Restorasi Satu Kesatuan Hidrologis Gambut

- Editor

Senin, 2 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah diminta mengevaluasi dan meninjau ulang pelaksanaan pemulihan gambut agar kembali berbasis pada lanskap atau kesatuan hidrologis gambut. Restorasi gambut berupa pembasahan kembali gambut tak bisa dipisahkan oleh sekat administratif konsesi atau di luar konsesi.

Pelaksanaan restorasi gambut pascakebakaran tahun 2015 terjadi pembagian peran antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menangani area kawasan hutan dan Badan Restorasi Gambut yang menangani area di luar konsesi/di luar kawasan hutan. Temuan Eyes on the Forest (EoF), restorasi ini tak terkoordinasi dengan baik.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Riko Kurniawan (berdiri pegang mikrofon), Direktur Eksekutif Walhi Riau, Jumat (30/8/2019) di Jakarta, memaparkan laporan investigasi Eyes on the Forest, koalisi organisasinya dengan Jikalahari dan WWF Riau.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Temuan di konsesi PT Sumatera Riang Lestari di Riau, misalnya, menunjukkan kawasan hutan produksi berupa hutan tanaman industri tersebut masih basah. Ketinggian air diakui memenuhi Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut yang memandatkan tinggi minimal 40 sentimeter.

“Pemerintah mengatakan dasar restorasi itu kebakaran tahun 2015, tetapi pelaksanaannya tidak pada lanskap,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, bagian dari Eyes on the Forest, Sabtu (31/8/2019), di Jakarta.

Ia mengatakan restorasi tak bisa membedakan area berada di dalam atau di luar konsesi. Sebagai satu kesatuan hidrologis gambut, pengelolaan air akan sangat terkait dan saling terdampak.

Okto Yugo, Deputi Direktur Jikalahari, menemukan dalam satu lanskap terdapat perbedaan kondisi gambut yang mencolok. Seperti di area SRL, mereka menemukan tinggi muka air tanah 30 sentimeter karena terdapat sekat kanal yang membendung air. Sayangnya, tinggi muka air tanah di desa sekitarnya mencapai 1,5 meter.

Dengan ketinggian tersebut, gambut dalam kondisi sangat kering. Temuannya, pada tahun ini, lahan gambut di masyarakat tersebut terbakar dan merembet hingga sebagian wilayah perusahaan.

Ia mengingatkan perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab memadamkan api di luar batas konsesi atau di lahan-lahan desa. Daripada mengandalkan pemadaman yang berisiko dan berbiaya tinggi, ia meminta agar pengelolaan air antara konsesi kehutanan dengan lahan masyarakat maupun areal perkebunan diperhitungkan dalam satu lanskap.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Petugas gabungan dari polisi dan PT SRL bekerja sama memadamkan kebakaran lahan di Kelurahan Terkul, Rupat, Kamis (28/2/2019)

Terkendala
Riko Kurniawan menambahkan upaya restorasi dalam satu lanskap ini terkendala Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2019 yang memperbolehkan pemanfaatan puncak kubah gambut bila terdapat lebih dari satu puncak kubah gambut. Menurutnya, aturan ini berisiko bila dimanfaatkan untuk kegiatan eksploitatif.

Terkait kekhawatiran ini, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono mengungkapkan pemanfaatan puncak kubah gambut mengacu pada PP 57 tahun 2016. Di situ, pemanfaatan fungsi lindung diperbolehkan untuk tujuan penelitian, jasa lingkungan, dan perhutanan sosial. “Jangan berpikir kalau pemanfaatan itu serba eksploitasi,” kata dia.

Dikonfirmasi pengelolaan gambut di SRL serta pemberitaan Kompas 30 Agustus 2019, APRIL Group, melalui Deputy Director Corporate Communications Anita Bernardus menyatakan seluruh pemasok APRIL diharuskan mematuhi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (SFMP) 2.0 perusahaan dan Standar Operasi Prosedur, termasuk dalam pengelolaan air di areal lahan gambut. Ia pun menegaskan APRIL bersama partner penyuplainya berkomitmen mengelola gambut secara bertanggungjawab sesuai peraturan dan tujuan pemerintah.

“APRIL juga siap membantu dalam pengelolaan air di areal lahan gambut konsesi supply partner kami. Dan APRIL bersama supply partners turut membantu masyarakat sekitar lahan konsesi dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran,” ungkap dia.

Dalam kesempatan ini, APRIL juga menyatakan PT Satria Perkasa Agung (SPA) bukan grup APRIL seperti diberitakan Kompas, 30 Agustus 2019. Dalam laporan EoF, Agustus 2019, pun disebutkan PT SPA merupakan grup APP Sinarmas.–ICHWAN SUSANTO

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 2 September 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB