Terus Berlanjut, Perburuan Asal Usul Alam Semesta

- Editor

Selasa, 25 Juli 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Apa yang dicari ahli fisika fundamental saat ini hingga negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris atau Swiss mengeluarkan dana puluhan atau ratusan milyar dollar AS membangun dan mengoperasikan akselerator besar seperti CERN di Geneva, DESY di Hamburg, atau SLAC di California?

Proyek-proyek raksasa yang sulit dipahami kegunaanya itu oleh kaum awam sebetulnya dibikin untuk menjawab pertanyaan pemikir-pemikir Yunani kuno. “Dari mana segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal?”

Dengan kata lain, bila segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari sebuah “makhluk”, maka makhluk itu haruslah yang terkecil dari segala sesuatu yang mempunyai potensi-potensi internal. Sifat aktual dari segala sesuatu itu harus dapat dijelaskan dengan potensi internal yang dimiliki makhluk tadi. Untuk mudahnya, namakan saja makhluk itu partikel elementer.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Para ahli fisika fundamental saat ini menempuh dua jalan untuk menjawab pertanyaan itu. Jalan teori dan jalan eksperimen. Jalan teori pun masih bercabang. Segelintir orang bermain di dataran ide, atau boleh dibilang di tingkat imaji dengan instrumen matematika yang sangat abstrak. Sebagian besar ahli fisika teori lebih suka memilih jalur fenomenologis.

Sebagaimana ilmu lainnya, kedua jalur ini tak sepi dari perdebatan. Kalangan ahli teori abstrak menganggap, orang-orang fenomenologis sering melakukan transplantasi pada teori mereka hingga perhitungan mereka mendekati hasil-hasil eksperimen di laboratorium.

Pihak fenomenologis tak kalah sengit menyindir ahli teori yang amat mengandalkan konsistensi metematika, tapisering melupakan bahwa pada akhirnya hakim terakhir untuk prediksi teori mereka yang steril – matematis itu adalah pengujian laboratorium.

Dengan kerangka inilah kita bisa memahami reaksi-reaksi yang sedang meramalkan dunia fisika saat ini tentang teori string atau sering juga disebut teori superstring.

Menurut pendapat banyak ahli fisika, baik yang teoritikus abstrak maupun yang fenomenologis, teori yang dikemukakan sekitar delapan tahun lalu oleh ahli fisika Michael Green (Imperial College, London) dan John Schwarz (California Institute of Technology, Passadena) amatlah indah secara matematis, tetapi masih tak mungkin dibuktikan dengan akselerator besar yang ada di dunia saat ini.

Bursa pendapat tentang teori ini masih menghiasi majalah ilmiah populer hingga bulan Agustus lalu, seperti Science dan Science News. Mudah ditebak, yang kontra lebih banyak ketimbang yang pro karena bagaimanapun saat ini fenomenologi masih mendominasi.

Namun yang pro tak perlu berkecil hati di tengah pendapat massa. Dalam waktu dekat ini, bulan Oktober nanti, jagoan-jagoan fisika teoritikus abstrak akan bertemu di International Center for Theoretical Physics (ICTP), Triesta, Italia untuk mendiskusikan pekerjaan mereka dalam teori string.
Teori String

Untuk mendapatkan gambaran tentang teori string, pekan lalu Kompas menghubungi satu-satunya hali fisika Indonesia, Pantur Silaban, Ph.D., yang tekun mendalami teori ini sejak lima tahun lalu. Silaban yang doktor di bidang Relativitas Umum dari Syracuse University, New York tahun 1971 adalah staf Jurusan Fisika ITB yang gemar meneliti maslah simetri dalam fisika fundamental. Ketekunannya mengutak-atik permasalahan simetri yang berarti fisika-matematika, membuat Silaban lebih mudah memasuki rimba konsep canggih ini.

Menurut Silaban, konsep string manmade barang yang menggoda di pasaran fisika, minimal lantaran dua hal.

Pertama, penggagas teori in telah keluar dari keterkungkungan fisikawan selama kurang lebih2.400 tahun dengan mengajukan partikel elementer sebagai tali (string). Sejak filsuf Yunani, Democritos (460 SM – 370 SM), menawarkan konsep atom hingga ahli fisika AS Steven Weinberg dan Sheldon Glashow, serta ahli fisika Pakistan Abdus Salam, tahun 1967 memprediksikan partikel W dan partikel Z (yang dibuktikan dengan eksperimen ahli fisika Italia Carlo Rubbia), para ahli fisika mendeskripsikan partikel elementer sebagai titik.

Kedua, teori in menjanjikan harapan untuk mewujudkan impian Einstein menyatukan keempat interaksi di alam in. Teori medan kuantum berhasil memadukan ketiga interaksi (kuat, elektromagnetik, dan lemah), tetapi belum mampu memasukkan interaksi gravitasi ke dalam sebuah teori.

Sebagai ilustrasi, bila kekuatan interaksi gravitasi dimisalkan satu, maka kekuatan interaksi lemah sekitar 1031, interaksi elektromagnetik 1036 dan interaksi kuat sekitar 1033. Setiap usaha yang selama in dilakukan untuk menyatukan gravitasi dan kuantum, selalu muncul anomalidan permasalahan fisikayang disebut nonrenormalizable. Namun teori string telah dapat merekonsiliasi kuantum dan gravitasi. Inilah salad sate terobosan itu.

Layaknya sebuah teori yang lebih lengkap ia selalu dapat dikembalikan kepada teori kuantum maupun kepada teori relativitas, dua teori yang saat in dipercaya teori besar fisika.

Makin cepat?
Yang belum diketahui hingga saat ini, apakah teori string akan mempercepat jawaban atas pertanyaan fisika yang hingga kini masih merupakan misteri seperti, potensi macam apakah yang dimiliki partikel sehingga ia memiliki massa (dalam bahasa sehari-hari, massa lebih dikenal sebagai berat).

Partikel sebagai titik telah member jawaban tentang asal-muasal muatan, energi, momentum, dan paritas. Momentum muncul karena partikel mempunyai potensi untuk menjaga sifat simetri terhadap gerak translasi ruang. Jawaban semacam ini memang baru muncul mulai awal abad ini. Namun, pertanyaan tentang kuantitas seperti muatan, energi, momentum dan paritas relative lebih belakangan muncul ketimbang obsesi tentang asal-usul massa yang sudah berusia ribuan tahun.

Akankah teori string mampu menjawabnya dalam waktu dekat ini?

Disinilah persoalannya. “Untuk mendapatkan partikel hipotetis berbentuk string dengan dimensi 10-33 sentimeter diperlukan akselerator seukuran galaksi,” kata Silaban. Soalnya untuk menemukan benda yang amat kecil, diperlukan energi yang sangat besar. Kalau dimensinya sebesar gedung Hotel Grand Hyatt, misalnya, kita hanya butuh beberapa millielektrovolt untuk menemukan hotel itu.

Kalau dari pencarian benda berdimensi 1 sentimeter ke 10-16 sentimeter (elektron), diperlukan waktu 2.500 tahun. “Dari dimensi 10-16 sentimeter ke dimensi 10-33 sentimeter, dengan teknologi mungkin diperlukan waktu 200 tahun,” kata Silaban. Dan itu butuh dana yang superbesar.

Perburuan dalam teori string untuk menjawab misteri fisika seperti yang dianjurkan Silaban, saat in memang harus lewat pengembangan alat matematika yang amat abstrak. Itu berarti perburuan in membutuhkan daya piker kreatif dalam dataran ide. Dan, Indonesia agaknya bisa berpartisipasi di arena in.

“jadi, dana yang dibutuhkan ahli fisika teori abstrak di Indonesia adalah untuk mendapatkan informasi mutakhir dari negara-negara yang fisikanya sudah maju. Dana untuk itu tidak begitu besar untuk ukuran keuangan Indonesia,” kata Silaban, yang akan menghadiri pertemuan di Trieste bulan Oktober nanti.

(Salomo Simanungkalit)

Sumber: Kompas, 22 September 1992

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB