Berawal dari kiriman posting salah satu alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, berupa hasil pemindaian artikel saya yang dimuat di koran nasional. Dalam posting-an ada tertulis “karya Prof Sulardi”. Celakanya, ketika saya meneruskan posting-an tersebut ke kolega, saya tidak sempat menghapus kata “karya Prof Sulardi” itu.
Menyadari hal itu, saya segera menyusuli dengan keterangan bahwa tulisan prof berasal dari pengirim pindaian artikel itu. Tak dinyana, ralat tersebut dijawab demikian, “profesor substansial”. Jawaban saya pun cukup ikon tersenyum.
Syarat berat
Saya percaya bahwa setiap dosen bermimpi menjadi profesor, jenjang jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi, seperti halnya prajurit yang bermimpi menjadi jenderal. Untuk menjadi profesor saat ini tidaklah semudah sebelum tahun 2010-an ketika belum dipersyaratkan ada artikel yang dimuat di jurnal internasional bereputasi, dalam hal ini terindeks Scopus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sesungguhnya, sudah banyak doktor di Indonesia yang mempunyai jabatan akademik lektor kepala, jabatan setingkat di bawah guru besar. Para doktor itu pun telah mempunyai angka kredit yang dipersyaratkan untuk mendapatkan gelar guru besar, 850-1.200 angka kredit. Problemnya, walaupun angka kredit itu telah mencapai angka yang dipersyaratkan, surat keputusan sebagai guru besar belum bisa didapatkan karena belum ada makalah yang dimuat di jurnal internasional bereputasi dan terindeks Scopus.
Dua tahun lalu, saya menulis artikel dengan judul “Guru Besar Itu Membumi atau Melangit”. Merupakan tulisan kritik kepada pengambil keputusan di Kementerian Ristek dan Dikti bahwa menjadi guru besar lebih menitikberatkan karya-karya yang tidak membumi, karya yang melangit di jurnal internasional yang terindeks Scopus. Padahal, seharusnya karya seorang profesor itu bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya, baik secara implementasi maupun secara teoretis. Bukan sekadar karya besar yang termuat dalam jurnal internasional yang tak terbaca masyarakat di lingkungannya.
Kita pahami bersama bahwa untuk sampai dimuat di jurnal terindeks Scopus, seorang pengajar bergelar doktor mesti bisa menulis dengan bahasa resmi PBB, salah satunya bahasa Inggris yang baik dan benar. Kedua, referensinya dikutip dari jurnal-jurnal yang terindeks Scopus, dan berbayar. Jika tidak begitu, dapat dipastikan tidak dapat termuat di jurnal yang terindeks Scopus.
Sedalam apa pun keilmuan dan semenarik apa pun tulisannya, yang berasal dari hasil penelitian itu, tidak ada gunanya jika digunakan untuk memenuhi syarat menjadi guru besar apabila hanya dimuat di jurnal nasional. Begitu sulitnya sebuah karya dimuat dalam jurnal terindeks Scopus sampai Deddy Mulyana menulis artikel dengan judul “Hantu Scopus” (Kompas, 12 Februari 2017).
Profesor substansial
Jawaban kolega, dengan mengatakan profesor substansial , itu ternyata sangat melegakan. Sebab, saya tidak dinilai mengaku-aku sebagai profesor.
Jawaban itu sekaligus memberikan semangat bahwa seorang akademisi lebih baik menunjukan karyanya daripada gelar-gelarnya, apalagi seorang profesor. Secara demikian, sudah saatnya bagi para doktor yang belum mampu menembus jurnal internasional bereputasi tetap bersemangat untuk berkarya dan menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ini telah profesor secara substansial.
Wujud dari profesor substansial itu berupa pengakuan dari pemangku kepentingan, kepada para kolega kita dengan menempatkan kita di jajaran profesor yang formal. Karena itu, kita wajib pula menunjukkan diri, baik secara perilaku saat berinteraksi dengan mahasiswa yang merupakan kader penerus ilmuwan kita, dengan teman sesama dosen, dengan kolega, dan dengan siapa pun, menunjukkan diri sebagai ilmuwan yang mendalami ilmunya dengan bersahaja. Menyediakan diri menjadi orangtua yang membimbing para mahasiswa, siap menyampaikan gagasan terbaru dalam bentuk lisan maupun tulisan, dan dapat menjadi teladan bagi para pengajar yunior.
Karena itu, marilah tetap terus berkarya, dengan temuan-temuan brilian, dengan gagasan yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa, termasuk di dalamnya dalam bersikap. Sejatinya, seorang profesor itu profesional di bidang keahlian masing-masing. Ronaldo, Lionel Messi, dan Maradona adalah contoh profesor di bidang sepak bola. Demikian halnya dengan Maria Sharapova, Serena Williams, Roger Federer, dan Nadal adalah profesor di bidang tenis. Masih banyak contoh lain profesor substansial dalam berbagai bidang, termasuk seni, budaya, agama, dan lainnya.
Marilah kita menunjukkan diri bahwa kita adalah profesor di bidang keilmuan kita walaupun belum mendapat surat keputusan sebagai profesor dari negara. Masyarakatlah sesungguhnya yang memercayai dan mengakui bahwa kita benar-benar profesional di bidang keahlian kita sehingga mereka layak memanggil kita prof, seperti alumnus saya dan beberapa kolega yang senantiasa memanggil saya prof, profesor substansial. Bukan prov, provokator.
SULARDI, DOSEN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul “Profesor Substansial”.