Inovasi merupakan tampuk dari penggerak bisnis perusahaan. Meski inovasi perusahaan banyak mengandalkan pemanfaatan teknologi, sumber daya manusia yang mampu menjawab kebutuhan pasar adalah kuncinya.
Survei Boston Consulting Group (BCG) 2019 berjudul “Most Innovation Companies” menemukan, 89 persen perusahaan di dunia menempatkan inovasi untuk pembaruan dan penyesuaian kebutuhan konsumen sebagai prioritas tertinggi dalam roda bisnis perusahaan.
Hal itu juga dilakukan perusahaan rintisan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, Amartha. Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (19/9/2019), mengatakan, Amartha senantiasa berinovasi untuk meningkatkan pengalaman pengguna layanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Ilustrasi – Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019).
“Kami sedang mengembangkan produk yang menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mendesain produk yang dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan maupun profil pelanggan. Teknologi AI dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi maupun kemampuan analisa,” ungkapnya.
Inovasi berbasis teknologi AI, menurut laporan BCG 2019, juga diandalkan 10 besar perusahaan paling inovatif di dunia, mulai dari Google hingga Adidas. Namun, perusahaan tersebut juga dilaporkan fokus pada inovasi eksternal. Sebagai contoh, 75 persen menggunakan inkubator, 81 persen memanfaatkan kemitraan akademik, dan 83 persen bermitra dengan perusahaan lain.
Aria mengatakan, inovasi eksternal diperlukan untuk membentuk sumber daya manusia (SDM) yang dapat berinovasi dengan membantu mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapi industri atau konsumen. Menurutnya, Amartha sudah melakukannya dengan membuka peluang pemagangan bagi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, serta bekerja sama mengadakan program inkubator bisnis.
“Kerja sama dengan inkubator bisnis akan membuat mahasiswa terekspos dengan masalah nyata yang ada di industri saat ini. Lewat program itu, mereka juga bisa meningkatkan keahlian berwirausaha sehingga ketika lulus mereka tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya.
KOMPAS/KOMPAS/ERIKA KURNIA–Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto.
Salah satu bentuk kerja sama dengan inkubator bisnis dilakukan Amartha bersama UMN, melalui Skystar Ventures, dan Nanyang Polytechnic (NYP) Singapura yang membuat program “Skystar Innovation Challenge” untuk pertama kalinya.
Hari ini, program itu mencapai puncaknya dengan acara presentasi dan penghargaan pada 10 tim, yang terbagi atas 35 mahasiswa UMN dan 13 mahasiswa NYP. Sebelumnya, mereka telah mengikuti pembekalan metode design thinking dan market research, serta studi kasus di dua perusahaan rintisan (startup) Indonesia yang bergerak di bidang AI.
Kolaborasi
Program seperti “Skystar Innovation Challenge” dalam inkubasi bisnis tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan keahlian mahasiswa atau pesertanya agar siap terjun ke industri atau mengembangkan usaha sendiri.
Head of Program Skystars Ventures Octa Ramayana mengatakan, kolaborasi antara akademisi dan industri dinilai penting untuk membangun ekosistem bisnis dan menghasilkan lebih banyak inovasi.
“Kita mau agar akademisi dan industri sama-sama terlibat dalam membangun ekosistem bisnis dan inovasi. Kita bisa belajar dari negara seperti Singapura, dua unsur tersebut bersama pemerintah dan masyarakat bisa berkolaborasi untuk menghasilkan banyak startup,” ujar dia.
Mengutip survei Compass dan SGInnovate tahun 2015, Singapura berada di peringkat sepuluh dunia dalam hal ekosistem startup. Adapun menurut Indeks Inovasi Global (GII) 2019, Singapura negara teratas dengan inovasi ekonomi terbaik di Asia Tenggara dengan skor 58,4. Indonesia menempati peringkat ke-7 di Asia Tenggara.
Wakil Rektor UMN Andrey Andoko mengatakan, untuk meningkatkan inovasi di dalam negeri, perguruan tinggi juga bertanggung jawab meningkatkan kompetisi mahasiswanya. “UMN menyadari, inovasi yang dikolaborasikan dengan tren teknologi yang sedang tumbuh, seperti AI, Internet of Things (IoT), dan data science sedang bertumbuh dan banyak membawa perubahan di industri. Kami pun memberi kesempatan pada mahasiswa untuk memiliki kompetisi di bidang tersebut,” tuturnya.
KOMPAS/KOMPAS/ERIKA KURNIA–Wakil Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Andrey Andoko.
Selain melalui mata kuliah di jurusan-jurusan terkait. Pembekalan tersebut juga diberikan pada mahasiswa atau alumni UMN yang mengikuti program inkubasi bisnis di Skystar Ventures. Skystar Ventures baru-baru ini mendapat akreditasi inkubator dengan klasifikasi A dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Sampai saat ini, Indonesia baru memiliki 120-130 inkubator bisnis, baik milik pemerintah maupun swasta. Setiap inkubator ditargetkan mencetak 5-6 wirausaha di bidang teknologi (technopreneur) tiap tahun. Namun demikian, rata-rata inkubator hanya mampu mencetak 2-3 perusahaan pemula yang sukses per tahun (Kompas, 27/8/2019).–ERIKA KURNIA
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 19 September 2019