PEMBERIAN gelar akademik dan sebutan profesional sesungguhnya hanya dapat diberikan oleh perguruan tinggi (PT) yang telah memenuhi persyaratan seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0686/U/1991. Secara yuridis, PT yang tidak memenuhi persyaratan tidak berwenang dan dilarang memberikan gelar akademik atau sebutan profesional.
Penyandang gelar akademik dan/atau sebutan profesional secara hukum dipandang telah mencapai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang djpersyaratkan. Ijazah yang dikeluarkan oleh PT yang sah menjadi fakta otentik dan bukti yang sah, bahwa ia memang sudah memenuhi syarat untuk menyandang gelar itu.
Apabila ada penyandang gelar akademik atau sebutan profesional tidak mempunyai kualifikasi ilmu pengetahuan atau keterampilan yang mencerminkan gelarnya, maka terdapat tiga kemungkinan, yakni gelar atau sebutan profesional itu (1) dari PT yang sah dengan cara yang kurang memenuhi syarat, (2) dari PT yang sah tetapi memiliki mutu rendah, atau (3) dari PT yang tidak memenuhi persyaratan dan (mungkin) sudah dibekukan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyandang gelar akademik/ sebutan profesional kesatu dan kedua secara yuridis adalah sah, namun secara moral adalah salah. Bahkan bila ditinjau dari ajaran sifat melawan hukum secara material (materiele wederrechtelijkheid), mereka telah melakukan kejahatan, karena menyandang gelar akademik/sebutan profesional yang semestinya belum berhak disandangnya. Sayangnya, dalam penegakan hukum alasan ini sulit dilaksanakan, sebab sering berbenturan dengan asas legalitas. Akan tetapi yang benar-benar mendatangakan problematika yuridis untuk regulasi bidang pendidikan adalah pemberian gelar akademik/ sebutan profesional dari PT yang tidak sah. Problematika ini tidak berdiri tunggal. Banyak hal yang terkait di dalamnya.
APABILA ditelusuri, ternyata dalam perundang-undangan di bidang pendidikan yang berlaku saat ini tidak ada ketentuan yang menetapkan secara definitif penanganan PT yang tidak sah. Secara hukum, penyelenggaraan PT yang tidak sah merupakan pelanggaran hukum, karena ada aturan publik yang dilanggar. Tetapi sifat memaksa dalam aturan bidang pendidikan sedikit yang dapat ditindaklanjuti.
Tidak diperhitungkannya penyelenggaraan PT yang tidak sah, barangkali, karena UU Nomor 2/1989 memungkinkan setiap warga negara mempunyai hak yang sama memperoleh dan menyelenggarakan pendidikan. Namun bukan berarti pemerintah tak bisa menjangkau PT yang tidak sah. PT yang belum memenuhi syarat belum merupakan entitas PT. Adapun PT yang sudah ditutup pemerintah kehilangan entitasnya sebagai PT. Dengan demikian, PT yang tak sah bukanlah PT.
Oleh karena bukan PT, maka tak berhak memberikan gelar akademik atau sebutan profesional. Dengan jalan pikiran ini, barang siapa yang memakai gelar atau sebutan profesional yang diraih dari PT yang tidak sah adalah melakukan kejahatan. Menurut logika, sesuatu tidak mungkin ada dari sebab yang tidak ada. Logikanya, penggunaan gelar atau sebutan profesional dari PT yang tak sah sama halnya dengan mengadakan gelar atau sebutan untuk dirinya sendiri.
Terhadap PT yang tidak sah dan tetap bersiteguh menjalankan kegiatannya, kendati sudah terkena larangan pemerintah, dapat diberlakukan ketentuan pidana tentang penipuan, pemalsuan, perbuatan curang (beddrog), penyesatan (misleading), dan pasal lain yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun harus diingat, penyelenggaraan pendidikannya kecil kemungkinan bisa dijaring melalui ketentuan pidana. Sasaran penertiban yang paling mungkin dilakukan adalah terhadap
pemakai gelar tersebut.
Paralel dengan masalah ini, adalah pemberian gelar atau sebutan profesional yang terang-terangan mengaku bukan PT. Persoalan yang timbul adalah ”gelar akademik” atau ”sebutan profesional” yang ditawarkan kepada masyarakat itu dikerangkakan di luar yang sudah ditentukan UU. Bisa jadi, walau maksud dan tujuannya sama, gelar atau sebutan itu tidak dinyatakan sebagai gelar akademik atau sebutan profesional sebagaimana diatur dalam UU. Kalau istilah itu dipersoalkan, sudah disiapkan perdebatan semantik yang panjang-lebar.
Untuk menertibkan institusi pendidikan yang tidak sah itu, UU Nomor 2/1989 memang tidak bisa menjangkau. Karena itu perlu revisi terhadap UU tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Selain itu, perlu pula dibuat PP yang mengatur penggunaan gelar akademik dan sebutan profesional yang selama ini memang belum ada. Namun diakui, revisi UU dan membuat PP membutuhkan waktu yang lama, sedangkan kebutuhan pengaturan dan penertiban gelar itu sangat mendesak. Oleh karena itu, perlu sebuah surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi yang menertibkan pemberian gelar/ sebutan profesional yang dikoordinasikan dengan kepolisian dan kejaksaan.
Ke depan, perlu pula dibuat perlindungan penggunaan gelar dan sebutan profesional yang lebih komprehensif sebagai protect law. Protect law itu selain untuk mempertahankan tujuan pendidikan nasional dan untuk melindungi masyarakat, juga untuk melindungi penyandang gelar akademik dan sebutan profesional sejenis. Penyandang gelar akademik dan sebutan profesional dari PT yang sah mempunyai hak eksklusif, dan oleh karenanya berhak sepenuhnya menggunakannya sebagai alat komunikasi konstan.
Pemegang gelar akademik dan sebutan profesional –dari lembaga yang sah— harus dilindungi dari gangguan pihak lain yang dapat membingungkan masyarakat. Apabila perlindungan itu terlalu lamban diberikan akan merusakkan citra gelar akademik atau sebutan profesional tersebut. Protect law, karena itu, harus mengatur tentang praktik mengelabui dan prosedur pembatalan gelar pula. (Prof Dr Tb Ronny R Nitibaskara, Ketua Tim Yuridis Penertiban Gelar Depdiknas, disarikan dari kertas kerja)
Sumber: Kompas, 13 Maret 2000 halaman 9