, karena pada tambak 1.000 m2 produksinya optimal. Namun, di sisi lain, Rachman menyadari sejak awal pertambakan itu memiliki dampak negatif, yaitu degradasi ekosistem dan penurunan biodiversitas pesisir akibat buangan limbah yang tidak dikelola ke perairan pesisir.
Hal itu disebabkan pengayaan nutrien, peningkatan bahan organik, dan sedimentasi. Kasus degradasi itu pernah terjadi di pantai utara Jawa. Salah satunya disebabkan pembukaan tambak secara masif. “Ini menjadi pembelajaran penting bagi dunia akuakultur,” Rachman.
Belajar dari pantura
Tahun 2015, Rachman melanjutkan penelitian dengan mengkaji aspek pemanfaatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dimana IPAL ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem budidaya teknologi superintensif. Penelitian 2013-2015 fokus pada prinsip akuakultur berkelanjutan dengan pendekatan blue economy, yaitu produksi tinggi memanfaatkan ruang budidaya kecil harus menjamin kelestarian lingkungan hidup, khususnya perairan pesisir dan laut.
Penelitian dan upaya Rachman itu ditularkan melalui pendidikan dan latihan pertambakan di tambak superintensif itu. Itu akan dikembangkan menjadi Technopark Takalar, Sulawesi Selatan. Diklat bulan lalu diikuti peserta pilihan dari Kabupaten Talalar, Kabupaten Barru, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulsel, Provinsi NTT, Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Berau Kaltim.
Melalui bimbingan teknologi, para pengelola Technopark di Sulsel, NTT, Kalsel, dan Kaltim dibekali pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan proses transfer inovasi iptek kepada masyarakat luas. Adanya transfer dan transformasi inovasi itu akan memberi daya saing bagi bisnis dan industri kelautan dan perikanan.
Kabupaten Takalar, menurut Achmad, adalah salah satu dari 24 wilayah Technopark yang jadi komitmen Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari pembangunan 100 Technopark di Indonesia, 24 di antaranya Technopark bidang kelautan dan perikanan.
Technopark kelautan dan perikanan bertujuan meningkatkan produksi, produktivitas, dan nilai tambah aneka produk kelautan dan perikanan yang berdaya saing tinggi, serta berorientasi pasar, berbasis iptek, serta melibatkan masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Tambak intensif menjadi salah satu percobaan. (YUNI EKAWATI)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Udang-udang Pun Masuk Tambak Super”.