Solusi untuk Gedung Tinggi dan Berisiko

- Editor

Jumat, 6 Desember 2013

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Urbanisasi ke kota besar terus berlangsung, tidak terkecuali di Indonesia dan negara Asia Pasifik lainnya. Kondisi itu mau tidak mau menimbulkan kepadatan penduduk, yang menuntut semakin banyaknya bangunan.

Di sisi lain, ketersediaan lahan semakin terbatas sehingga tidak memungkinkan berdirinya banyak bangunan. Karena itu, gedung menjulang tinggi, yang tentu memiliki tingkat risiko tinggi, kemudian menjadi solusinya.

Bahkan, bangunan menjulang tinggi kini seolah menjadi tren di setiap jantung ibu kota negara. Tidak hanya jumlahnya yang bertambah, tetapi tingkat ketinggiannya juga semakin menjulang. Sebut saja Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab, yang berketinggian 828 meter. Selain itu, Taipei 101 di Taiwan yang berketinggian 509 meter, Shanghai World Financial Centre di China dengan ketinggian 494,3 meter, serta Menara Kembar Petronas di Malaysia dengan ketinggian 451,9 meter.

Berdirinya bangunan berisiko tinggi (high risk building) menuntut adanya teknologi yang mampu meminimalisasi tingkat risiko serta memberikan keamanan dan rasa nyaman bagi para pemakainya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KONE, salah satu perusahaan pemimpin pasar internasional di industri lift dan eskalator, membuat teknologi baru dalam pembuatan lift untuk menjawab tantangan itu, yaitu ultrarope. Pada Selasa (1/10), sejumlah wartawan di Asia Pasifik, dua di antaranya dari Indonesia, termasuk Kompas, berkesempatan ikut dalam peluncuran inovasi teknologi KONE Ultra Rope tersebut. Acara diselenggarakan di Marina Bay Sands Expo and Conference Center Singapore, bertajuk ”Take The Next Leap With Kone”.

Peluncuran yang diselenggarakan di Singapura itu merupakan yang pertama kalinya dilakukan untuk kawasan Asia Pasifik. Sebelumnya, pada Juni 2013, KONE meluncurkan produk itu di London.

Perbedaan antara teknologi lama dan ultrarope, yaitu pada tali lift yang digunakan. Dengan teknologi ultrarope, lift tidak lagi menggunakan steel rope atau tali baja, tetapi memakai ultrarope atau tali ultra yang berbahan dasar karbon fiber.

Sembilan tahun
Penemuan ultrarope itu melalui proses penelitian selama sembilan tahun di Finlandia. Berbeda dengan lift yang menggunakan tali baja, lift dengan ultrarope memiliki banyak keuntungan. Head of Technology, Major Projects, KONE, Johannes de Jong, mengatakan, ultrarope memiliki bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan tali baja. Ultrarope lebih tipis, tetapi lebih kuat bila dibandingkan tali baja.

Dia mencontohkan bobot tali yang dibutuhkan untuk 10 lift dengan menggunakan tali baja mencapai 186.500 kilogram. Sementara untuk 10 lift dengan ultrarope, bobot tali hanya 11.700 kg. Dampaknya, beban lebih ringan sehingga kerja motor penggerak juga lebih ringan. Hal itu menimbulkan penghematan energi. Dengan contoh 10 lift, total energi yang dibutuhkan dengan penggunaan tali baja mencapai 1.180 megawatt per jam (MWH). Dengan ultrarope, penggunaan energi hanya sekitar 1.050 MWH.

KONE UltraRopeUltrarope juga banyak memberikan keuntungan lain. Meski secara fisik lebih tipis bila dibandingkan tali baja, kekuatan ultrarope mencapai dua kali lipat dibandingkan tali baja. Ultrarope lebih tahan lama, bahkan tak perlu penggantian hingga 15 tahun. Sementara tali baja akan mudah molor sehingga perlu penggantian setidaknya dalam lima tahun sekali.

Kecepatan lift yang menggunakan ultrarope juga lebih tinggi bila dibandingkan lift dengan tali baja. Ultrarope memiliki sensitivitas yang rendah terhadap goyangan pada bangunan tinggi. ”Kami yakinkan ini memiliki performa tinggi, standar, dan kualitas,” katanya.

Penggunaan ultrarope tak hanya bisa dilakukan pada lift untuk bangunan baru, tetapi juga untuk bangunan lama. Di kawasan Asia Pasifik, penggunaan ultrarope pertama kali dilakukan di Marina Bay Sands, sebuah kawasan resor mewah yang terintegrasi di Singapura. Lift dengan ultrarope itu dipasang pada lift penumpang yang bergerak dari lantai dasar ke lantai 34-57, atau ketinggian 195 meter, di Tower 3 dari Hotel Marina Bay Sands.

Sebagai pembuktian, kami mencoba menumpang lift yang menggunakan ultrarope dan lift yang menggunakan tali baja di Marina Bay Sands hingga lantai 57. Perbedaannya memang terasa, terutama dari goyangan dan suara yang ditimbulkan.

Lift dengan ultrarope suaranya lebih tenang, halus, dan tidak berisik. Goyangan bangunan pada ketinggian juga tidak terlampau terasa. Namun, pada lift yang menggunakan tali baja, tingkat kebisingan dan goyangannya lebih terasa.

Untuk membuktikan beban ultrarope, Kompas juga mencoba mengangkat kedua jenis tali itu, dengan panjang tidak lebih dari 10 meter. Hasilnya, ultrarope bisa terangkat, sedangkan tali baja sulit terangkat meskipun telah bersusah payah.

Johannes de Jong menambahkan, ultrarope merupakan jawaban atas tantangan berdirinya gedung berisiko tinggi, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Terlebih saat ini, mulai terjadi pergeseran lokasi bangunan-bangunan tinggi di dunia, ke kawasan tersebut. Diperkirakan, ke depan, sekitar 95 persen bangunan tinggi akan dibangun di kawasan Asia Pasifik.

Executive Vice President Asia Pacific and Middle East KONE Noud Veeger mengatakan, semakin tinggi bangunan yang menggunakan teknologi ultrarope, manfaat yang diperoleh pengguna akan semakin besar. Ultrarope bisa digunakan pada bangunan yang supertinggi, bahkan hingga 1 kilometer.

Selama ini, lanjutnya, pangsa pasar Asia Pasifik menempati urutan kedua dalam bisnis KONE. Pemimpin pasar lift di kawasan itu ada di China dan India, yang merupakan pasar terbesar untuk produk lift.

Sementara Indonesia saat ini merupakan salah satu pasar yang berkembang untuk industri lift dan eskalator. Menurut Managing Director PT KONE Indo Elevator Yandy Januar, Indonesia memegang sekitar 15 persen pangsa pasar KONE.

Produk KONE masuk ke Indonesia sejak 1994, antara lain digunakan pada pembangunan Wisma Mulia I sekitar tahun 2000, dan pada pembangunan Hotel Mulia. KONE juga memasang lift tercepat di Indonesia, dengan kecepatan 7 meter per detik. ”Kami memang lebih fokus pada bangunan tinggi, high risk building,” katanya. (Oleh: Siwi Nurbiajanti)

Sumber: Kompas, 6 Desember 2013

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB