Pemenang Nobel untuk fisika tahun, 1936, Dr Heinrich Rohrer, mengatakan kebebasan merupakan prasyarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang sempurna.
Hal ini diungkapkannya ketika menjawab pertanyaan Guru Besar bidang fisika ITB, Prof Tjia May On PhD, tentang peran kebebasan dalam penelitian, pada pertemuan Rohrer dengan Himpunan Fisika Indonesia (HFI) dan wartawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, Kamis (10/9).
Rohrer mengungkapkan bahwa kebebasan akan menyelamatkan peneliti dari kemunginan memaksakan hasil yang diperolehnya supaya cocok dengan janji-janji yang tertulis dalam usulan penelitian. Dia mencontohkan penelitian di Amerika Serikat yang banyak bercorak riset untuk perusahaan. Di negeri adikuasa itu, sebelurn melakukan penelitian, kepada peneliti diajukan pertanyaan, ”Apa nanti hasilnya? Riset dasar yang diadakan kira-kira bisa jadi apa?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Rohrer, janji yang diusulkan sebelum melakukan penelitian –sebagai salah satu wujud ketakbebasan– hanya akan mendatangkan kompromi. Kompromi ini berbahaya lantaran hasil aktual dari sebuah penelitian akan dibengkok-bengkokkan untuk bisa sama dengan perkiraan prapenelitian.
Rohrer yang memenangkan Nobel bersama fisikawan Jerman Dr Gerd Binnig untuk rancangan mereka, scanning tunelling microscope, tak mememukan suasana muram itu di tempat kerjanya di Divisi Riset IBM Zurich, Swiss. ”Kami tak dipaksa membuat janji, jadi lebih bebas. Inilah yang memungkinkan hasil penelitian kami mendekati sempurna sehingga kami puas untuk membuat pengembangannya,” kata Rohrer yang bekerja di IBM sejak tahun 1963.
Di Indonesia
Apakah iklim seperti yang dialami Rochrer mungkin ada di Indonesia? ”Bisa saja, asalkan peneliti yang bersangkutan mau lapar tanpa penghasilan tetap yang memadai dan bersedia melupakan soal kenaikan pangkat yang urusannya amat panjang di sini,” Kata Tjia kepada Kompas.
Di Indonesia memang ada kebebasan untuk meneliti apa saja. ”Tapi, yang saya maksud dengan bebas itu ialah bebas dari sanksi sehingga bebas melakukan penelitian dengan dukungan penuh,” tambahnya. Sanksi, dalam hal ini, bukan sanksi formal, tapi sanksi dalam bentuk kehidupan yang bersangkutan tadi jadi melarat, tidak ada penghasilan tambahan dan kenaikan pangkatnya seret. ”Harusnya, sanksi seperti itu tidak ada kalau kita mau ada orang yang melakukan kegiatan kreatif sepenuhnya,” tegas Tjia.
Iklim penelitian dan penghasilan peneliti di Indonesia yang amat minim ternyata merupakan topik hangat yang ditanyakan baik kepada Rohrer maupun ilmuwan Indonesia yang hadir. Pertemuan yang dipandu Ketua LIPI Prof Dr Samaun Samadikun, mantan Ketua Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Prof A Baiquni PhD, dan Presiden Direktur PT USI Jaya/IBM I Gusti Made Mantera PhD, in dihadiri sekitar 20 anggota HFI.
Dalam kunjungannya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Selasa (8/9), Rochrer mengatakan, boleh jadi Indonesia tidak memerlukan Hadiah Nobel karena Nobel bukan ukuran kepandaian.
“Jadi, kembangkanlah potensi masyarakat Anda sendiri, pakai ukuran Anda sendiri. Hadiah Nobel mungkin merupakan hadiah untuk masyarakat lain,” kata Rohrer.
Rohrer tiba di Denpasar, Bali, Rabu(2/9) dan melakukan perjalanan untuk bertemu dengan masyarakat fisika di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta atas undangan PT USI Jaya/IBM. (hrd/yun/sal)
Sumber: Kompas, 21 September 1992