Perdebatan mengenai perlu tidaknya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dalam jangka pendek diminta diakhiri. Namun, penguasaan teknologi nuklir diharap terus didukung untuk tujuan kemanusiaan, seperti di bidang kesehatan dan pangan. PLTN sebagai pembangkit energi untuk seratus tahun lagi.
”Pada tahun 2100 diharapkan telah ada teknologi PLTN yang jauh lebih maju, kesiapan pemerintah yang lebih bersih dan transparan, serta penggunaan energi terbarukan sudah optimal,” kata mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf saat berbicara pada diskusi bertema ”Perlukah PLTN Dibangun di Indonesia untuk Memenuhi Kebutuhan Energi Nasional?” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (19/4).
Diskusi diadakan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) dengan moderator Rinaldy Dalimi, pengajar UI sekaligus anggota Dewan Energi Nasional. Para pembicara adalah Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo, Staf Ahli Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Umiyatun Hayati Triastuti, Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT PLN Muhammad Sofyan, anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim, Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi Bidang Energi dan Material Maju Agus R Hoetman, serta anggota Komisi VII DPR, Zulkieflimansyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sonny mempertanyakan mengapa pemerintah justru paling depan mengampanyekan pembangunan PLTN dalam jangka pendek (antara tahun 2015-2019). Padahal, PLTN dihadapkan pada rendahnya kepercayaan publik.
PLTN memiliki kerawanan sosial-politik yang tinggi, termasuk rentan ancaman terorisme. Secara teknis pengangkutan dan penyimpanan limbah radioaktif juga akan jadi masalah besar.
”PLTN dapat dibangun, tetapi tidak berarti boleh dibangun,” kata Sonny.
Kemampuan nasional
Herman Darnel mengemukakan, masalah kebutuhan energi nasional diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pasal 2 UU berbunyi: ”Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional”.
”PLTN jelas tidak sesuai karena tidak mengutamakan kemampuan nasional,” kata Herman. PLTN bisa dihindari dengan menghentikan atau mengurangi arus ekspor gas bumi dan batu bara saat Indonesia membutuhkannya.
Sementara itu, Hudi Hastowo mengatakan, opsi selain PLTN bukan berarti tidak ada bahayanya. Pembangkit listrik bersumber batu bara berisiko menimbulkan hujan asam.
”Kita juga harus melihat kebutuhan energi 30 tahun ke depan. Itu butuh PLTN,” kata Hudi. Penggunaan biofuel dan biomassa tidak akan mencukupi kebutuhan energi nasional.
Brasil sebagai negara penghasil bioetanol terbesar setelah Amerika Serikat pun, lanjut Hudi, saat ini merencanakan pembangunan PLTN untuk mencukupi kebutuhan energi nasionalnya. (NAW)