IAEA Tingkatkan Keamanan dan Keselamatan Terkait Pembangkit
Dibandingkan dengan negara ASEAN lain, Indonesia memiliki sumber daya unggul dan lengkap dalam penguasaan ilmu dan teknologi nuklir. Namun, pemanfaatan di Indonesia masih terbatas. Dampak negatif nuklir masih menjadi hambatan utama. Padahal, nuklir bisa dimanfaatkan lebih luas untuk kesejahteraan bangsa.
”Tidak ada yang 100 persen aman. Namun, IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) berusaha meminimalkan dampak nuklir semaksimal mungkin,” kata Direktur Jenderal IAEA Yukiya Amano saat memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (23/1).
IAEA dibentuk tahun 1957 guna mempromosikan nuklir untuk tujuan damai. Indonesia satu dari 23 negara pertama anggota IAEA dan terpilih sebagai anggota Dewan Gubernur IAEA periode 2011-2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui penguasaan ilmu dan teknologi nuklir, Indonesia menjadi rujukan negara-negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, IAEA menunjuk Badan Tenaga Nuklir Nasional sebagai Pusat Kolaborasi IAEA untuk Diagnosis Nondestruktif, Pengujian, dan Teknologi Inspeksi untuk mendukung kegiatan IAEA di Asia Tenggara, termasuk produksi isotop baru, pelatihan ahli, serta pembuatan panduan dan protokol beragam teknik pemanfaatan nuklir.
Pemanfaatan
Pemanfaatan nuklir di Indonesia masih terbatas, seperti untuk kedokteran, pertanian, penyediaan air bersih, pengolahan pangan, dan industri petrokimia. Meski sejumlah negara ASEAN, seperti Vietnam dan Thailand, memastikan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, Indonesia belum memutuskan.
Cita-cita memiliki PLTN sudah lama. Terlebih, Indonesia sudah mengoperasikan reaktor riset di Bandung, Yogyakarta, dan Serpong di Tangerang Selatan sejak 1965. ”Indonesia memiliki semua aspek untuk pembangunan PLTN, kecuali keputusan politik puncak,” kata Deputi Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir Batan Ferhat Aziz.
Terkait dengan rencana itu, Yukiya mengatakan, sebagai negara dengan ekonomi berkembang, Indonesia butuh listrik. ”IAEA siap mendukung pembangunan PLTN. Namun, keputusan pembangunan ada pada Pemerintah Indonesia,” katanya.
Pengembangan PLTN di Indonesia terkait dengan kesiapan budaya, teknologi, dan lokasi yang aman dari bencana alam. Dari sisi sumber daya manusia, sejumlah ahli Indonesia bekerja di IAEA dan negara lain.
Pengawasan pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia, baik di rumah sakit maupun reaktor riset, dilakukan lembaga independen Badan Pengawas Tenaga Nuklir. ”Ada aturan yang harus dipatuhi untuk memastikan radiasi nuklir di tempat-tempat itu sesuai dengan standar. Jika tidak, izin bisa dicabut,” kata Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto.
Yukiya mengakui, kecelakaan nuklir di PLTN Chernobyl, Ukraina, pada 1986 dan PLTN Fukushima Daiichi, Jepang pada 2011 mengkhawatirkan masyarakat. Kecelakaan itu memberi pelajaran berharga bagi ahli IAEA untuk mengembangkan reaktor yang lebih aman dan sistem keselamatan lebih baik. (MZW)
Sumber: Kompas, 24 Januari 2015