Profesor Minim Karya Ilmiah

- Editor

Rabu, 10 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menjadi guru besar merupakan idaman banyak dosen. Namun, setelah gelar profesor melekat di depan nama mereka, tugas utama, yakni riset dan publikasi ilmiah, terlupakan.

Produktivitas guru besar atau profesor di perguruan tinggi dalam tiga tahun terakhir dievaluasi akhir 2017. Hasilnya, para profesor masih minim menghasilkan karya ilmiah, paten, maupun karya seni atau desain monumental.

Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti, di Jakarta, Selasa (9/1), mengemukakan, selama ini belum ada pemetaan soal kinerja dosen, terutama di jenjang jabatan akademik profesor dan lektor kepala. Evaluasi dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Evaluasi per tiga tahunan untuk pertama kalinya dimulai pada November 2017. Profesor yang mendapat tunjangan kehormatan profesor sedikitnya harus punya tiga publikasi ilmiah di jurnal internasional atau satu publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi, paten, atau karya seni/ desain monumental. Namun, profesor yang memenuhi ketentuan itu jumlahnya masih minim.

Mengacu pada data di Science and Technology Index (Sinta) atau Pusat Indeks Sitasi dan Kepakaran di Indonesia yang dibuat Kemristek dan Dikti tahun lalu, terdata 4.299 profesor yang mendaftar dari total 5.366 profesor di Indonesia. Para profesor yang memenuhi syarat publikasi sesuai Permenristekdikti No 20/2017 hanya 1.551 orang.

”Memang publikasi bukan satu-satunya alat untuk mengukur kinerja profesor. Namun, ini sebagai salah bentuk bahwa para profesor telah melakukan penelitian atau pembimbingan. Jika ini berjalan, berarti setidaknya profesor berfungsi,” kata Ghufron.

Secara terpisah, Menristek dan Dikti Mohammad Nasir mengatakan, dosen dan peneliti Indonesia berpotensi melakukan riset dan publikasi dalam upaya menghasilkan inovasi. Dengan kebijakan mengevaluasi kinerja publikasi profesor dan lektor kepala, serta membuat Sinta, publikasi ilmuwan Indonesia pada skala nasional dan internasional mulai terdata.

Mengalahkan Thailand
”Indonesia akhirnya bisa lebih unggul dalam jumlah publikasi daripada Thailand,” kata Nasir. Ia merujuk pada angka sampai akhir Desember 2017 bahwa publikasi Indonesia mencapai 16.471 karya ilmiah, sedangkan Thailand 14.200 karya ilmiah.

Nasir optimistis publikasi Indonesia bakal terus bertambah. Sebab, jumlah dosen dan peneliti yang terdaftar di Sinta baru mencakup sekitar 28 persen dari total dosen dan peneliti.

Di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, di Januari ini terdata 277.000 dosen. Mereka tersebar di 4.547 perguruan tinggi dengan jumlah 26.742 program studi.

Ghufron mengatakan, pembandingan dengan Thailand bukan ”juara-juaraan”, melainkan sebagai cara untuk mengukur produktivitas. ”Ternyata, jika dipacu, kita yang punya dosen lebih banyak daripada negara ASEAN lain bisa produktif. Tetapi, realitasnya, produktivitas masih rendah sehingga perlu dibangunkan dan ’dipaksa’,” ujarnya.

Upaya peningkatan produktivitas profesor dalam negeri, antara lain, dilakukan dengan menggelar program kunjungan profesor berkelas dunia, baik dari peraih Nobel, pemimpin akademik dari perguruan tinggi luar negeri ternama, maupun ilmuwan diaspora Indonesia. ”Kami merangsang perguruan tinggi untuk memanfaatkan kolaborasi yang disiapkan Kemristek dan Dikti,” kata Ghufron. Disediakan hibah lebih dari Rp 2 miliar bagi profesor untuk bisa menggandeng profesor internasional untuk kolaborasi riset dan publikasi internasional.

Jadi konsultan
Dalam pandangan Ghufron, seharusnya menghasilkan publikasi internasional setiap tahun tidak berat bagi profesor. ”Tetapi, saat ini banyak yang setengah tidur atau memiliki prioritas dan kesibukan lain. Banyak yang cuma fokus mengajar atau menjadi konsultan. Akibatnya, penelitian dan penulisan ilmiah dan tugas pokok dalam mentransformasikan iptek serta mengembangkan dan menyebarluaskan iptek terbengkalai,” tutur Ghufron.

Ketua Umum Persatuan Guru Besar Indonesia Gimbal Doloksaribu mengatakan, produktivitas profesor masih terganjal di aktivitas riset yang berkualitas. Bagi doktor dan guru besar yang mengajar di perguruan tinggi swasta (PTS) yang kecil, dukungan anggaran riset dan publikasi minim atau tidak ada.

”Kami berjuang supaya hibah dana penelitian itu tidak harus dikompetisikan. Akibatnya, yang dapat terbatas. Seharusnya profesor yang di PTS kecil pun bisa diberi dana riset. Jika hasilnya tidak sesuai, bisa dikaji untuk dihentikan. Kesulitan anggaran ini menjadi masalah bagi guru besar di PTS untuk produktif,” ujar Gimbal.

Dari data jumlah profesor yang ada, meski PTS mencapai lebih dari 4.000, jumlah profesor baru 1.114 orang. Adapun perguruan tinggi negeri menghasilkan 4.252 profesor. Artinya sebaran profesor tak merata.

Ketua Forum Rektor 2017 Suyatno mengatakan, produktivitas guru besar Indonesia yang masih rendah menunjukkan budaya riset di perguruan tinggi belum tumbuh dengan baik. Perguruan tinggi perlu terus didorong agar berani melakukan inovasi dalam mendorong kinerja dosen dalam menerapkan tridarma (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat). ”Selain itu, pemerintah perlu menggandeng asosiasi profesor dan dosen untuk mencari langkah-langkah konkret meningkatkan produktivitas dosen dan peneliti,” ujar Suyatno.

Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Hamka, Jakarta, itu, perguruan tinggi harus memberikan dukungan bagi dosen untuk meriset dan memublikasi. Di Uhamka, dosen yang menulis di jurnal internasional bereputasi seperti Scopus mendapat bantuan biaya publikasi. Jika berhasil menembus publikasi, ada insentif dari kampus. (ELN)

Sumber: Kompas, 10 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB