Pengalaman Mesir memberikan pelajaran berharga bahwa lambatnya akademisi turun gunung tidak akan membantu menyelamatkan demokrasi dari kondisi acakadut. Saat gejolak Musim Semi Arab (”Arab Spring”) menguat dan Mesir mengalaminya secara cepat sepanjang tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2012, para akademisi terlambat merespons. Menara gading masih menjadi zona nyaman bagi mereka.
Akademisi ternama dari kampus besar, seperti Universitas Al Azhar, baru turun aktif ke lapangan nasional pada saat situasi politik di Mesir sudah mulai menuju ke arah yang kaotik.
Kontribusi mereka pada akhirnya tak maksimal dalam mengawal demokrasi. Terpilihnya tokoh Islamis, Muhammad Mursi, sebagai presiden pada 30 Juni 2012 tak bertahan lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Panggung sosial, politik, dan ekonomi mengalami guncangan hebat. Situasi acakadut yang kian akut akhirnya mengundang militer turun tangan dan perjalanan demokrasi pun lalu harus memperhadapkan sipil dan militer.
Tanggung jawab moral akademisi
Dalam pemahaman umum, akademisi identik dengan nilai moral dan prinsip independensi. Guru besar adalah jabatan fungsional tertinggi dalam karier akademisi. Dengan otoritas akademik yang dimiliki, guru besar sudah selayaknya dan semestinya memainkan peran dalam menjamin perjalanan bangsa, termasuk demokrasi. Tentu itu dilakukan melalui kekuatan nilai moral dan prinsip independensinya.
Memasuki era pasca-kebenaran (post-truth) yang memungkinkan yang salah jadi benar karena tampil aktif mewarnai ruang publik, guru besar sepatutnya memainkan kekuatan moral dan independensinya untuk mengawal ruang publik sebagai destinasi tersemainya kebajikan bersama. Sebab, tantangan Indonesia saat ini adalah tantangan otoritas ruang publik.
Siapa yang menguasai ruang publik, dialah yang menguasai panggung nasional. Proses produksi dan konsumsi gagasan pun ditentukan dan dipengaruhi oleh penguasaan atas ruang publik ini.
Maka, dalam aras ini, media memainkan peranan sangat penting. Proses produksi dan konsumsi gagasan seperti di atas dimulai dan dikembangkan melalui media. Pada titik inilah ruang publik terwarnai karena basis kognitif publik dibentuk dan dipengaruhi oleh proses produksi dan konsumsi dimaksud. Apa yang oleh pepatah Inggris digambarkan dengan kalimat you are what you consume (jati dirimu ditentukan oleh apa yang kau konsumsi) dimainkan dengan begitu apik oleh media.
Artinya, basis kognitif publik pun sangat dipengaruhi apa yang mereka konsumsi. Kalau yang mereka konsumsi berkecenderungan intoleran, apa yang akan dilakukan juga akan cenderung intoleran. Begitu pula sebaliknya. Media menjadi pemantik dan sekaligus pengembang basis kognitif publik yang demikian ini. Artinya, pergerakan indeks keadaban publik dimulai dari proses produksi dan konsumsi gagasan yang difasilitasi oleh media.
Nafsu besar untuk mengejar publikasi internasional bereputasi yang kini menjadi pusat perhatian akademik tidak selayaknya membuat guru besar terjauh dari panggung sosial kemasyarakatan. Rezim Scopus yang mencengkeram gerak akademik para akademisi tak sepatutnya membuat langkah guru besar terhenti pada target publikasi internasional bereputasi semata, lalu menggerus peran sosial mereka yang sangat diharapkan oleh publik.
Politik gagasan, yang oleh John Kenneth White dan John C Green dalam karya bunga rampai The Politics of Ideas (2001) digunakan untuk menggambarkan pentingnya gagasan (the importance of ideas) dan gagasan perihal penting (ideas of importance), adalah bagian inheren dari gerak akademik guru besar.
Dalam aras berpikir ini, guru besar harus aktif memainkan peran otoritatifnya untuk memproduksi gagasan di ruang publik. Itu karena siapa yang memproduksi gagasan akan membentuk basis pengetahuan dan kesadaran mereka yang mengonsumsinya.
Ruang publik punya pengaruh yang kuat bagi penciptaan basis pengetahuan dan kesadaran bersama. Karena itu, dengan kekuatan moral dan prinsip independensi yang dimiliki, sangat lacur jika guru besar abai terhadap peran sosial ini, terutama dalam memanfaatkan politik gagasan untuk kebajikan bersama di ruang publik.
Logika publik perlu disadari bahwa siapa yang sering muncul di media, baik arus utama (mainstream) seperti televisi ataupun koran maupun alternatif seperti media sosial, dia akan dianggap orang yang paling otoritatif dan kemudian menjadi sumber kebenaran. Dalam basis logika umum, muncul kecenderungan untuk mendasarkan kebenaran pada apa yang sering muncul di permukaan melalui media. Dalam konteks inilah lalu ruang publik kita sangat diwarnai oleh produksi gagasan, baik melalui media arus utama maupun alternatif di atas.
Namun, pada perkembangan terkini, media sosial harus mendapat perhatian berlebih, menyusul sebuah fakta bahwa media arus utama yang menjadi sumber informasi otoritatif masyarakat sudah tidak lagi terbuka untuk diakses publik secara leluasa (open accessed). Di media-media arus utama itu sudah muncul kebijakan berbayar ketika orang mau mencari atau mendapatkan informasi dari sumber itu. Kondisi ini membuat warga konsumen, terutama kaum milenial, merasa tidak nyaman. Akhirnya, mereka pun mencoba ”sumber lain” yang gratis atau bebas akses.
Di sinilah lalu konsumsi terhadap media sosial sangat tinggi. Ini lalu mengubah pola ekspresi kehidupan publik kita. Relasi antarindividu lintas kelompok pun akhirnya ditentukan oleh bagaimana masing-masing mengonsumsi gagasan di ruang publik, khususnya medsos. Pranata sosial pun bisa bergeser. Termasuk kebinekaan yang menjadi pilar penting bangunan sosial negeri ini bisa terancam oleh produksi intoleransi di ruang publik melalui media sosial.
Tak boleh abai
Dunia akademik tidak boleh abai terhadap perkembangan ini. Konsep menara gading yang menempatkan dunia akademik pada posisi di awang-awang yang tak membumi bukanlah pilihan yang bisa diambil oleh para akademisi, khususnya guru besar. Sebab, keterlambatan akademisi masuk ke ruang publik melalui kekuatan gagasan, moralitas, dan independensi yang dimiliki, seperti terjadi di Mesir, membuat kontribusi akademisi semakin tertinggal.
Oleh karena itu, para akademisi, khususnya guru besar, harus hadir secara kuat di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran mereka tidak saja melalui tindak akademik, seperti pengajaran dan riset, tetapi juga melalui produksi gagasan yang menjadi wacana di ruang publik hingga tindakan konkret pengabdian.
Caranya, turunlah ke masyarakat melalui forum-forum publik, seperti melalui pendampingan masyarakat di lapangan sosial, baik berbasis sosial ekonomi maupun keagamaan, serta pembelajaran di ruang publik. Pembelajaran yang demikian dilakukan baik melalui media sosial maupun media reguler lainnya. Intinya, guru besar harus turun gunung apabila tidak ingin ruang publik menjadi acakadut.
Guru besar tidak selayaknya hanya menjadi simbol surplus akademik, sementara di dalamnya terdapat defisit kebangsaan dan kemasyarakatan. Surplus akademik dimaksud menandai semakin tingginya kualifikasi akademik, sedangkan defisit kebangsaan menyiratkan kecenderungan berkurangnya indeks kompetensi serta perilaku kebangsaan dan kemasyarakatan. Guru besar patut menjamin agar surplus akademik tidak diiringi defisit kebangsaan dan atau kemasyarakatan.
Pendidikan akademik yang baik, seperti yang diwakili oleh jabatan fungsional guru besar, harus bisa menjamin indeks kebangsaan secara bersamaan. Pasalnya, semua negara memiliki tujuan politik pendidikan yang sama, yang oleh Stephan Millet (2008:23) digambarkan sebagai instrumen penciptaan warga negara yang baik (good citizen). Pada titik inilah guru besar patut hadir dengan aktivisme yang terukur di ruang publik, bukan semata di ruang sempit bernama laboratorium artifisial dan publikasi di tengah berkuasanya rezim Scopus.
Akh Muzakki Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur
Sumber: Kompas, 10 Januari 2019