Gangguan ekonomi akibat pandemi Covid-19 belum dimanfaatkan sebagai momen untuk menjalankan pembangunan ramah lingkungan yang berkelanjutan. Ini untuk menghindari wabah serupa di masa depan dan mengerem perubahan iklim.
Pembangunan ekonomi yang mengesampingkan lingkungan terbukti memberikan tekanan pada perekonomian jangka panjang. Namun, sampai saat ini pembangunan ekonomi yang diambil Indonesia secara spesifik belum terlihat secara nyata mengarah ke aspek ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Krisis akibat pandemi Covid-19 seharusnya menjadi momentum perubahan model pembangunan tersebut. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengemukakan, krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 membuka peluang negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk menerapkan pembangunan ekonomi nasional hijau atau ramah lingkungan dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Pembangunan ekonomi nasional hijau harus dilakukan sekarang. Ini karena pada masa pandemi, emisi (gas rumah kaca) yang dihasilkan pabrik atau pembangkit listrik tenaga batubara dapat memengaruhi dan memperparah penderita Covid-19,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (16/9/2020).
Perubahan konsep pembangunan ekonomi sangat penting karena saat ini negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, menghadapi ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Ancaman tersebut di antaranya mengakibatkan kenaikan permukaan air laut, krisis air dan energi.
Berdasarkan proyeksi permintaan energi Indonesia dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan minyak bumi di Indonesia hanya cukup untuk 9,22 tahun. Minyak bumi masih menjadi 34 persen komposisi permintaan energi di Indonesia. Diproyeksikan juga impor minyak mentah Indonesia pada 2050 akan mencapai 99 persen.
Penghitungan indeks stimulus hijau Covid-19 yang dilakukan vivideconomics menunjukkan stimulus pemulihan ekonomi Indonesia juga memiliki ranking terendah kedua setelah China dari aspek pro-lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari upaya Indonesia yang masih mendasarkan pemulihannya pada sektor eksisting yang tidak berkelanjutan dan menghasilkan emisi tinggi.
”Secara spesifik, pembangunan di Indonesia yang diarahkan untuk lingkungan dan berkelanjutan sampai saat ini memang tidak ada. Yang ada hanyalah stimulus B30 (biodiesel 30 persen), tetapi ini juga meningkatkan permintaan terhadap sawit yang berpotensi menghasilkan emisi juga,” kata Berly.
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina, mengatakan, pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan aktivitas produksi dan pertumbuhan ekonomi secara global. Namun, di sisi lain, pandemi juga menurunkan penggunaan bahan bakar fosil dan membuat sejumlah negara beralih ke energi baru yang lebih ramah lingkungan.
Menurut Poppy, Indonesia tidak mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar negara-negara maju karena keterlibatan dalam rantai pasok dunia yang tidak signifikan. Namun, perubahan konsep pembangunan ekonomi Indonesia tetap harus menjadi prioritas.
”Skenario pemulihan ekonomi harus fokus pada green investment. Jika tidak, pada 2030 emisi gas rumah kaca akan semakin tinggi. Ini saatnya kita bicara tiga komponen, yaitu keberlanjutan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan hidup,” tuturnya.
Menurunkan PDB
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengatakan, sejumlah kajian menunjukkan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan meningkatkan risiko penurunan produk domestik bruto (PDB) di sejumlah negara. Bahkan, pada 2050 diprediksi akan lebih banyak negara dengan persentase penurunan PDB di level 1,1-5 persen dan 5,1-10 persen.
”Perubahan iklim akan berdampak pada perekonomian dan manusia. Pandemi Covid-19 menunjukkan faktor non-ekonomi dapat menimbulkan resesi ekonomi, begitu pula dengan krisis iklim. Kelompok masyarakat rendah dan miskin akan lebih terdampak,” ungkapnya.
Tata memandang pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah karena ketergantungan yang lama terhadap batubara. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah; mulai dari matahari, air, angin, bioenergi, hingga geotermal. Pengembangan energi terbarukan ini akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengatakan, program pemulihan ekonomi nasional yang dicanangkan Indonesia memang tidak terlihat menyentuh persoalan iklim dan lingkungan secara langsung. Namun, secara tidak langsung program tersebut bertransmisi kepada aktivitas yang mendukung persoalan penurunan gas rumah kaca.
”Komitmen kita yang terus jalan sampai saat ini misalnya porsi energi baru terbarukan diharapkan pada 2024 mencapai 19,5 persen dengan indikasi pendanaan lebih kurang Rp 177,8 triliun. Kemudian ada pembangunan rendah karbon dengan indikator persentase penurunan emisi gas rumah kaca terhadap baseline pada sektor energi mencapai 13,2 persen dan pendanaan lebih kurang Rp 252 triliun,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 16 September 2020