Di tengah meningkatnya pemanfaatan energi baru terbarukan, mutu produk di Indonesia belum sepenuhnya terjamin sehingga merugikan konsumen. Itu karena infrastruktur pengujian mutu energi baru terbarukan minim.
Meski baru dikembangkan, pemanfaatan energi baru-terbarukan (EBT) akan kian besar. Sebab, pemerintah mencanangkan 23 persen kebutuhan energi nasional tahun 2025 dipenuhi dari EBT. Porsi itu ditargetkan jadi 31 persen pada 2050.
Menurut Deputi Bidang Jasa Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto, infrastruktur uji mutu EBT di Indonesia belum lengkap. Infrastruktur itu terdiri dari standardisasi lewat penetapan dokumen standar nasional dan internasional, metrologi (pengukuran standar, kalibrasi, pengujian, ketertelusuran pengukuran), serta penilaian kesesuaian (akreditasi, sertifikasi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Energi surya
“Untuk tahap awal, infrastruktur mutu dibutuhkan pada panel surya,” kata Bambang, Minggu (29/5), di Jakarta. Pengembangan energi surya paling pesat di antara sumber EBT lain. Target nasionalnya pun lebih jelas.
Pemerintah telah membangun sekitar 100 instalasi listrik tenaga surya kapasitas total 8 megawatt (MW) di 100 lokasi. Pada 2025, instalasi listrik tenaga surya ditargetkan berkapasitas 1.000 MW lewat program 1.000 pulau.
Pemanfaatan EBT jadi salah satu solusi memenuhi kebutuhan energi yang naik dan upaya menekan emisi gas rumah kaca. Namun, mutu alat untuk mendapat EBT harus terjamin sehingga perlu kalibrasi yang baik. Misalnya, mutu panel surya mesti sesuai standar.
Menurut Bambang, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) punya laboratorium pengujian dan kalibrasi panel surya, tapi kemampuan belum lengkap. Darman Mappangara, Direktur PT Len Industri, produsen panel surya, mencontohkan standar mutu yang belum ada di BPPT ialah standar International Electrotechnical Commission (IEC) untuk tingkat korosi atau karat panel surya.
Kepala Badan Standardisasi Nasional Bambang Prasetya menambahkan, standar internasional uji mutu panel surya bisa diadopsi Indonesia. Standardisasi itu difinalisasi, tapi jumlah laboratorium pengujian kurang.
Kepala Pusat Penelitian Metrologi LIPI Mego Pinandito memperkirakan, baru ada kurang dari 5 laboratorium pengujian panel surya di Indonesia. Idealnya, 10 laboratorium dekat pusat produksi panel surya. (JOG)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Mutu Produk Belum Terjamin”.