Konsorsium Enzim mengembangkan pembuatan enzim protease skala industri. Pengembangan teknologi dari skala laboratorium sampai uji produksi itu butuh waktu dua tahun. Produksi nasional berkapasitas 200 ton per tahun itu menekan ketergantungan 99 persen terhadap enzim impor.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Jumat (4/12), di Jakarta, terkait dimulainya produksi enzim protease berskala komersial di Kawasan Bio Center Petrosida, Gresik, Jawa Timur. Selain industri BUMN, Konsorsium Enzim juga melibatkan peneliti dari Universitas Diponegoro, Semarang, dan perekayasa dari Pusat Teknologi Bioindustri.
Peran BPPT dalam konsorsium adalah menyediakan mikroba jenis Bacillus megaterium yang diisolasi dan dikembangbiakkan. “Proses pembuatan enzim protease dipatenkan 1998, tetapi baru dua tahun ini diterapkan dan dikembangkan di industri,” kata Kepala Bidang Teknologi Produksi Biokatalis Pusat Teknologi Bioindustri BPPT Edi Wahjono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam membangun unit produksi enzim itu, BPPT melakukan konsultasi teknis, termasuk menyediakan desain teknik dan transfer teknologi lewat pelatihan dari teknologi produksi hulu hingga hilir enzim. Produksi hulu antara lain persiapan sistem pembiakan hingga fermentasi. Proses hilir mulai dari separasi mikroba hingga pengemasan.
Menurut Direktur Utama Petrosida Dwi Cahyo Juniarto, pihaknya bisa memproduksi enzim protease dalam bentuk serbuk 200 ton per tahun dan konsentrat 500 ton per tahun. Jumlah itu menekan 10 persen kebutuhan nasional enzim protease. Enzim protease dimanfaatkan untuk penyamakan kulit.
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Eniya Listiani Dewi menambahkan, produksi enzim xylanase dengan mikroba Bacillus halodurans berskala industri juga dimulai. Enzim pada industri kertas dan pulp itu dibuat di unit pabrik yang sama. “Dari desain rancang bangun industri enzim itu, BPPT dapat royalti 10 persen dari penjualan,” ujarnya.
Kepala Pusat Teknologi Bioindustri BPPT Priyo Atmadji menyebutkan, penggunaan enzim itu menekan pemakaian bahan kimia. Kini, untuk penyamakan kulit di Indonesia, 60 persen memakai sodium sulfit dan kapur yang mencemari lingkungan dan memicu bau menyengat. (YUN)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Pembuatan Enzim Protease Meningkat ke Skala Industri”.