Pemikiran Kritis Tidak Populer

- Editor

Senin, 20 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Setelah rezim Orde Baru tumbang, lembaga pendidikan secara sistematis dimanfaatkan kelompok masyarakat tertentu untuk membangun generasi agamis. Guru dan dosen pun kemudian menjadi agen utama gerakan agamis ini, kemudian terus menguatkan identitas keagamaan, bahkan atas nama negara.

“Akibatnya, lembaga sekolah tak lagi menjadi arena pembebasan, tetapi menjadi instrumen beroperasinya gerakan ideologis. Bersamaan dengan itu, ide pemikiran kritis menjadi tidak populer di kalangan pendidikan sehingga kajian terhadap praksis pendidikan dari sudut pandang pedagogi kritis terasa langka,” kata dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, Jumat (17/6), di Yogyakarta.

Bayu bersama dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir; guru SMA de Britto, St Kartono; dan aktivis pendidikan Ferry Indratno menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Bangsa Piye To Iki (bangsa bagaimana ini), Mencari Jawaban dalam Dunia Pendidikan”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tema pembicaraan unik dan aktual, memancing kehadiran puluhan peserta diskusi yang terdiri dari mahasiswa dan dosen yang bertahan mulai dari siang sampai selesai saat berbuka puasa.

Kajian kritis
Melalui kajian kritis, akan terbongkar praktik dominasi, hegemoni, dan penindasan, baik secara vulgar maupun halus dalam lembaga pendidikan di Indonesia yang melanggengkan kemapanan.

“Kajian kritis memberi bekal dan amunisi untuk menyubversi dan menggoyang cara oposisi biner, asal-usul, asli-tidak asli, bertumpu pada titik tunggal dan universal yang semuanya menjadi sumber penindasan,” kata Bayu yang juga dikenal sebagai sosiolog.

Melalui kajian kritis, gugatan tidak hanya bisa dilakukan terhadap dominasi kapitalis dan agama, tetapi juga nilai kemapanan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Guru dikatakan di depan harus menjadi teladan, di tengah guru harus menjadi pemrakarsa, dan di belakang guru harus memberikan dorongan kepada murid.

“Prinsip pendidikan berpusat pada guru mendukung kemapanan, ajaran Ki Hajar perlu diperdebatkan dengan, misalnya, pembelajaran yang berpusat pada siswa, sebagaimana dianjurkan paradigma kritis,” kata Bayu.

Tak perlu ajaran dari luar
Menurut Zuly Qodir, ajaran-ajaran pendiri Muhammadiyah, Kiai Achmad Dahlan, sekarang ini perlu terus dipelajari dan disosialisasikan lagi. “Banyak teman saya dosen dan mempunyai kartu anggota Muhammadiyah masih belum paham dengan ajaran Kiai Dahlan. Kalau kita semua paham, tak perlu mempelajari dan mengadopsi ajaran dari luar,” katanya.

Dengan gaya bicara meledak-ledak disertai humor yang mengundang tawa, Zuly mengungkapkan yang diinginkan dengan gagasan Islam berkemajuan oleh Kiai Dahlan adalah Islam yang menyampaikan benih-benih kemanusiaan, yang menyampaikan tentang kebenaran, yang menyampaikan kebajikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, dan keutamaan hidup.

“Kalau hal ini dipelajari dan diamalkan, kita tidak usah mengimpor ajaran lain dari luar,” ucapnya. (SIG)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2016, di halaman 12 dengan judul “Pemikiran Kritis Tidak Populer”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB