Banjir, banjir bandang, dan tanah longsor akibat peningkatan curah hujan di Kalimantan dan Sulawesi terjadi saat sebagian masyarakat merayakan Idul Fitri. Sungguh itu suatu ujian, khususnya di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan Tenggara, yang terganggu oleh turunnya curah hujan tinggi dan berlangsung dalam beberapa hari.
Kondisi alam ini berdampak pada kelebihan volume air yang tercurah di kawasan hulu sungai. Jika hulu itu berada di kawasan berbukit atau dataran tinggi, terjadilah banjir bandang yang kemudian merendam kawasan tanah datar.
Secara klimatologis, kawasan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, serta Sulawesi Selatan dan Tenggara, setiap pertengahan tahun memang masuk dalam pola-pola hujan monsun, ekuatorial dan lokal (sesuai kriteria dan ketentuan pembagian pola hujan oleh BMG tahun 1980). Namun, kriteria pola hujan ini seyogianya diperbarui karena ada perkembangan keragaman, lingkungan, dan perubahan iklim yang kini sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perubahan lingkungan
Perkembangan dan perubahan lingkungan itu adalah naiknya populasi manusia yang berlanjut dengan eksploitasi lingkungan berlebihan. Lahan hijau dengan pepohonan tinggi menciut, padahal berfungsi sebagai buffer atau penyangga lingkungan serta penjaga kemantapan kondisi udara. Maka tanpa upaya pencegahan dan perbaikan lingkungan, bencana hidrometeorologis basah dengan peningkatan curah hujan dalam 10 tahun terakhir, akan terus berlanjut.
Makin berkurangnya tutupan lahan sebenarnya bukan hanya dialami negara kurang berkembang dan negara berkembang, tetapi juga negara maju. Oleh karena itu, kajian bencana hidrometeorologis—yang naik terus setiap tahun—perlu disebarluaskan agar manusia segera mengubah gaya hidup dan menyelamatkan lingkungan.
Untuk Indonesia bencana ini terus terjadi. Awal Mei 2019, misalnya, terjadi bencana banjir dan banjir bandang di Bengkulu atau kawasan Sumatera. Demikian pula di Jawa pada bulan sebelumnya, April 2019. Bencana juga terjadi di Jayapura. Bencana hidrometeorologis basah yang terjadi tiap bulan selama tiga bulan terakhir mengindikasikan perubahan tata guna lahan mulai dari kawasan lokal, nasional, regional, maupun global.
Curah hujan intensitas tinggi dalam durasi singkat ini perlu dibahas lebih lanjut agar menjadi kepedulian kita semua. Kenyataannya, kondisi udara yang cenderung tidak mantap (labil) berkembang menghasilkan awan-awan hujan yang menjulang tinggi. Ini umumnya tipe dan jenis awan kumulus hingga kumulonimbus yang terbesar.
Awan kumulus adalah penghasil hujan lebat atau badai dengan intensitas tinggi, guntur dan petir bersahutan, serta angin kencang yang membentuk puting beliung. Mekanisme kondisi udara yang tak mantap atau labil inilah penghasil situasi dan kondisi awan badai.
Awan badai berawal dari kondisi lingkungan panas terik yang menghangatkan permukaan basah. Maka udara hangat dan basah naik, membentuk awan kumulus. Jika kondisi udara tak mantap, awan kumulus kian meluas dan kuat, apalagi jika didukung dengan kondisi perairan laut yang hangat dan hadirnya udara naik dalam lingkup luas, dari regional hingga global.
Perkembangan selama hampir 10 tahun terakhir—mulai 2010—memicu musim kemarau terpendek dalam catatan pribadi penulis. Menurut para ilmuwan dan ahli dari Badan Aeronautika dan Antariksa Nasional (NASA) Amerika Serikat, tahun 2010-2020 merupakan era dengan kegiatan dan jumlah bintik matahari atau sunspot yang rendah atau minimum (global cooling).
Pendinginan global
Penelusuran dan pengkajian terbatas penulis menunjukkan, pada era global cooling atau pendinginan global ini, turunnya suhu muka laut kawasan ekuator Samudra Pasifik berdampak pada akan hangatnya kondisi suhu muka laut kawasan benua maritim Indonesia.
Kondisi suhu muka laut yang hangat kawasan benua maritim Indonesia ini sangat mendukung perkembangan gelombang udara di kawasan tropis dengan kehadiran Osilasi Madden Julian. Ini adalah gerakan dari gugusan awan konveksi yang menjulang tinggi dari jenis awan kumulus dan kumulonimbus. Osilasi Madden Julian bergerak dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik.
Osilasi Madden Julian mendukung perkembangan awan dari kondisi udara labil kawasan lokal hingga regional dan global. Osilasi ini termasuk osilasi antarmusim yang terjadi dan berkembang dengan ulangan 40-50 hari.
Dalam tiga bulan terakhir sejak April hingga akhir Juni 2019, kawasan dampak osilasi dengan perkembangan awan badai berpindah-pindah, tetapi akan mengikuti gerak semu dari garis edar Matahari.
Namun, Juni 2019, ini gerakan osilasi tidak lazim. Menjelang masuk wilayah Indonesia Tengah, osilasi sepertinya melemah. Kondisi inilah yang mendukung perkembangan awan badai atau awan kumulus dan awan kumulonimbus yang giat. Maka kawasan dengan curah hujan yang tinggi meluas.
Situasi dan kondisi lingkungan sekitar kita sepertinya tidak mungkin untuk mengembalikan kawasan hutan seperti sedia kala. Karena itu, upaya adaptasi dan mitigasi seyogianya terus diupayakan.
Sebagaimana perkembangan awan badai dari catatan pribadi penulis mulai 1990, awan kumulus dan kumulonimbus mulai marak dan meluas tahun 1990 hingga kini. Perkembangannya—seperti keberadaan awan ini—akan mudah kita jumpai bila kondisi udara basah dan matahari bersinar terik.
Dampaknya, pada siang hingga sore hari awan badai akan muncul dan giat di kawasan ini yang selanjutnya pada malam hingga dini hari akan bergerak mendekati perairan atau pantai. Situasi dan kondisi lokal hingga regional memungkinkan terjadinya awan badai, apabila didukung oleh kehadiran gelombang tropis yang bernama Osilasi Madden Julian.
Seiring dengan kehadiran hutan beton yang terus berkembang, perlu pengkajian dan penelusuran kehadiran kondisi udara ekstrem. Semoga semua ini menjadi perhatian dan kepedulian kita untuk menyikapi kondisi lingkungan yang terus berkembang dan berubah.
Selanjutnya kondisi ini juga akan mengembangkan dan mengubah sistem peredaran udara mulai lokal hingga regional. Seperti kondisi cuaca dan iklim yang beragam dan berubah, tidak mulusnya tiupan angin musim di kawasan musim di Indonesia merupakan bentuk kondisi suhu dan tekanan udara yang homogen.
Homogenitas kondisi suhu dan tekanan berdampak pada rendahnya tiupan angin seperti kondisi angin musim timur atau musim barat yang seiring dengan kondisi cuaca dan iklim yang beragam yang kini berkembang. Semoga catatan perubahan lingkungan yang mendukung perkembangan awan badai yang menghasilkan curah hujan tinggi menjadi catatan untuk masa mendatang.
Paulus Agus Winarso Pengajar Luar Biasa pada STMKG Jakarta
Sumber: Kompas, 27 Juni 2019