Sebuah artikel yang ditulis oleh Ronald G Ehrenberg (2014, JEL, Des, Vol LII, No 4) melihat kesulitan penyelenggara pendidikan tinggi negeri di Amerika Serikat.
Selain masalah keuangan, faktor yang sangat penting adalah masalah tata kelola yang lemah. Ehrenberg juga melihat, kendatipun pendidikan di perguruan tinggi swasta (PTS) AS jauh lebih baik, kedua problem utama ini tetap muncul dan menjadi diskusi yang cukup intensif.
Kesimpulan bahwa PTS di AS lebih baik dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri (PTN) agaknya tak berlaku di Indonesia. Memang sulit dibandingkan. Hal ini mengingat AS telah mengelola pendidikan tinggi berabad-abad lamanya dibandingkan dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perguruan tinggi yang tua-tua, bangunannya seperti sarang hantu, melahirkan produktivitas keilmuan yang tinggi. Katakan kualitasnya sekelas Universitas Harvard dan Columbia. Ketika berkunjung ke dua PTS itu, semua mahasiswa dan dosennya terlihat serius, berlari mengejar waktu. Di dinding-dinding tempat pengumuman sangat lumrah kita baca pengumuman dosen tamu. Mereka penghasil hadiah Nobel, memberikan kuliah umum, lalu mahasiswa dan dosen berburu mengejar tempat duduk untuk mendengarkan rahasia yang akan disampaikan oleh pembicara utama.
Di tempat kita, jumlah PTN ratusan PTN, sementara PTS sudah lebih dari 3.000 PTS. PTS penting karena 70 persen mahasiswa belajar di PTS. Mereka tengah mengharapkan kehidupan baru setelah selesai kuliah.
Suasana seperti PTS kelas wahid di AS sulit kita temukan di Indonesia. Di PTN layer satu pun, kuliah-kuliah umum seperti itu jarang diperoleh. Karena pembicaranya sulit ada, mahasiswa dan dosen justru suka melihat entertainment pada figur publik membahas masalah aktual.
Dari PTS-PTS di Indonesia yang tumbuh subur semenjak 1990-an sampai 2010, sangat bisa dihitung dengan jari mana yang berkembang pesat. Persoalan PTS di Indonesia tidak mendapatkan penanganan yang memadai lantaran beberapa hal.
Pertama, sulit menyediakan dosen bermutu. Kalaupun tersedia, kebanyakan pindah-setelah selesai pendidikannya-menjadi pegawai negeri atau memilih bekerja secara profesional. PTS menghadapi masalah serius ini sepanjang tahun. Yayasan pasrah karena tidak mudah melahirkan seorang dosen yang bermutu.
Penulis pernah mengusulkan sebaiknya penyediaan dosen dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak penuh, separuh pun cukup, katakan tiga orang per jurusan. Beban APBN tentu ada, tetapi pengembalian dari penyediaan anggaran untuk pengadaan dosen di PTS sangatlah tinggi. Setidaknya berupa penyelenggaraan pendidikan yang dapat memenuhi aspek pemerataan, kualitas, dan akuntabilitas.
Kedua, konsekuensi masalah pertama, PTS memiliki kehidupan “Senin-Kamis”. Keuangannya tak mudah dan banyak yang merugi. Sebab, mahasiswa di kelas yang disediakan semakin sedikit atau keuangan PTS diperebutkan oleh para pendiri dan penyelenggara. Persoalan lain adalah konflik kepentingan di dalam tubuh yayasan. Persoalan ini bisa muncul pada sekitar 25 persen dari total PTS saat ini.
Ketiga, akumulasi persoalan pertama dan kedua, PTS dililit tata kelola yang bermasalah. Hal itu mulai dari sulitnya menyediakan tempat yang representatif, pendataan PTS yang tak bisa memenuhi sistem melalui pangkalan data perguruan tinggi yang dirancang, dan tingkat turnover karyawan yang tinggi sebagai akibat gaji rendah.
Masalah potensial
Ketika 243 PTS dinyatakan ditutup (Kompas, 6/10), sebenarnya ini konsekuensi belum berjalannya sistem monitoring oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Dulu, Yahya Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional, mengusulkan agar Kopertis di-backup oleh staf ahli. Ini mengingat keberadaan koordinator dan sekretaris tidak cukup untuk melayani pembinaan PTS di daerah kerjanya. Apalagi dengan sistem sekarang, pekerjaan koordinator Kopertis diakui sebagai pekerjaan tambahan.
Jika di Kopertis Wilayah X dulu tersedia 214 PTS, menghadiri kegiatan wisuda saja tidak akan pernah bisa selesai dalam satu tahun untuk menjangkau semua PTS. Pengecekan daftar calon wisuda dilakukan, tetapi di daerah lain kabarnya tidak dilakukan.
Pengecekan PTS melalui monitoring tidak membuahkan hasil dari proses monitoring yang ada. Di antaranya praktik PTS kelas jauh, menerima murid di atas ketentuan jumlah, dan mewisuda dengan SKS yang tidak selalu jelas perhitungannya. Izin kadang muncul dari atas sekalipun PTS-nya belum siap.
Pasar gelap PTS seperti ini masih ada konsumennya. Akan tetapi, sistem monitoring yang dibangun saat ini tetap tidak bisa membuahkan keberanian untuk menghentikan praktik gelap PTS tersebut.
Jangankan PTS, PTN juga melakukan praktik pembukaan kelas jauh. Itu bisa diperiksa di kebanyakan PTN di provinsi-provinsi. Karena tidak ada tindak lanjut, lalu fenomena semacam ini akhirnya merupakan budaya yang bisa diterima oleh masyarakat. Alhasil, kualitas PTN sulit naik, apalagi PTS.
Penghentian operasionalisasi PTS di atas jelas perlu disikapi dengan menyiapkan instrumen kebijakan. Pertama, mesti disediakan pembinaan bagi mahasiswa yang “telanjur” jadi alumnus. Program sertifikasi, misalnya, bisa dijadikan exit policy. Jika tidak, akan banyak korban yang berjatuhan alias korban dampak dari kebijakan itu.
Kedua, bagi tamatannya, konsekuensi aturan kepegawaian membayangi. Mereka ada yang sudah menjabat, seperti guru dan pegawai pemerintah daerah. Bisa muncul gerakan mempertanyakan keabsahan ijazah. Karena itu, tindakan mengapkir PTS sebaiknya juga diikuti penyiapan bagaimana mengatasi masalah yang bakal muncul.
Ketiga, bagi PTS yang menunggu daftar antrean untuk apkir, pembinaan justru lebih baik dibandingkan dengan pembinasaan. Tentu pembinaan bisa dilakukan dengan membangun komponen-komponen penting, di antaranya penyediaan dosen oleh pemerintah, pembinaan oleh universitas negeri setempat, serta penguatan akuntabilitas.
ELFINDRI, Mantan Koordinator Kopertis Wilayah X (2009-2012) dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul “PTS Apkir”.