Pemerintah Provinsi Jambi diminta menetapkan status tanggap darurat Orang Rimba sebagai respons cepat atas tingginya kasus penyakit menular kronis di komunitas mereka di Bukit Duabelas, Jambi. Itu bertujuan mempercepat alokasi dana untuk menanggulangi penyakit dan melanjutkan riset penyakit lain.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi, Poprianto, mengatakan, kondisi hiperendemis malaria dan hepatitis B pada komunitas Orang Rimba, seperti dipaparkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, patut segera ditangani. “Kami mengusulkan dana tanggap darurat segera keluar agar dialokasikan untuk penanganan semestinya,” ujarnya, Senin (15/2), di Jambi.
Terkait hal itu, Poprianto mengusulkan agar dibentuk tim khusus. Tradisi berpindah dengan budaya hidup di pedalaman hutan dan bahasa berbeda semestinya tak jadi alasan mengabaikan layanan negara. “Kebiasaan hidup mereka harus sepenuhnya kita hormati karena jadi simbol kekayaan budaya di masyarakat,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dana tanggap darurat agar dipakai mengatasi hepatitis B dan malaria di komunitas itu. Hasil riset Eijkman akhir 2015 pada 583 Orang Rimba di Bukit Duabelas menunjukkan, prevalensi hepatitis B 33,9 persen dan malaria 24,6 persen. Itu di atas prevalensi malaria dan hepatitis B di Indonesia sehingga disebut hiperendemis.
Penyusutan hutan
Namun, penanganan kesehatan Orang Rimba jadi tindak lanjut jangka pendek. Pada jangka panjang, pemerintah perlu mengantisipasi ancaman kepunahan Orang Rimba akibat penyusutan hutan di Jambi.
Tahun lalu, Pemerintah Provinsi Jambi menjanjikan alokasi hutan bagi Orang Rimba pada areal konsesi tanaman industri dan sawit di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Upaya itu diharapkan memulihkan kehidupan mereka. “Namun, belum satu pun dari tujuh perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan kebun sawit di sekitar penyangga TNBD mewujudkan janji itu,” kata Ade Chandra, Asisten Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
Saat ini, jumlah Orang Rimba diperkirakan 3.600 orang. Dari total jumlah Orang Rimba itu, sekitar 2.000 warga hidup berpindah di TNBD dan 1.600 jiwa tersebar di perkebunan, hutan tanaman industri, dan dusun-dusun di pinggir taman nasional.
Dari 130.000 hektar habitat Orang Rimba di ekosistem Bukit Duabelas yang tersebar di Kabupaten Sarolangun, Tebo, Merangin, dan Batanghari, yang tersisa tinggal 60.400 hektar.
Kehidupan warga di luar taman nasional nyaris tanpa sumber daya alam. Mereka tinggal di dalam terpal plastik di tepi jalan lintas Sumatera dan sebagian lainnya di perkebunan sawit perusahaan. Dalam kondisi lingkungan terbuka, tanpa sanitasi baik dan asupan makanan memadai, Orang Rimba lebih rentan terjangkit penyakit. (ITA)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Tanggap Darurat Penanganan Orang Rimba”.