“Kabel internal” kanker payudara bisa memprediksi perempuan mana yang lebih mungkin bertahan atau kambuh. Studi terbaru menunjukkan kanker payudara adalah konstelasi 11 penyakit terpisah yang masing-masing memiliki risiko berbeda untuk kembali atau kambuh.
Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature itu diharapkan mengidentifikasi penderita kanker payudara yang butuh pemantauan lebih ketat serta mereka yang punya risiko kekambuhan penyakit itu rendah. Meski hasil studi itu memberi harapan besar bagi pasien, Cancer Research Inggris menilai, itu belum siap dipakai secara luas.
KOMPAS/AYU SULISTYOWATI–Seorang petugas medis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, Bali, tengah memeriksa seorang ibu dengan alat deteksi kanker payudara, di atas bus pelayanan kesehatan gratis, di halaman Pura Desa lan Puseh Desa Kapal, April lalu. Ini merupakan bagian komitmen pemerintah Badung memberikan pelayanan maksimal untuk Progam Kesehatan Perempuan Badung.Kompas/Ayu Sulistyowati (AYS)19-04-2017
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kanker merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia. Menurut Riset Kesehatan Dasar, di Indonesia, prevalensi kanker pada 2013 mencapai 1,4 per 1.000 penduduk. Sejauh ini, kasus kanker terbanyak pada perempuan adalah kanker payudara dan kanker leher rahim, dan pada pria adalah kanker paru dan kanker hati.
Kementerian Kesehatan mencatat, 30 persen lebih kematian akibat kanker disebabkan faktor risiko antara lain obesitas, kurang konsumsi buah dan sayur, kurang aktivita fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berlebihan. (Kompas, 6 Februari 2019)
Terkait hal itu, berbagai riset terus dilakukan untuk mengatasi kanker. Para ilmuwan, di Universitas Cambridge dan Universitas Stanford, memantau dengan rinci pada hampir 2.000 perempuan yang kena kanker payudara. Mereka menilai kanker bukan jadi penyakit tunggal dan mencari terobosan terapi untuk mengklasifikasikan tumor.
Selama ini dokter mengklasifikasikan kanker payudara berdasarkan apakah pasien merespons hormon estrogen atau terapi yang ditargetkan seperti Herceptin.
Dalam studi itu, tim peneliti menganalisis mutasi genetik di dalam tumor untuk menciptakan cara baru untuk mengklasifikasikan mereka. Riset sebelumnya oleh kelompok peneliti itu menunjukkan kanker payudara adalah 11 penyakit terpisah, dengan penyebab dan kebutuhan perawatan berbeda.
Dengan mengikuti responden 20 tahun, tim peneliti kini bisa menunjukkan jenis kanker payudara yang lebih mungkin kambuh. “Ini kabel molekuler tumor. Jadi kanker payudara adalah konstelasi 11 penyakit. Ini merupakan langkah penting untuk obat tipe presisi lebih banyak,” kata Prof Carlos Caldas, Kamis (14/3/2019), kepada BBC.
Mengubah pengobatan
Menurut hasil studi terbaru, salah satu jenis kanker payudara paling sulit untuk diobati. Menurut Prof Caldas, jika penderita belum kambuh dalam lima tahun, maka mereka kemungkinan sudah sembuh. Namun, pada salah satu subkelompok masih berisiko tinggi mengalami kekambuhan penyakit tersebut.
Hal itu bisa membantu untuk memberitahu kepada penderita tentang risiko mereka tetapi juga mengubah cara terapi. Ada empat subkelompok kanker payudara yang didorong estrogen dan memiliki risiko kekambuhan meningkat. Para penderita dapat mengambil manfaat dari obat terapi hormone lebih lama seperti tamoxifen.
Studi itu menunjukkan masa depan pengobatan yang dipersonalisasi dan perawatan yang disesuaikan dengan penyebab spesifik kanker seseorang. Saat ini riset sedang dilakukan untuk melihat perawatan mana yang paling cocok untuk berbagai jenis kanker payudara.
Namun, cara para ilmuwan menganalisis dan menyaring kanker terlalu rumit untuk digunakan di fasilitas layanan kesehatan. Itu perlu disempurnakan menjadi bentuk yang dapat digunakan sebagai cara rutin untuk menganalisis kanker.
Prof Karen Vousden, kepala ilmuwan Cancer Research UK berharap pihaknya bisa menawarkan tes molekuler terperinci itu kepada semua perempuan yang menderita kanker payudara. “ Kami butuh riset lebih lanjut agar dapat menyesuaikan perawatan dengan jenis tumor pada pasien. Namun ini kemajuan menggembirakan,” ujarnya.
Oleh EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 20 Maret 2019