Seabad Pandemi Influenza, Penyakit Infeksi Baru: Urusan yang Belum Selesai

- Editor

Sabtu, 21 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seabad silam, pandemi influenza melanda dunia dan menjadi ancaman kesehatan serius yang merenggut nyawa 50 juta orang. Hingga kini, dunia masih gagap menghadapi ancaman pandemi penyakit infeksi baru.

Seratus tahun lalu, pandemi influenza melanda dunia. Diperkirakan, seperlima populasi dunia terinfeksi dan sekitar 50 juta orang di antaranya meninggal dunia. Kini, penyakit infeksi baru seperti menanti untuk menyebar saat sistem kesehatan rapuh dan negara lengah.

Pandemi influenza seabad lalu itu terjadi dalam tiga gelombang. Akhir 1917, ahli patologi dari militer Amerika Serikat menggambarkan ada penyakit baru yang mematikan. Laporan resmi pertama penyakit ini datang dari Haskell County, Kansas, tahun 1918. Wabah pertama diperkirakan terjadi di Kamp Funston, Fort Riley, Kansas, tempat militer AS berlatih sebelum terjun ke medan Perang Dunia I. Pada 4 Maret 1918 pagi hingga siang, 100 prajurit sakit dirawat di rumah sakit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI (NIK)–Uji Laboratorium Virus Flu Burung – Petugas mengambil sampel darah unggas untuk diuji memakai metodologi biologi molekuler (Polymerase Chain Reaction) di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Rabu (6/4/2016). PCR digunakan untuk mendeteksi infeksi virus H5N1 pada unggas yang akan dikirim ke luar dan masuk ke Provinsi Jawa Timur.–Kompas/Runik Sri Astuti

Gelombang kedua muncul seiring menyebarnya penyakit melalui para prajurit yang berperang pada Perang Dunia I dan memicu kematian jutaan orang pada Oktober-November. Virus penyebab penyakit itu lebih ganas. Gelombang ketiga yang keganasan penyakitnya lebih rendah terjadi pada awal 1919.

Saat itu ilmu pengetahuan belum bisa menguak misteri pandemi influenza. Perlu waktu 15 tahun untuk memastikan secara ilmiah pandemi influenza akibat virus. Tubuh pun asing pada virus penyebab influenza sehingga sistem kekebalan tubuh belum membentuk antibodi yang tepat. Jadi, banyak korban jiwa berjatuhan. Kecepatan penyebarannya tak diimbangi pengetahuan mencegah dan mengobatinya.

Sejak pandemi influenza pada 1918, ada beberapa epidemi influenza lain, seperti pada 1957 di Singapura, Taiwan, Filipina, China, Hawai, dan Hong Kong (1957 dan 1968). Sekitar 30 tahun kemudian, tepatnya 1998, muncul pandemi H5N1 atau flu burung. Pada 2009 muncul pandemi flu babi H1N1. Di AS, ibu hamil amat rentan terhadap infeksi virus H1N1.

Kemunculan pandemi influenza seabad lalu hingga kini terdokumentasikan dengan baik dalam laporan-laporan riset ilmiah di jurnal the Lancet.

Seiring munculnya pandemi influenza seabad terakhir, upaya mencegah, mendeteksi lebih baik, dan mengatasi pandemi dikembangkan melalui riset. Obat dan vaksin dikembangkan.

Menurut Koordinator Indonesia One Health University Network Prof Wiku Adisasmito, menghadapi pandemi atau wabah terkait dengan kemampuan mencegah, mendeteksi, dan merespons. Untuk kasus pandemi influenza, kemampuan negara-negara di dunia mendeteksi sudah maju, tetapi kemampuan mencegah belum sempurna. Hal itu ditandai, misalnya, pemasangan pemindai panas tubuh di pintu-pintu masuk negara hanya saat muncul kasus. Saat tak ada kasus penyakit, alat pemindai tak dipakai. Kewaspadaan pun menurun di saat seperti itu.

Padahal, negara-negara di dunia menghadapi mobilitas penduduk amat cepat. Seseorang bisa bepergian antarbenua kurang dari 24 jam dan kontak dengan banyak orang. Dengan lemahnya kapasitas pencegahan, kemungkinan ada wabah amat besar.

Namun, influenza berbeda dengan penyakit infeksi baru (emerging infectious disease) yang mayoritas bersumber dari binatang (zoonotik). Pada pandemi influenza dulu, yang dihadapi adalah satu jenis penyakit, sedangkan tantangan penyakit infeksi baru berbeda. Banyak jenis penyakit dihadapi dan belum diketahui sebelumnya. Contohnya, HIV/AIDS, sindrom pernapasan akut parah atau SARS, sindrom pernapasan Timur Tengah akibat virus korona atau MERS-CoV, dan zika.

Setelah menghilang lama, penyakit yang pernah mewabah bisa muncul lagi dan menyebar. Contohnya, kasus ebola di Afrika pertama kali muncul pada 1976, lalu muncul dan menyebar hingga menimbulkan banyak korban jiwa pada 2014. Wabah ebola meruntuhkan ekonomi negara-negara di Afrika yang menjadi pusat penyebaran.

Kemampuan mendeteksi
Kapasitas negara-negara di dunia dalam deteksi penyakit infeksi baru belum bagus. Penyebabnya, kolaborasi sektor kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kehutanan tak optimal. Di tiap sektor, kemampuan mendeteksi dan mencegahnya lemah. ”Di beberapa negara saja kapasitas deteksinya bagus,” kata Wiku.

Ketidaksiapan menghadapi wabah penyakit infeksi baru disebabkan lemahnya kesadaran pimpinan pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Kerja sektoral penanganan soal kesehatan terkait dengan sistem pendidikan kesehatan yang tak mengajari peserta didik melakukan pendekatan komprehensif mengatasi penyakit. Saat masuk sistem tata kelola pemerintahan, mereka tak biasa bekerja kolaboratif lintas sektor.

Kini, negara-negara di dunia memahami penyakit infeksi baru harus dengan pendekatan one health, tak semata urusan kesehatan masyarakat atau kesehatan hewan. Jika pemerintah menaruh perhatian besar pada upaya promotif dan preventif, idealnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ada komitmen mengatasi faktor risiko penyakit.

Inisiatif dari Vital Strategis, organisasi kesehatan global, bertajuk ”Resolves to Safe Lives”, memetakan kesiapan negara-negara menghadapi ancaman infeksi baru. Salah satu data pemetaan: hasil penilaian penerapan peraturan kesehatan internasional (IHR) 2005 oleh tim Joint External Evaluation (JEE) yang dikembangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Hasil pemetaan menunjukkan, dalam rentang nilai 0-100, nilai kesiapan Indonesia menghadapi wabah penyakit infeksi baru 64. Jadi, kemampuan mencegah, mendeteksi, dan merespons wabah penyakit perlu dibenahi, terutama aspek pencegahan wabah. Komponen turunan aspek pencegahan perlu ditingkatkan, antara lain regulasi, pembiayaan, koordinasi, komunikasi, advokasi IHR, resistansi antimikroba dan penyakit zoonosis, dan keamanan pangan.

Rencana aksi
”Saatnya komunitas global dan negara-negara meningkatkan kesiapsiagaan,” kata Tom Frieden, mantan Direktur Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS yang kini Presiden dan CEO Resolves to Save Lives dalam pernyataan tertulis.

Laporan JEE atas kapasitas inti IHR di Indonesia disusun WHO pada 2017 merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia punya rencana aksi nasional penerapan IHR 2005. Rencana aksi itu harus melibatkan berbagai lembaga dan kementerian tingkat nasional serta daerah. Kapasitas inti berbagai pihak terkait dalam penanganan infeksi baru harus dievaluasi dan ditingkatkan.

Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, dalam menghadapi ancaman penyakit infeksi baru, Indonesia menerapkan IHR 2005. IHR adalah siklus perbaikan dalam kesiapsiagaan menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat. Di sejumlah pintu masuk negara disusun rencana kontijensi kesiagaan menghadapi kedaruratan kesehatan warga.

Sebagai tindak lanjut penilaian penerapan IHR oleh Tim JEE WHO, rancangan instruksi presiden tentang pencegahan, deteksi, dan respons pada pandemi dan kedaruratan nuklir, biologi, serta kimia disusun. Wiku berharap inpres itu jadi langkah awal pemerintah mengoordinasikan berbagai sektor agar bekerja sama menanggulangi penyakit infeksi baru.–ADHITYA RAMADHAN

Sumber: Kompas, 21 Juli 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB