KEBANYAKAN orang yang baru pertama kali mendengar nama Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya mengira sebagai sebuah perguruan tinggi swasta yang ada di Surabaya. Namun, tidak demikian apabila membaca sebuah singkatan ITS, sebagian besar bisa membayangkan dengan tepat nama sebuah perguruan tinggi bidang teknologi di Surabaya.Tidak banyak yang mengetahui kalau huruf S pada singkatan ITS adalah kependekan dari Sepuluh Nopember, bukan Surabaya. Pada umumnya masyarakat menganalogikan dengan perguruan tinggi yang sudah berdiri lebih awal, seperti huruf B pada ITB menunjuk Kota Bandung atau Bogor untuk IPB.
Simbol kepahlawanan dalam perlawanan terhadap pendudukan asing di Surabaya ini tampaknya ingin diwariskan kepada para mahasiswa dan lulusan institut kebanggaan “Arek Suroboyo”. Bahkan ketika cikal bakal ITS dengan nama Perguruan Tinggi Teknik Sepuluh Nopember (PTTS) diresmikan Soekarno sudah menyandang nama tanggal bersejarah itu mulai tahun 1957, tiga tahun sebelum lahirnya ITS. Namun, dalam perjalanan ke masa depan tampaknya ada sebagian yang mempertanyakan singkatan Sepuluh Nopember, apakah sesuai untuk pergaulan global? Terutama memancing perdebatan di dalam, termasuk alumni yang banyak bergaul dalam dunia yang lebih luas. Sebagian sangat keberatan menghilangkan nama tanggal yang diharapkan menjiwai para mahasiswa maupun lulusannya. Apalagi kalau pemakaian nama Surabaya lebih diartikan meniru-niru perguruan tinggi lainnya, katakanlah ITB, mereka sangat keberatan dan memancing semangat “heroisme” untuk menentangnya, meskipun pemahaman Sepuluh Nopember sudah berbeda antara mereka yang merasakan getar perjuangan fisik dibandingkan melawan perlawanan terhadap “penjajah ekonomi” yang dihadapi sekarang ini.
“Tapi, bagaimana nanti kalau ada yang mendirikan Institut Teknologi Surabaya, secara hukum kan tidak dilarang?” sebuah pertanyaan yang cukup mengganggu. Berarti akan ada dua ITS dalam penangkapan awam dan kemungkinan mereka condong kepada institut dengan singkatan S untuk Surabaya, dan orang asing juga sangat sulit untuk mengartikan kata “sepuluh” dalam otaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kurang lebih seperti munculnya Universitas Indonesia Esa Unggul di Jakarta yang sepintas sama dengan UI atau UGM untuk sebutan Universitas Gajayana Malang. Sementara di Surabaya sekarang juga ada Sekolah Tinggi Teknik Surabaya yang hampir sama dengan PTTS, perguruan swasta sebelum dinegerikan menjadi ITS yang sekarang. “Memang cukup menyulitkan apabila ada lembaga pendidikan yang menggunakan nama Institut Teknologi Surabaya,” kata Dr Daniel M Rosyid, Purek IX ITS. Namun tentu saja perguruan tinggi itu tidak bisa menggunakan ITS yang selama ini sudah menjadi nama pangilan yang dikenal di seluruh negeri.
***
PERDEBATAN secara intern ITS ini sudah menunjukkan besarnya tantangan perguruan tinggi di Surabaya itu dalam menghadapi masa depannya. Apalagi ketika barat sudah boleh berdagang secara bebas di Indonesia 29 tahun mendatang, sudah tentu akan banyak kejadian yang mungkin belum terbayangkan saat ini.
Soal nama mungkin belum menjadi persoalan yang penting untuk saat ini, karena memang sudah cukup banyak tantangan masa depan yang dihadapi ITS. Mereka bahkan juga sudah berusaha merumuskan rancangan untuk menghadapinya dalam sebuah buku yang berjudul ITS Menjawab Tantangan Zaman yang baru diluncurkan.
Dalam usia 40 tahun sudah cukup matang bagi seluruh civitas akademika ITS untuk mempertimbangkan langkah ke depan menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat dan penuh ketidakpastian. Seperti pernah diungkapkan Rektor ITS, Prof Ir Soegiono, ketidakpastian itu juga sekaligus akan melahirkan peluang dan harapan.
Life begins at forty, ungkapan yang digunakan editor buku menjawab tantangan, Daniel Mohammad Rosyid PhD untuk mempersonifikasi lembaga ITS. Dalam karier profesional usia 40 tahun merupakan saat-saat yang penting bagi seorang profesional muda untuk mulai diperhitungkan kemampuannya.
Sebagai tempat penyemaian miniatur peradaban dan masyarakat baru, sudah seharusnya lembaga ini tetap relevan keberadaannya. Tantangan utama yang dihadapi ITS sebagai bagian dari industri/bisnis jasa pendidikan tinggi adalah mencapai kualitas kelas dunia untuk bisa tetap bersaing di pasar global.
Tentu saja untuk mencapai kelas dunia akan mendapatkan banyak saingan, namun yang mengherankan di tingkat Asia saja terkesan tidak dikenal. Terbukti institut Sepuluh Nopember ini tidak masuk dalam daftar peringkat perguruan tinggi sains dan teknologi terbaik Asia yang dibuat majalah Asiaweek (Asiaweek Asia’s Best Universities 2000).
Apakah lembaga ini hanya merupakan institusi pendidikan sains dan teknologi ecek-ecek dibandingkan saudara-saudara lainnya yang masuk dalam peringkat ini? Apakah majalah Asiaweek sama sekali tidak mengenal ITS dibandingkan ITB, atau bahkan UGM, Undip, dan UI?
***
MEMANG sangat ironis ketika tengah berjuang menghadapi masa depan, namun terkesan ITS tidak dikenal di kalangan Asia. Padahal banyak tenaga doktor maupun gelar S-2 para pengajar ITS yang berhasil diraih di luar negeri.
“Ya, memang kami tidak mengisi formulir yang dibagikan Asiaweek, maka tidaklah mengherankan apabila nama kami tidak tercantum dalam daftar itu. Meskipun untuk berikutnya kami sudah mengisi dan dalam daftar yang akan diterbitkan mendatang nama ITS sudah tercantum,” kata Dr Daniel mencoba menjelaskan duduk persoalan.
Masalah ini tampaknya cukup merisaukan kalangan dalam ITS sendiri, meskipun mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Termasuk dosen senior ITS yang kritis seperti Ir Sritomo Wignjosoebroto MSc yang menganjurkan agar para pimpinan ITS untuk berani melakukan benchmarking.
Bagaimanapun upaya untuk ikut dalam persaingan peringkat akan sangat membantu untuk tetap menyosialisasikan ITS sebagai upaya ITS untuk membangun citra. Memang harus dengan jiwa besar untuk menghadapi ini dan tidak perlu takut berada di bawah peringkat ITB yang masuk peringkat ke-21 atau masuk dalam 40 terbaik. Sedangkan untuk universitas, UI, UGM dan Undip masuk dalam papan bawah, masuk dalam 79 besar.
Tidak ada salahnya bagi ITS untuk ikut “bermain”, meskipun sifat penempatan peringkat ini masih diperdebatkan. Sosialisasi ke dunia internasional bagaimanapun sangat penting untuk menghadapi pasar bebas.
Meskipun juga tidak salah kalau ada yang mengatakan, upaya masuk peringkat bergengsi ini juga belum tentu bisa menjawab tantangan bangsa dalam mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan juga tanpa ikut peringkat belum tentu juga bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan, meski hanya sebatas cita-cita memajukan nelayan miskin sekalipun. Ada dua misi yang berbeda yang harus sama-sama dijalankan.
***
SELAIN misi mempersiapkan tenaga ahli yang berkualitas global, dalam waktu mendatang ini ITS akan banyak menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Tidak hanya menghadapi pasar bebas yang sudah memakan seluruh perhatian, akan tetapi juga masalah lain seperti otonomi daerah dan pengembangan wilayah Indonesia bagian timur. Otonomi daerah untuk saat ini sudah sangat mendesak, mengingat akan banyak daerah di Jawa Timur ini yang kurang siap. Untuk mengantisipasi ini ITS dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim sudah membentuk gugus tugas untuk merintis pembentukan sebuah konsorsium lintas lembaga.
Pusat Pengembangan Wilayah atau Center for Regional Development (CRD) ini telah diusulkan menjadi CRD Jawa Timur. Namun demikian, tugas CRD ini diharapkan tidak akan tumpang tindih dengan tugas-tugas lembaga lainnya dan fokus kegiatan akan diarahkan pada kajian perencanaan dan pengembangan wilayah.
Sementara itu ITS juga memiliki peran sebagai pusat pengembangan desain produk industri untuk kawasan Indonesia bagian timur. Melihat keadaan ini tampaknya ITS akan semakin sarat tugas-tugas yang akan dijalankan pada masa-masa yang akan datang ini, sementara tugas mencetak para sarjana harus menjadi lebih baik.
Sampai saat ini, ITS memiliki sekitar 1.000 tenaga pengajar, di antaranya 22 orang profesor, 100 orang doktor, 300 orang bergelar master dan sisanya sarjana lulusan dari berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri.
Mereka ini mengajar di empat fakultas, yakni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Teknologi Industri (FTI), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), serta Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), selain program pasca sarjana, diploma dan juga politeknik.
Sampai tahun ajaran 1000/ 2000 tercatat 16.599 mahasiswa, di antaranya 1.025 mahasiswa pasca sarjana, 10.425 mahasiswa program sarjana S-1, 4.149 mahasiswa D-3 dan politeknik. Sampai wisuda ke-80 bulan Maret lalu ITS sudah berhasil meluluskan 29.104 wisudawan, meliputi 330 program magister, 18.750 program sarjana dan sisanya D-3 dan politeknik.
Melihat kompleksitas yang dilakukan ITS sekarang, tampaknya tidak mungkin lagi hanya memikirkan hal-hal yang sektoral. Tantangan perguruan tinggi sains dan teknologi ini tidak lagi hanya sekarang meningkatkan nasib para nelayan yang memang masih tetap terpuruk, akan tetapi juga seluruh kegiatan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan teknologi.
Keadaannya bahkan sudah jauh dari ketika Angka dan Soendjasmono yang ketika itu menjabat “Ketua Persatuan Insinjur Indonesia (PII) Cabang Jawa Timur” mendirikan perguruan tinggi teknik swasta yang menjadi cikal bakal ITS. (AW Subarkah)