Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Prof Dr Djaali mengadakan keputusan yang progresif dan radikal, yaitu semua guru besar pendidikan program pascasarjana Universitas Negeri Jakarta harus terlibat langsung mengajar mata kuliah Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan pada semester pendek 17 Januari sampai dengan 19 Februari 2011.
Kendati keputusan yang sangat progresif, sayang ternyata tidak semua guru besar lembaga itu siap memikul tugas tersebut sebagaimana mestinya. Bahkan, dalam perkuliahan, beberapa guru besar tersebut berbicara tentang pendidikan, bukan ilmu pendidikan dan mengacu pada tokoh seperti Socrates, Rousseau, dan tokoh-tokoh lain. Masih ada juga yang berbicara tentang Langeveld yang teori dalam ilmu pendidikannya sudah kedaluwarsa. Di kuliah-kuliah tersebut, jarang ada pembicaraan tentang ilmu pendidikan, yaitu pendidikan dalam perspektif saintifik yang mengedepankan pohon ilmu. Ilmu pendidikan berakar dari filsafat, antropologi, psikologi, dan sosiologi yang sedikitnya seharusnya menjadi landasan dalam diskusi tentang ilmu pendidikan.
Jarang dalam perkuliahan tersebut dibicarakan tentang orientasi intrinsic education yang ciri utama paradigmanya banyak memiliki persamaan dengan asas-asas pendidikan Ki Hajar Dewantara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tantangan bagi teori pendidikan yang modern adalah dipersoalkannya interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Diperlukan kesadaran baru setelah merefleksikan secara obyektif efek modernisasi terhadap kehidupan serta diperlukan sikap baru terhadap realitas maupun terhadap diri sendiri.
Penelitian ”neuroscience”
Beribu kali pembedahan terhadap hemisplurectomies telah membuktikan betapa kelenturan (plasticity) otak memiliki kemampuan untuk berubah dan menyesuaikan diri secara dahsyat dalam perkembangannya. Ini adalah satu di antara banyak kemungkinan dari janji penelitian neuroscience terhadap masa depan perkembangan otak. Dengan menjelajahi lebih lanjut konsep kelenturan otak, diharapkan akan ada temuan bagaimana mewujudkan otak matang, dan juga sebaliknya apa yang menjadi efek terhadap perkembangannya apabila terjadi kecelakaan yang menyebabkan trauma tertentu. Para peneliti juga mengkaji sensor-sensor khusus yang mendeteksi, monitor, dan analisis impuls-impuls dari neuron tunggal dan berintegrasi dengan impuls-impuls lain untuk berkomunikasi dengan cara-cara elektronik yang lain.
Dalam berbagai temuan yang mengejutkan, telah dikemukakan berbagai aspek yang mengembangkan otak, antara lain nutrisi yang baik, yang pada gilirannya memengaruhi kegiatan belajar.
Selanjutnya, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa aktivitas belajar mengubah bukan saja fungsi otak, tetapi juga struktur fungsi kognitif (Jensen, 2006). Kejadian belajar menjadikan hubungan-hubungan cellular baru dan memperkuat hubungan yang sudah ada menjadikan informasi terintegrasi dengan kemampuan yang ada. Kelenturan otak menambah pengertian dari pertumbuhannya dalam menjelaskan fungsinya.
Sebagaimana diuraikan di atas, ternyata hasil penelitian neuroscience memiliki implikasi jamak, bukan saja terhadap praktik pendidikan untuk masyarakat, melainkan juga terhadap perkembangan ilmunya sendiri, dan menjadikan suatu orientasi baru dalam pedagogik (ilmu pendidikan) sehingga kini muncul istilah neuro education. Perkembangan tersebut terjadi berawal dari berbagai hasil kajian neuroscience yang memiliki implikasi terhadap perkembangan ilmu. Menurut kajian neuroscience, otak dan kelenturannya (plasticity) berdampak luar biasa terhadap kehidupan sehari-hari manusia.
Ternyata, hubungan antara riset di laboratorium dan sekolah tidaklah searah. Pemahaman tentang kelenturan otak telah membentuk cara baru dalam pembelajaran dan hasil belajar. Kerja sama antara pendidik dan ilmuwan kognitif akan memperkaya bidang ini. Apabila pihak ahli pendidikan mengembangkan metode instruksional atas dasar hasil riset, para peneliti pada gilirannya harus menilai apakah cara-cara baru benar meningkatkan upaya belajar. Timbulnya wawasan baru yang disebut neuro pendidikan (neuro education) adalah arena bagaimana penelitian neuroscience bisa memberikan masukan pada praktik pendidikan dan meningkatkan yang disebut ilmu belajar (the science of learning). Inilah yang disebut temuan berdasarkan kenyataan belajar- mengajar (evidence-based findings to teaching and learning). Guru dan pendidik harus menyadari bahwa otak berubah terus dengan adanya pengalaman belajar; bahwa dengan terbentuknya hubungan baru dari neuron otak (connections) yang disebut synapse juga memperkuat dan merupakan bentuk hubungan baru di daerah lain otak. Jadi, para ilmuwan neuro kognitif terus-menerus menghasilkan pemahaman baru dalam fungsi eksekutif otak.
”Neuro education”
Dampak post-modernism yang adalah wawasan tentang peta kompleksitas pemikiran dan praktik intelektual yang kebenarannya bertolak dari rasio dan pengetahuan melalui pengalaman menuntut kita memahami esensi pendidikan yang adalah pengembangan penalaran tentang apa yang diketahui dan yang tidak diketahui.
Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien merupakan hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan lingkungan yang mencakup ciri-ciri fisik, mental, dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara optimal (Semiawan, C, 2005).
Paradigma baru kependidikan sebagai buah penelitian dalam penelitian neuroscience (Teagle, 1992) didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menciptakan hal-hal yang sifatnya baru.
Conny Semiawan Guru Besar Emeritus pada Universitas Negeri Jakarta dan Guru Besar Luar Biasa pada Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, 5 April 2011