MARAKNYA kejahatan seksual terhadap anak membuat sejumlah pegiat dan lembaga perlindungan anak mengusulkan hukuman suntik kebiri bagi pelaku. Hukuman ini diterapkan di sejumlah negara yang memiliki kasus kejahatan seksual besar. Meski demikian, belum ada bukti model hukuman ini mampu menekan jumlah kasus kejahatan seksual.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebiri dilakukan dengan berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration 2nd Edition, 2006, menyatakan, kebiri sudah dilakukan di Mediterania Timur pada 8.000-9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak dibandingkan yang jantan.
Tak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran Tiongkok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di era modern, tujuan pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha mendapat suara soprano pada anak laki-laki di Italia hingga upaya menghindarkan perbuatan tak bermoral di beberapa agama. Kebiri juga dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental serta populasi kelompok tertentu.
Kini, kebiri jadi hukuman bagi penjahat seksual, baik pemerkosa maupun pelaku paedofilia, di sejumlah negara. Prosesnya beragam. Ada yang dengan cara tradisional, yakni pembedahan untuk membuang testis (buah zakar), dikenal sebagai kebiri fisik, atau menyuntikkan zat kimia tertentu, disebut suntik kebiri atau kebiri kimiawi.
Dalam istilah medis, kebiri disebut kastrasi. Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila, Jumat (16/5), mengatakan, dibuangnya kedua testis dalam kebiri tradisional membuat pelaku kekurangan hormon testosteron. Hormon ini memengaruhi dorongan seksual pada pria atau wanita.
Penghasil testosteron utama di tubuh adalah testis. Hormon itu juga dihasilkan kelenjar anak ginjal dengan jumlah amat sedikit. ”Tanpa hormon testosteron, pria kehilangan hasrat seksual, tak mampu ereksi, dan tak mampu berhubungan seksual,” kata dia.
Kebiri kimiawi
Zaman berganti, pengebirian berubah. Proses itu tak lagi dengan membuang kedua testis, tetapi dengan menyuntikkan obat antiandrogen, seperti medroxyprogesterone acetate atau cyproterone. Obat-obatan itu menekan fungsi hormon testosteron.
Kebiri kimiawi dianggap lebih beradab sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain menekan dorongan seksual dan menghilangkan kemampuan ereksi, antiandrogen menekan produksi sel spermatozoa sehingga membuat mandul. ”Kastrasi kimiawi memberi efek sama tanpa perlu membuang kedua testis,” ucap Wimpie.
Antiandrogen bukan obat khusus untuk kebiri. Obat itu umum dipakai pada pria penderita kanker prostat, alat kontrasepsi pada wanita, serta untuk menekan pertumbuhan rambut seperti pria yang tumbuh pada tubuh perempuan.
Meski demikian, pemberian antiandrogen mempercepat penuaan tubuh. Obat antiandrogen mengurangi kerapatan massa tulang sehingga tulang keropos dan memperbesar risiko patah tulang. Obat itu juga mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak yang menaikkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
”Jika pemberian antiandrogen dihentikan, dorongan seksual dan fungsi ereksi seseorang akan muncul lagi,” ujarnya. Jadi, kebiri kimiawi bersifat sementara, bukan ”menyembuhkan” perilaku penjahat seksual. Ketika masa hukuman selesai, mereka bisa mengulangi kejahatannya jika pemicunya melakukan kejahatan seksual tak ditangani.
Dampak psikologis
Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Dinastuti mengatakan, kebiri pada orang yang memandang seksualitas penting dalam hidup bisa menimbulkan stres, putus asa, dan depresi.
Stres itu bisa dialihkan pada hal positif, seperti olahraga atau fokus bekerja, dibarengi adanya teman untuk bercerita atau konseling dengan psikolog atau konselor. Sebaliknya, mereka yang tak bisa mengelola stres, tak punya kawan, dan tak bisa mengakses layanan kesehatan mental bisa berbuat kekerasan dalam bentuk lain.
Karena itu, penjahat seksual perlu diperiksa secara medis. Itu untuk memastikan apakah mereka berbuat karena gangguan medis atau tidak, seperti ada tumor di otak, masalah genetik, atau kelainan hormon tertentu.
Jika tak ada masalah medis terkait seksualitas, pelaku perlu diperiksa kesehatan mentalnya. Ini untuk mengetahui apakah pelaku mengalami gangguan jiwa terkait seks atau masalah kepribadian sehingga menyalurkan hasrat seks secara tak sehat.
Gangguan jiwa terkait seks bisa berupa disfungsi seksual atau gangguan parafilia (seperti paedofilia, ekshibisionisme, fetisisme, dan masokhisme). Adapun masalah kepribadian seperti terlalu pemalu atau rendah diri untuk berhubungan intim yang sehat. ”Orang yang sulit menjalin relasi seksual tetap punya hasrat seksual. Jika tak bisa mengelolanya secara sehat, ia bisa memaksa, mengancam, atau menyakiti orang lain,” kata dia.
Dinastuti mengatakan, kebiri bermanfaat bagi yang ingin mengurangi dorongan seksual yang berlebih, biasanya secara sukarela. Namun, kebiri pada orang yang tak punya masalah dorongan seksual bisa merugikan. ”Efek (psikologis) kastrasi fisik atau kimiawi tak sama pada tiap orang,” ucap dia.
Kondisi itu membuat hukuman kebiri menimbulkan pro-kontra, termasuk di negara-negara maju. Perdebatan bukan hanya soal hak asasi manusia untuk tak menyiksa dalam pemberian sanksi, melainkan juga ketidaksambungan antara penyebab seseorang melakukan kejahatan seksual dan bentuk hukumannya. Wajar jika suntik kebiri tak terbukti mampu menekan kasus kejahatan seksual.
Penjahat seksual kerap melakukan kejahatannya bukan karena aspek medis, melainkan disebabkan masalah kepribadian. Karena itu, pengebirian dinilai tidak tepat. Sebaliknya, menyelesaikan persoalan psikologis tanpa didahului pemeriksaan medis akan percuma.
Oleh: M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 19 Mei 2014