Total masa ikan dan biota laut lainnya tinggal seperenam pada akhir abad ini apabila perubahan iklim berlanjut seperti sekarang. Setiap 1 derajat kenaikan suhu air laut, total masa hewan laut diproyeksikan turun hingga 5 persen. Ini hasil analisis komprehensif berbasis komputer oleh tim internasional beranggotakan pakar biologi laut. Penurunan jumlah ikan tersebut tak memperhitungkan efek perikanan tangkap.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO–Sejumlah nelayan seusai memindahkan ikan tangkapan dari perahu ke dermaga pelelangan ikan di Muncar, Banyuwangi, Rabu (8/5/2019). Penurunan drastis produksi lemuru dalam 10 tahun terakhir berdampak pada banyak pihak yang bergerak di sektor perikanan di Muncar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam proyeksinya, apabila rata-rata emisi gas rumah kaca tetap berlanjut seperti sekarang ini, laut kehilangan sejumlah 17 persen biomassa dari total kehidupan fauna pada 2100. Analisis ini dilaporkan pada Proceedings of the National Academy of Sciences of The United States of America.
”Kita akan melihat penurunan biomassa yang sangat besar di laut apabila dunia tidak memperlambat laju perubahan iklim,” ucap William Cheung, anggota tim peneliti yang juga ilmuwan pada ekologi kelautan University of British Columbia, dalam Al Jazeera, 12 Juni 2019.
Lebih lanjut, ia pun mengatakan, dari pengamatan saat ini telah ada perubahan yang menunjukkan hal itu. Meski dampak utama perubahan iklim pada laut adalah menghangatkan kolom air, efek lainnya yang tak kalah parah ialah efek pengasaman laut dan kekurangan oksigen. Pengasaman laut membuat pembentukan cangkang pada kerang, karang, ataupun hewan berkerangka lain menjadi terhambat juga rapuh.
Dampak penurunan biomassa pada laut ini akan berdampak pada keamanan pasokan pangan dari laut. Tak dapat dimungkiri, laut merupakan sumber protein penting bagi banyak penduduk di dunia. Menggantungkan hidup dari sumber daya hayati laut juga menjadi sumber kehidupan sejumlah besar masyarakat yang tinggal di pesisir.
”Dampak potensial dari kehilangan (keanekaragaman hayati) ini sangat besar, tidak hanya pada keanekaragaman hayati laut, tapi juga pada banyak orang di dunia yang bergantung pada laut,” kata Julia Baum, Guru Besar Biologi University of Victoria, yang bukan bagian dari tim peneliti, tetapi mendukung hasil riset ini.
Lebih lanjut, ia mengatakan, perubahan iklim memiliki potensi menimbulkan konflik serius baru akan sumber daya laut dan keamanan pangan global. Terlebih, populasi manusia kini terus bertumbuh.
”Fauna terbesar di laut akan mengalami pukulan yang terkeras,” ujar Derek Tittensor, pakar ekologi laut pada United Nations World Conservation Monitoring Centre di Inggris, bagian dari tim peneliti.
”Kabar baiknya, pembangun utama kehidupan laut, plankton, dan bakteri, jumlahnya turun drastis. Kabar buruknya adalah hewan laut yang kita manfaatkan langsung diperkirakan akan paling merana karena perubahan iklim berpengaruh pada rantai makanan,” tutur Boris Worm, pakar biologi laut di Dalhousie University di Kanada, anggota tim peneliti.
Bagaimana dengan laut tropis seperti Indonesia yang telah hangat? Cheung mengatakan akan mengalami kehilangan yang sangat parah.
ARSIP BANGSRING UNDERWATER/SANDI SUMARSONO–Kondisi terumbu karang yang rusak di salah satu spot penyelaman di Pusat Konservasi Terumbu Karang Bangsring, Banyuwangi, saat diabadikan beberapa waktu lalu. Kerusakan terumbu karang disebabkan peningkatan suhu air laut karena dampak El Nino pada 2015 hingga 2016.
Prediksi dampak perubahan iklim pada kehidupan laut seperti ini bukanlah yang pertama. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada Oktober 2018 pun memberikan peringatan serupa agar dunia segera bertindak untuk mencegah penghangatan suhu tak melebihi 1,5 derajat celsius.
Namun, hasil riset Cheung dan kawan-kawan ini diapresiasi karena detail dan teliti dengan menggunakan enam permodelan berbeda sehingga memberikan gambaran yang sangat lengkap. Riset ini agar menyadarkan bahwa dampak perubahan iklim sangat serius bagi planet dan keberlangsungan manusia itu sendiri.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 Juni 2019