Pandemi Covid-19 meluas dengan kasus terus bertambah di Indonesia. Hal ini merupakan buah dari ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dan ketidakdisiplinan masyarakat menjalankan protokol kesehatan.
Kebijakan yang tak konsisten dan ketidakdisiplinan warga membuat penyebaran pandemi Covid-19 meluas. Kini, penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu ditemukan di 439 kabupaten/kota di semua provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus dan korban jiwa terus bertambah.
Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan, banyak masyarakat yang belum menerapkan protokol kesehatan menjaga jarak dalam pelaksanaan Car Free Day (CFD) di Jakarta pada Minggu (21/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini juga ditemukan di sejumlah bandar udara, khususnya di Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau.
“Beberapa bandara udara, yang akan melaksanakan penerbangan di hari Minggu ini, terutama yang mengarah ke Pulau Jawa, kami lakukan pemantauan di Batam, dan di beberapa tempat yang lain, juga demikian. Kita masih melihat, banyak masyarakat yang belum tertib untuk menjaga menjaga jarak,” ungkap Yurianto.
Menurut dia, pelaksanaan protokol kesehatan secara menyeluruh, meliputi cuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker menjadi prasarat mutlak untuk kembali produktif dan aman. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan melaksanakan protokol kesehatan sebagai bentuk adaptasi kebiasaan baru.
Namun, dalam diskusi yang diselenggarakan Syndicate Forum pada hari yang sama, para pembicara mengatakan, situasi saat ini, termasuk sikap masyarakat tidak bisa dilepaskan dari ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah. “Kebijakan saat ini tidak jelas dan hanya mengandalkan buzzer (pendengung). Rakyat kita terlalu cuek karena tidak ada sanksi, selain sudah lelah,” kata Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik.
Agus mencontohkan, kebijakan yang tak konsisten itu yakni keterlambatan penutupan penerbangan dari China dan negara lain yang terjangkit wabah Covid-19 demi wisata. Kini, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga telah dilonggarkan di tengah peningkatan kasus. Padahal, situasi yang berlarut-larut akan menimbulkan tekanan baik bagi kesehatan dan ekonomi.
Pengajar Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan mengatakan, pelonggaran pembatasan saat ini tidak didasari bukti ilmiah, terutama dari aspek epidemiologi. “Seharusnya disampaikan transparan saja, bahwa pelonggaran saat ini karena alasan ekonomi, bukan karena wabah terkendali. Jadi, kalau warga mau keluar menjadi hati-hati dan menjaga protokol kesehatan. Ini juga soal komunikasi,” tuturnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah membuat pedoman sebelum suatu negara akan melakukan pelonggaran pembatasan, di antaranya paling tidak selama dua minggu ada indikator bahwa virus terkendali. “Di Jakarta sudah makin terkendali, namun pembatasan belum bisa sepenuhnya dilonggarkan karena virusnya masih ada. Lalu di daerah lain seperti apa?” kata Iwan.
Syarat lain adalah kecukupan tes, yang menurut WHO minimal 1 per 1000 orang per minggu. Epidemiolog Universitas Padjajaran, Panji Fortuna Hadisoemarto mengatakan, jangan sampai ada persepsi keliru bahwa penambahan kasus saat ini hanya karena keberhasilan meningkatkan tes. “Kalau kita sudah mengetes banyak orang dan menemukan banyak kasus, berarti masih berbahaya. Syarat aman itu kalau tes sudah besar dan kita tidak ada kasus,” kata Panji.
Terus meluas
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat jumlah total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 45.891 setelah penambahan 862 orang. Adapun kasus kematian menjadi 2.465 jiwa dengan penambahan 36 orang dan pasien sembuh menjadi 18.404 setelah ada penambahan sebanyak 521 orang.
Daa Gugus Tugas juga menunjukkan, hampir tiap hari juga tercatat ada penambahan jumlah kabupaten/kota yang memiliki kasus positif Covid-19 sehingga kini menjadi 439 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Sebaran kasus ini ditemukan dari uji pemeriksaan spesimen 18.229 pada hari sebelumnya dan total akumulasi 639.385 spesimen. Sedangkan jumlah orang yang diperiksa per hari sebanyak 8.647 orang.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang situasi Indonesia yang dirilis pada 17 Juni 2020 menyebutkan, sampai saat ini baru Jakarta yang sudah memenuhi syarat minimal jumlah tes per populasi. Kesimpulan ini didapatkan dari total jumlah tes yang dilakukan dan tingkat kepositifan rata-rata selama periode dua minggu yaitu dari Juni hingga 14 Juni 2020 untuk provinsi di Jawa.
Disebutkan, jumlah tes di Jakarta dalam dua minggu mencapai 25.771 dengan kepositifan 9,5 persen. Jawa Barat telah melakukan 9.149 tes dengan kepositifan 6,6 persen, Jawa Timur 9.004 tes dengan kepositifan 31,6 persen, Jawa Tengah 3.786 tes dengan kepositifan 12,4 persen, Banten 3.075 tes dengan kepositifan 9,1 persen, dan Yogyakarta 1394 dengan kepositifan 6,7 persen.
Berdasarkan data ini, Jakarta mendominsi jumlah tes di Indonesia, padahal populasinya relatif kecil dibandingkan daerah lain. Jawa Timur yang memiliki penduduk hampir empat kali lipat dari Jakarta dan korban jiwa terbanyak di Indonesia jumlah tesnya sangat masih sangat kurang.
Gunung es
Dengan masih kurangnya jumlah tes, angka kasus di Jawa Timur, khususnya Surabaya, diperkirakan masih akan terus bertambah. Data Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur dalam laman resmi mereka melaporkan, jumlah korban meninggal dunia dengan status positif sebanyak 718 orang dari 9.444 orang. Pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal 828 orang dari 9085 orang dan orang dalam pemantauan (ODP) yang meninggal 123 orang dari 27.141 orang.
Khusus untuk Surabaya, jumlah kasus positif Covid-19 yang meninggal sebanyak 348 orang dan PDP 3 orang. Namun, data ini dari Rumah Sakit Online yang masuk dalam tabulasi Gugus Tugas, jumlah PDP di Kota Surabaya yang meninggal mencapai 676 pada Minggu ini, bertambah signifikan dari sehari sebelumnya 639 orang. Adapun jumlah ODP yang meninggal 43 orang.
Laporan yang lebih rendah juga terjadi di Kabupaten Gresik. Berdasarkan data di Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur, jumlah PDP yang dilaporkan meninggal hanya 28 orang. Namun data di Rumah Sakit Online terdapat 122 PDP di Gersik yang meninggal dunia.
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Windhu Purnomo. mengkhawatirkan, penambahan kasus di Jawa Timur membesar. Puncak kasus yang sebelumnya diprediksi terjadi pada 20 Juni 2020 ini bisa bergeser karena melonggarnya pembatasan dan ramainya aktivitas warga. Padahal, banyaknya korban jiwa menandai penuhnya kapasitas rumah sakit.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 22 Juni 2020