Plagiat dalam Dunia Akademik

- Editor

Senin, 19 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Akhir-akhir ini kita dikejutkan lagi oleh berita tentang seorang rektor sebuah perguruan tinggi negeri yang melakukan tindakan plagiasi. Yang membuat kita bertambah sedih, perguruan tinggi negeri ini core business-nya bergerak dalam bidang pendidikan: bidang yang melekat erat dengan etika, budaya, dan moral akademik yang kental.

Namun, penanganan kasus haram ini berlangsung sangat lamban. Sebelumnya Menristek dan Dikti menunjukkan rekam jejak yang jelas ketika menangani kasus pelanggaran integritas akademik di Universitas Negeri Manado (2016) dan Universitas Negeri Jakarta (2017). Namun, pada kasus plagiat terbaru, ia menampakkan gelagat tidak sebagaimana biasanya.

Dugaan plagiat yang sedang kita bicarakan ini terjadi pada rentang 2002-2004 dan baru terungkap ke publik pada pertengahan 2017. Pada awal kemunculan kasus di media, beberapa pernyataan Menristek dan Dikti membuat terkejut Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan Tinggi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE)–Aktivis dari Komite Anti Plagiasi berunjuk rasa di depan Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (27/5/15). Mereka meminta pemerintah menangani masalah plagiasi yang terjadi di sejumlah perguruan tinggi dan dilakukan oleh mahasiswa, dosen, dan guru besar.

Terlalu dini dan terburu-buru beliau menyatakan bahwa pada kasus dugaan tersebut tidak terjadi pelanggaran, sementara data yang dihimpun oleh Tim EKA menunjukkan sebaliknya.

Sebagian karya yang jadi obyek sengketa itu adalah artikel yang diterbitkan sebuah jurnal ilmiah unggulan di Yogyakarta, yang sedang diproyeksikan untuk menjadi jurnal yang terindeks Scopus.

Keputusan redaksi tanggal 12 Juli sebangun dengan hasil kajian Tim EKA: artikel yang disengketakan dinyatakan tidak asli! Dengan tegas redaksi juga memutuskan penulis artikel itu telah melanggar ketentuan (kode etik) jurnal yang telah tersosialisasikan di setiap penerbitan.

Untuk kasus yang sama, pada pertengahan Juli 2018, Kemenristek dan Dikti membentuk tim independen yang anggotanya berasal dari berbagai perguruan tinggi dan Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Karena tim independen ini menggunakan data yang sama dengan yang dimiliki tim EKA dan redaksi jurnal, dapat diduga, kesimpulan yang ditelurkan tim independen juga sama sebangun dengan kesimpulan Tim EKA dan redaksi jurnal.

Regulasi yang digunakan terkait masalah ini adalah Permendiknas Nomor 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, yang ditetapkan 16 Agustus 2010.

Karena kasus plagiat yang sedang dibahas ini terjadi sebelum 16 Agustus 2010, diwacanakan dan disimpulkan bahwa peraturan tentang plagiat tak bisa berlaku surut, seperti halnya regulasi-regulasi yang lain.

Ini tentu saja pendapat yang sangat aneh, muskil, absurd. Masalah plagiat itu usianya sudah sangat tua. Ia berada di dalam ranah etika moral sebagai extra ordinary violation di dalam konteks pembangunan budaya akademik.

Pelakunya jelas tak memiliki legitimasi dan hak moral memimpin institusi dan menyelenggarakan pendidikan tinggi. Kehadiran Permendiknas No 17/2010 itu pada hakikatnya untuk memperkuat agenda pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi, bukan untuk meniadakan atau memutihkan kasus plagiat yang pernah terjadi sebelumnya.

Hampir seabad lalu, Bung Karno mengatakan, orang tidak bisa mengajari apa yang dia tahu atau apa yang dia mau, tetapi orang bisa mengajari sebagaimana dia adanya.

Bagaimana mungkin dosen atau pemimpin PT yang terbukti melakukan plagiasi parah bisa mengajarkan kejujuran kepada mahasiswa calon pendidik anak-anak generasi penerus bangsa?

Yurisprudensi
Masyarakat ilmiah Indonesia sudah waras sejak merdeka dan memilih tidak plagiat sejak dahulu kala. Banyak kasus plagiat yang terjadi sebelum Permendiknas No 17/2010 diterbitkan, dan telah dieksekusi sesuai etika, budaya, dan moral akademik.

Pertama, kasus plagiat yang menimpa doktor lulusan ITB atas nama MZ. Tindak plagiat terjadi pada 2008. Namun, 23 April 2010, ITB menyatakan disertasi dan ijazah doktor MZ dinyatakan tidak berlaku.

Kedua, kasus plagiat yang menimpa guru besar Universitas Parahyangan (Unpar) atas nama ABP. Tindak plagiat terjadi pada artikelnya yang dimuat di The Jakarta Post pada 12 November 2009. Meski hanya melibatkan artikel populer di koran, akhirnya Senat Unpar memberhentikan ABP sebagai dosen dan mengusulkan pencabutan guru besarnya.

Ketiga, kasus plagiat yang menimpa SSA, mahasiswa program doktor FISIP UGM. Tindak plagiat terjadi tahun 1998 dan ramai di khalayak pada 2000. Kasus ini melibatkan disertasi SSA yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah (1999).

Isi buku ini ternyata jiplakan dari skripsi mahasiswa MN berjudul ”Konflik Tanah di Jenggawah: Studi Kasus tentang Proses dan Hambatan Penyelesaian Konflik Tanah di Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur”, skripsi sarjana FISIP Unair tahun 1996. Pada 25 Maret 2000, Forum Rapat Senat UGM membatalkan gelar doktor SSA.

Keempat, kasus plagiat yang menjerat MN, dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unand. Tindak plagiat terjadi tahun 2000 dan beritanya muncul ke publik pada 2004.

Hasil investigasi Jurusan Sejarah Unand menyatakan bahwa laporan penelitian MN dkk berjudul ”Sejarah Lokal Sumatera Barat: Perjuangan Rakyat dan TNI di Cupak Kabupaten Solok 1945-1950” merupakan jiplakan dari skripsi mahasiswa bernama BH tahun 1994 berjudul ”Nagari Cupak Masa Revolusi (1945-1950)”.

Tim investigasi memberikan rekomendasi sanksi untuk MN berupa penundaan kenaikan pangkat dan kenaikan gaji berkala untuk dua jenjang kepangkatan, tidak mengizinkan MN dipromosikan menjadi guru besar, mencabut keanggotaannya sebagai Senat Fakultas Sastra, dan tak mengizinkan yang bersangkutan menduduki jabatan struktural.

Tahun lalu Menristek memecat rektor yang terbukti melindungi plagiator. Mestinya ia akan bersikap lebih tegas lagi kepada rektor yang terbukti jadi pelaku utama plagiasi dan para pelindungnya.

Jika menteri memilih melindungi rektor yang plagiator, tentu saja etika, budaya, dan moral akademik di Indonesia akan tumbang, dan sudah sepantasnya kita, seluruh warga Indonesia, menangis untuk itu.

Supriadi Rustad Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Kemenristek dan Dikti

Sumber: Kompas, 19 November 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Menyusuri Jejak Kampus UGM Tjabang Magelang
67 Gelar Sarjana Berbagai Jurusan Kuliah di Indonesia, Titel Punya Kamu Ada?
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB