Populasi babi rusa, satwa endemik Sulawesi di Suaka Margasatwa Nantu di Provinsi Gorontalo, kian tertekan. Jumlah satwa langka itu menurun dari sekitar 500 ekor pada tahun 1980-an menjadi 200-an ekor pada 2010. Perdagangan daging babi rusa dan perambahan hutan menjadi penyebab utama.
Menurut peneliti bidang konservasi pada Yayasan Adudu Nantu Internasional (Yani), Dr Lynn Clayton, walaupun kawasan hutan Nantu ditetapkan sebagai suaka margasatwa, bukan berarti satwa aman di dalamnya.
”Tahun 1980-an ada sekitar 15 babi rusa diperjualbelikan setiap minggu di pasar hewan Minahasa, Sulawesi Utara. Saat ini dua atau tiga babi rusa per minggunya,” kata Lynn di Gorontalo, Selasa (29/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lynn mengatakan, penegakan hukum terhadap perburuan satwa atau perambahan Suaka Margasatwa Nantu amat lemah. Jumlah polisi tak memadai untuk menjaga kawasan Suaka Margasatwa Nantu seluas 31.000 hektar. Ada enam polisi setiap harinya di tempat itu.
James Kumolontang, staf lapangan Yani, mengatakan, harga jual daging babi rusa di pasar tradisional Minahasa Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram. Tahun 1980-an, harga babi rusa hidup Rp 15.000 per ekor.
”Selain di pasar hewan, ada yang dijual langsung ke rumah makan di Minahasa,” kata James, yang juga mantan pemburu satwa liar itu.
Kepala Bidang Lingkungan Hidup pada Balai Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo Rugaya Biki menyatakan, kawasan hutan lindung di Gorontalo mengalami tekanan, di antaranya karena perambahan hutan dan penebangan liar, perladangan berpindah, serta penambangan emas tanpa izin.
Harimau sumatera
Di Sumatera, populasi harimau sumatera terus terancam perambahan hutan. Konflik antara manusia dan harimau kerap terjadi.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Amon Zamora mengatakan, setiap individu harimau punya wilayah jelajah masing-masing. Perambahan hutan sering memasuki wilayah harimau. ”Kalau tidak manusianya diserang, harimaunya dibunuh,” ujarnya.
Selama tahun 2011, di Bengkulu terdapat tiga kasus konflik manusia dengan harimau, yaitu di Kabupaten Seluma, Mukomuko, dan Bengkulu Utara. Dari ketiga kasus tersebut, hanya harimau di Seluma yang ditangkap memakai perangkap. Harimau di Mukomuko dan Ketahun, Bengkulu Utara, diusir ke hutan.
Di tempat terpisah, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Iding Ahmad Haidir, mengatakan, berdasarkan survei 2006-2008 yang diulang tahun 2009-2010, di TNKS terdapat 140 harimau sumatera dewasa.
TNKS memiliki luas 1,4 juta hektar, yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Sejauh ini, pakan untuk harimau masih tersedia, terutama babi hutan.
Kecukupan suplai pakan, seperti babi hutan, rusa, dan kijang, memungkinkan harimau beregenerasi dengan baik. Buktinya, kata Iding, ditemukan individu baru di daerah perbatasan Merangin-Kerinci, Jambi dan Ipuh, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. (APO/ADH)
Sumber: Kompas, 30 Maret 2011