Percepatan Belajar; Anak Belia di Bangku Kuliah

- Editor

Senin, 28 September 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat anak-anak usia 15 tahun lainnya masih mengenakan seragam putih biru atau abu-abu, mereka sudah duduk di bangku kuliah, menghadapi buku-buku teks tebal. Kemampuan belajar yang tinggi membuat mereka lebih cepat mencicipi pendidikan tinggi. Inilah para pelompat kelas.

Seragam putih berbalut jaket kuning cocok melekat di badan Muhammad Faiz yang tingginya sekitar 170 sentimeter itu. Jaket itu baru saja diterimanya di Balairung Universitas Indonesia (UI). Bersama teman seangkatannya, Faiz riang memakai jaket kampus barunya, akhir Agustus lalu.

Faiz merasa makin sah sebagai mahasiswa program sarjana kelas paralel Ilmu Komputer Fakultas Ilmu Komputer UI. Jangan ”tertipu” tinggi tubuhnya. Usia Faiz terbilang belia, 15 tahun. Para mahasiswa seangkatannya rata-rata berusia 18 tahun. ”Tentu saja senang dengan umur muda saya mencapai pendidikan tinggi,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Faiz adalah salah satu dari empat mahasiswa baru di UI yang berusia 15 tahun. Ada pula Peni Rizki Yani (15), mahasiswa Program Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB). Seusai kuliah pada Senin sore (21/9), Peni asyik berbincang dengan teman sekelasnya. Pernak-pernik perploncoan, seperti fantasi gitar Arab, masih menggantung di leher mereka. Peni aktif memulai dan menanggapi setiap pembicaraan mereka.

Awalnya, Peni gugup menghadapi hari-hari pertama kuliah. ”Saya ragu apakah bisa beradaptasi dengan teman kampus dan sistem belajarnya,” katanya.

Kini, dia tak sabar ingin mengikuti berbagai perkuliahan dan kegiatan, misalnya hoki, basket, atau kegiatan seni, seperti ikut kelompok puisi atau bedah buku novel. Sore itu, dia menyempatkan diri menyaksikan pertunjukan puisi pada Olimpiade Budaya FIB UI 2015.

4ac7ec0438694809a0d80e15d9d57e05KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Aldo Meyolla Geraldino (berkacamata) mengikuti kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, akhir Agustus lalu. Aldo tercatat sebagai mahasiswa baru angkatan 2015 termuda dengan usia 14 tahun 8 bulan saat memulai studi di perguruan tinggi itu.

Di kampus lain, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, murid termuda bahkan berusia 14 tahun. Aldo Meyolla Geraldino diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri tahun ini. ”Selama beberapa hari ini di kampus, semua lancar. Saya bergaul biasa saja dengan teman-teman,” kata Aldo saat ditemui di sela-sela kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru di Kampus UGM, akhir Agustus.

Pelompat kelas
efac460b834f496f9d25b72b642e1747Aldo Meyolla Geraldino (kanan) berjalan didampingi kakak tingkatnya saat mengikuti kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (20/8). Aldo tercatat sebagai mahasiswa baru angkatan tahun 2015 termuda dengan usia 14 tahun delapan bulan saat memulai studi di universitas itu.–KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Para mahasiswa belia itu tiba di perguruan tinggi utama mereka berkat program akselerasi atau percepatan belajar. Di sejumlah sekolah, anak dengan kecerdasan di atas rata-rata (biasanya IQ di atas 130) diwadahi kebutuhannya lewat akselerasi. Mereka dites dan dikumpulkan dalam kelas khusus yang memungkinkan masa studi lebih singkat. Tahun lalu, pemerintah memutuskan menghapus program akselerasi di pendidikan menengah dan menggantinya dengan kelas pendalaman minat dengan masa studi tetap tiga tahun (Kompas, 14 Oktober 2014).

Aldo, misalnya, mulai belajar di TK pada usia 3 tahun, masuk SD pada usia 5,5 tahun, dan berumur 10 tahun saat lulus SD. ”Saat mau naik ke kelas IV SD, saya ikut tes akselerasi dan lolos. Saat SMP dan SMA, saya juga ikut akselerasi sehingga masa SMP dan SMA saya masing-masing hanya dua tahun,” ujar Aldo yang masih berupaya meluangkan waktu menjalani hobinya bermain sepeda, skateboard, dance, dan musik dengan teman sebayanya.

3b6f7037838c4bb9b454721a34e78864Mahasiswa baru mengikuti kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (20/8). —KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Faiz pun sempat menjadi siswa akselerasi SMAN 70 Jakarta dan SMPN 11 Jakarta. Lain lagi dengan Peni yang mempercepat masa belajarnya dengan sekolah rumah (homeschooling). Peni pun berencana tak lama-lama berkuliah. ”Banyak cita-cita ingin saya gapai. Saya menargetkan kuliah selesai paling lama 3,5 tahun,” kata Peni yang ingin bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi atau di perusahaan perminyakan.

Kecerdasan
Keberadaan anak cerdas istimewa bukan hal baru di masyarakat, termasuk remaja-remaja yang duduk di bangku kuliah. Menurut sosiolog pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Muchlis Rantoni Luddin, pesatnya kemajuan teknologi membuat anak cepat terekspos informasi dan mempelajari berbagai hal di luar fase umum. ”Kemampuan anak menangkap informasi di satu sisi memang kondusif untuk belajar cepat,” ujarnya.

Menurut Muchlis, yang perlu diperhatikan ialah manusia cerdas yang utuh tidak hanya unggul secara kognitif. Bagi dia, definisi manusia cerdas sebenarnya ialah seseorang yang pandai secara kognitif sekaligus memiliki kedewasaan emosional, spiritual, falsafah berpikir, dan sudut pandang kritis.

Bagi psikolog perkembangan anak dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Anna Surti Ariani, usia tak bisa sepenuhnya diabaikan. ”Usia 14-15 tahun adalah fase remaja tengah. Pada fase ini tidak hanya terjadi masa transisi secara emosional, tetapi juga fisik,” ucapnya.

Orangtua mesti saksama sebelum memutuskan melompatkan anak dari sekolah menengah ke perguruan tinggi karena lingkungan baru bisa menambah stres anak. ”Alasannya harus tepat. Pikirkan, setelah mereka lulus kuliah pada usia muda mau melakukan apa? Masuk dunia kerja atau lanjut kuliah lagi? Bagaimanapun, mereka tetap lebih muda dibandingkan orang-orang di sekitar,” ujar Anna. (B01/B03/DNE/HRS/DRA/ELN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2015, di halaman 1 dengan judul “Anak Belia di Bangku Kuliah”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB