Perilaku Sosial, Berbohong Itu Berat

- Editor

Senin, 8 Oktober 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi cantik, apa pun alasan dan caranya. Demi cantik, orang rela melakukan apa pun, termasuk dengan cara berbahaya atau bertentangan dengan nilai masyarakat. Namun, banyak orang tidak sadar risiko kesehatan fisik dan mental yang menyertai munculnya obsesi akan kecantikan.

Agar dianggap cantik, banyak orang berbohong menutupi usahanya menjadi cantik. Kebohongan itu dilakukan karena sebagian masyarakat menolak penggunaan cara-cara tertentu untuk menjadi cantik, termasuk operasi plastik.

Namun, kebohongan yang dilakukan salah satu pegiat politik dengan mengarang cerita dipukuli sejumlah orang untuk menutupi luka bekas operasi plastiknya jadi tidak terkendali. Kebohongan yang semula ditujukan untuk lingkup privat berkembang menjadi isu publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

ANTARA/INDRIANTO EKO SUWARSO–Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Kelompok Kerja Wartawan Depok melakukan aksi kampanye anti-berita bohong atau hoaks, di Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, Kamis (9/2/2017). Mereka mengimbau masyarakat bijak dalam menerima informasi yang beredar di media sosial.

Bahkan, kebohongan itu akhirnya menjadi isu politik dan dipolitisasi hingga memicu ketegangan di masyarakat dan bisa menimbulkan konflik horizontal.

Bertahan hidup
Kebohongan terjadi saat ada perbedaan antara kenyataan dan yang diekspresikan. Dari teori evolusi Darwin, perilaku berbohong manusia itu sudah muncul sejak mereka masih anak-anak, saat fungsi eksekutif otaknya mulai berkembang.

”Itu adalah cara bertahan hidup,” kata psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Ananta Yudiarso, Jumat (5/10/2018).

Meski dalam mendidik anak semua orangtua menuntut anaknya jujur, disadari atau tidak, orangtua juga sering mengajarkan berbohong kepada anaknya. Hanya demi mendorong anak melakukan sesuatu, terutama saat anak masih kecil, orangtua sering menakuti-nakuti anak mereka dengan hal yang jelas-jelas tidak nyata atau berbohong.

Makin dewasa, kemampuan berbohong manusia makin berkembang. Tujuannya pun lebih beragam, tidak sekadar untuk pertahanan diri atau menjaga harga diri. Manusia berbohong untuk menutupi kesalahan diri karena tidak siap menanggung konsekuensinya.

Ada pula orang berbohong demi mencapai tujuan tertentu, di luar tujuan dasar atau alamiah manusia berbohong, yaitu untuk bertahan hidup, baik untuk kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial.

Situasi itu membuat semua manusia pernah berbohong. Meski demikian, sulit menentukan seberapa sering manusia berbohong. Namun, kecenderungannya, orang muda lebih cenderung banyak berbohong dibanding orang tua.

Studi Kim B Serota dkk di jurnal Human Communication Research, 2010, menunjukkan manusia berbohong 1-2 kali sehari. Namun, tim peneliti menilai itu terlalu rendah alias responden berbohong saat diukur seberapa sering mereka berbohong.

Sementara itu, jajak pendapat salah satu acara televisi di Amerika Serikat untuk mengukur seberapa sering orang berbohong menunjukkan orang berbohong 42 kali seminggu atau enam kali sehari. Jumlah ini juga masih dinilai rendah.

Mungkin, kita berbohong jauh lebih banyak dari itu, entah untuk bertahan hidup atau demi kemaslahatan bersama. Bagaimanapun, bohong putih tetap dianggap berbohong. Hal yang pasti, tidak ada manusia biasa yang tak pernah bohong.

”Manusia adalah makhluk manipulatif,” tambah Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Kaus sebagai sarana kampanye antihoaks atau berita bohong dikenakan jajaran pejabat Polda Metro Jaya saat mendeklarasikan gerakan antihoaks di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (12/3/2018). Deklarasi ini sebagai upaya dan komitmen kepolisian agar masyarakat terbebas dari berita bohong yang dinilai bisa memecah persatuan bangsa.

Cepat lelah
Berbohong itu tidak mudah, jauh lebih sulit dibanding berbuat jujur. Berbohong membutuhkan banyak energi sehingga membuat otak cepat lelah.

