Presiden Joko Widodo ditantang turun ke lapangan untuk menyaksikan langsung dan menyelesaikan kebakaran hutan dan asap yang rutin menyelimuti Riau dua dasawarsa terakhir. Penyelesaian kebakaran di Riau diharapkan akan menjadi model atau direplikasikan di daerah lain yang kerap dilanda kebakaran hutan dan asap, seperti Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan.
Tantangan itu disuarakan organisasi masyarakat sipil dalam acara Kongkow Ijo yang digelar Yayasan Perspektif Baru (YPB), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Greenpeace Indonesia, Jumat (14/11) malam, di Jakarta. Kongkow yang diawali menonton bareng film Years of Living Dangerously itu menghadirkan pembicara Abetnego Tarigan (Walhi), Longgena Ginting (Greenpeace Indonesia), Wilmar Witoelar (YPB), dan Suzy Hutomo (Body Shop Indonesia), serta dimoderatori Melissa Karim.
Mereka mendengungkan lagi ajakan kepada masyarakat untuk mendukung petisi ”Blusukan Asap” dalam situs www.change.org yang diluncurkan 28 Oktober 2014. Hingga kemarin, penanda tangan 27.000 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kami mengajak Pak Jokowi tidak sekadar blusukan, tetapi juga menyelesaikannya, seperti penegakan hukum dan meninjau ulang izin-izin kehutanan dan perkebunan bermasalah,” kata Abetnego, Direktur Eksekutif Walhi.
Ia mengatakan, pemerintah seharusnya telah melakukan itu bertahun-tahun lalu. Namun, tak dijalankan. Alasan kesulitan pembuktian di lapangan seharusnya tak menjadi kendala. Berdasar citra satelit, lokasi kebakaran berada di konsesi yang dimiliki atau terkait korporasi yang sama, itu-itu saja.
Penegakan hukum seharusnya ditekankan lebih kuat karena hingga kini baru diterapkan kepada PT Adei Plantation dan menyusul ke persidangan PT National Sago Prima yang ditangani polisi. Sementara 10 kasus kebakaran tahun 2013 dan 2014 yang ditangani penyidik Kementerian Lingkungan Hidup (kini digabung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) masih terkendala di kejaksaan.
”Hambatan ini harus diterobos Presiden. Kebakaran di Riau yang bisa berlangsung berbulan-bulan itu bukan bencana, melainkan kejahatan kemanusiaan. Masyarakat tersiksa dengan asap kebakaran yang menimbulkan penyakit membahayakan. Aktivitas sekolah dan bisnis pun berhenti karena asap tebal,” ungkap Riko Kurniawan, aktivis Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau.
Ia mendorong agar pelaku kejahatan kemanusiaan itu dihukum berat karena mengeksploitasi sumber daya alam dengan cara mengorbankan masyarakat. Luas Riau 8 juta hektar, separuhnya berupa tanah bergambut. Areal itu dijejali 3 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan 2 juta hektar hutan tanaman industri (HTI).
Longgena mengatakan, pembakaran lahan gambut menimbulkan 4 persen emisi dunia. Kebakaran lahan gambut di Indonesia berkontribusi pada 25-30 persen karbon dioksida dunia.
”Kalau kita gagal menyelamatkan hutan dan gambut Indonesia, maka kita pun akan kalah melawan perubahan iklim,” katanya. (ICH)
Sumber: Kompas, 17 November 2014