Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas pada yang kita ketahui dan pahami kini, imajinasi melingkupi seluruh dunia dan segala sesuatu yang akan kita ketahui dan pahami.(Albert Einstein)
Imajinasi atas dunia luar angkasa eksotik tapi penuh misteri membuat banyak anak menyukai astronomi. Itu tak berarti mereka ingin jadi ahli astronomi atau antariksawan. Astronomi jadi jalan mudah dan menawan menuntun rasa ingin tahu mereka mengenal sains lebih luas.
Hampir setengah jam Edwin (7) membuka buku bergambar timbul (pop up) tentang benda- benda langit di meja stan komunitas Langitselatan di Festival Sains Antariksa (FSA) 2017, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (7/10). Riuhnya suara sekeliling tak mengusiknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Siswa SD Lentera Bangsa, Bandung, itu pun mengutak-atik gambar timbul. Sesekali, ia bertanya kepada sejumlah penjaga stan yang juga para komunikator astronomi. Ayahnya kadang membantu menjelaskan agar Edwin lebih mudah memahami.
Saat buku itu habis dibuka, ia berpindah ke sejumlah alat peraga. Mulai dari mainan yang menggambarkan posisi Tata Surya, alat pemecah cahaya putih jadi spektrum aneka warna, hingga memakai teleskop meski tanpa melihat obyek langit.
KOMPAS/M ZAID WAHYUDI–Anak-anak memainkan buku bergambar timbul dan alat peraga dalam Festival Sains Antariksa 2017 di Kantor Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (7/10). Pengenalan astronomi kepada anak-anak sejak dini diharapkan menumbuhkan kecintaan terhadap sains dan memberikan inspirasi untuk terus mengeksplorasi alam semesta.
FSA digelar di Kantor Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), bagian Pekan Antariksa Dunia (WSW), diperingati setiap 4-10 Oktober. WSW dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan pemahaman warga soal alam semesta.
Ketertarikan juga membuat Handaru Akmal Panandjoeng (13), siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Kota Bandung, betah berada di stan komunitas Langitselatan. Sejak duduk di bangku SD, ia adalah penggemar mitologi Yunani atau Romawi dan aneka cerita dinosaurus sehingga hafal bentuk dan cerita di balik rasi-rasi bintang dengan membaca buku. Sayang, ia tak banyak mengenal mitologi astronomi Indonesia yang bukunya terbatas.
Hal itu membuatnya bergabung dengan kelompok ekstrakurikuler astronomi di sekolah. Pengetahuan astronomi dari pelajaran di kelas tak memuaskannya. Namun, saat kuliah nanti, ia lebih tertarik memahami ilmu paleontologi yang juga disukainya sejak kecil.
“Paleontologi membuat kita memahami masa lalu, tapi untuk paham masa depan butuh astronomi,” tuturnya. Untuk memahami paleontologi, kadang perlu pemahaman astronomi. Bagaimana dinosaurus punah sampai kehidupan di Bumi bermula butuh pendekatan ilmu astronomi.
Karena itu, astronomi membuka jalan bagi anak-anak untuk lebih paham sains. “Astronomi itu gerbang pengetahuan. Dari astronomi, siswa bisa mempelajari bidang sains lain, teknologi, dan budaya,” kata Avivah Yamani, komunikator astronomi dan pengelola Langitselatan.
Pengenalan astronomi pada anak-anak membuat mereka menggemari sains dan aplikasinya, seperti teknik dan ilmu rekayasa. Sains juga membangun nalar mereka.
Metode pengenalan astronomi beragam. Selain lewat komunikasi sains dan observasi, astronomi bisa dikenalkan dengan pendekatan budaya dan wisata, seperti dilakukan Imah Noong, lembaga eduwisata astronomi di Lembang, Bandung Barat. Dalam FSA, ia memamerkan alat petunjuk arah kiblat, peta langit malam, teleskop, buku astronomi Islam, dan penawaran program wisata astronomi. Imah mengelola observatorium kecil serta musholatorium, paduan mushola dan planetarium, membuat pengenalan astronomi menarik bagi anak-anak.
Inspirasi
Selain ilmu astronomi, FSA mengenalkan teknologi keantariksaan yang dikembangkan Lapan dan amat berperan dalam kehidupan manusia, seperti teknologi satelit, penginderaan jauh, pemotretan udara memakai pesawat tanpa awak, hingga pemantauan atmosfer.
Teknologi keantariksaan dikenalkan sebagai upaya menjaga inspirasi dan semangat manusia, khususnya generasi muda, untuk mengeksplorasi dunia baru. “Banyak dunia luar belum tereksplorasi,” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin.
Meski penjelajahan luar angkasa sudah dilakukan 60 tahun lalu, sejak satelit pertama buatan manusia Sputnik 1 mengangkasa pada 4 Oktober 1957, hingga kini antariksa penuh misteri. Makin banyak pengetahuan manusia tentang semesta, kian banyak hal belum dipahami manusia.
Karena itu, Thomas mengingatkan pentingnya memberi inspirasi bagi anak muda agar eksplorasi luar angkasa berjalan. Pada 30-40 tahun dari saat ini, anak-anak muda itu akan jadi pelaku eksplorasi luar angkasa. Mereka diharapkan bisa mengatasi segala kendala eksplorasi semesta saat ini terkait dana atau teknologi.
Melalui eksplorasi itu, beragam pertanyaan purba manusia coba dipecahkan. Mulai dari pertanyaan ada tidaknya tempat layak huni di luar Bumi, pencarian teman manusia berbagi kosmos, eksplorasi sumber daya alam di luar angkasa, hingga mengetahui nasib akhir alam semesta. Dengan memahami semesta, manusia mengenal jati dirinya. (M ZAID WAHYUDI)
Sumber: Kompas, 6 November 2017