Saat berbohong, sistem limbik otak yang mengatur emosi menjadi lebih aktif. Perubahan itu membuat orang yang tidak terbiasa berbohong akan cemas, denyut nadi meningkat, gugup, suka menggaruk hidung walau tidak gatal, kulit tegang, hingga tidak berani menatap mata lawan bicara.

”Saat sistem limbik lebih aktif, korteks prefrontal yang ada di otak bagian depan dan berfungsi untuk berpikir rasional jadi kurang aktif,” ujar Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta Rizki Edmi Edison.

Di sisi lain, ketika berbohong, korteks prefrontal yang kurang aktif dipaksa berpikir lebih keras. Hal itu terjadi karena saat membuat satu kebohongan, orang dituntut membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

Situasi itu membuat kebohongan tidak akan pernah sempurna. Akan selalu ada celah yang membuat kebohongan terkuak.

Meski berbohong berat, otak punya sifat neuroplastis yang membuatnya cepat beradaptasi. Akibatnya, saat orang terbiasa berbohong, semua tanda fisik yang bisa dijadikan tanda orang berbohong itu tidak akan muncul. Tanda itu juga tidak akan terdeteksi meskipun menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau poligraf.

Di sisi lain, lanjut Ananta, pendeteksian kebohongan sulit dilakukan pada orang dengan gangguan kecemasan hingga mereka mudah atau tidak mudah cemas. Demikian pula orang dengan gangguan buatan (factitious disorder) yang membuat mereka secara sadar melakukan pemalsuan gejala fisik atau psikis dari berbohong.

Karena itu, bohong atau tidak hanya bisa diketahui oleh mereka yang memproduksi kebohongan itu sendiri. Meski demikian, hal itu bukan berarti kebohongan tidak bisa dideteksi. Berkembangnya teknologi informasi membuat kebohongan menjadi lebih mudah ditelusuri.

Publik
Sebagian besar orang berbohong untuk keperluan privat sebagai mekanisme pertahanan diri. Namun, saat orang menggunakan kebohongan itu untuk memanipulasi dan menyesatkan publik demi mendapatkan manfaat yang luas bagi kepentingan diri atau kelompoknya, kebohongan itu perlu diwaspadai.

Model kebohongan publik atau kebohongan instrumental itu mudah ditemukan dalam politik. Kebohongan ini umumnya dilakukan untuk membentuk keyakinan yang salah hingga membangun kesadaran mendalam yang keliru.

”Cara yang umum dipakai adalah dengan membentuk disinformasi atau informasi yang keliru melalui hoaks atau data tandingan,” ujar Ananta. Hal yang keliru disamarkan sehingga seolah-olah benar.

Penyebaran disinformasi itu bisa dilakukan dengan memoles sebuah informasi sehingga tidak menampilkan kondisi sebenarnya dari suatu hal. Bisa pula dengan menampilkan fakta lain secara tidak utuh sehingga cenderung menyesatkan.

Disinformasi yang merebak luas seiring dengan berkembangnya media massa dan media sosial membuat kebohongan dan kebenaran saat ini menjadi sulit dibedakan. Batas antara yang hak dan batil menjadi makin samar. Hal yang benar bisa dianggap salah, demikian pula yang salah bisa menjadi benar.

”Terlebih, kebohongan yang disampaikan berulang-ulang, lama-lama akan dianggap sebagai kebenaran,” kata Edmi.

Lemahnya kemampuan berpikir rasional, kurangnya literasi digital, hingga sikap yang emosional dalam menerima setiap informasi membuat sebagian besar masyarakat mudah tertipu dengan berita bohong.

Bias kognitif yang membuat kita hanya memercayai informasi dari kelompok kita atau informasi yang sesuai keinginan kita membuat kita malas melakukan konfirmasi. Akibatnya, kita sering terjebak dalam kesalahan elementer yang sebenarnya bisa diantisipasi.

”Sikap skeptis dan mengonfirmasi secara mandiri setiap informasi yang diperoleh jadi kunci agar tidak terjebak pada berita hoaks,” ucap Edmi. Sikap itu hanya bisa dilakukan jika kita tidak mengidentikkan diri pada satu kelompok tertentu.

Skeptisisme atau meragukan segala sesuatu juga berguna untuk menjaga rasionalitas kita hingga emosi mampu ditahan. Selama emosi mengemuka, terlalu suka atau terlalu benci pada kelompok tertentu, rasionalitas akan sulit dijaga sehingga makin mudah terjebak kebohongan.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2018

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB