Mengembangkan Ekosistem dan Atmosfer Inovasi Pembelajaran Daring

- Editor

Rabu, 20 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengguna internet Indonesia tercatat 202,6 juta, tetapi belum termanfaatkan secara positif dan optimal. Bahkan, lebih banyak untuk media sosial, ”ngerumpi”, penyebaran ujaran kebencian, fitnah, hoaks, dan sebagainya.

Pandemi Covid-19 telah setahun menangguhkan aktivitas bisnis, pembelajaran, ibadah, konser seni, festival, perjalanan, olahraga, dan sebagainya.

Kasus positif di seluruh dunia sekitar 110 juta, sedangkan di Indonesia 1,4 juta. Aktivitas di kantor, sekolah, dan pusat bisnis harus berpindah di rumah. Namun, aktivitas dalam jaringan (daring) masih penuh dengan keterbatasan sarana-prasarana, infrastruktur teknologi informasi, kesiapan, pola pikir, variabilitas, kemampuan, kompetensi, dan keterjangkauan yang belum memadai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kehilangan proses
Bencana Covid-19 belum dapat diprediksi kapan selesainya. Yang pasti adalah ketidakpastian, yang jelas justru adalah ketidakjelasan. Kehilangan proses pembelajaran karena sekolah daring tatap layar masih harus tetap dilakukan. Hal itu karena memaksakan tatap muka justru berakibat fatal, dapat mengakibatkan tragedi kemanusiaan, bahkan kematian.

Namun, pembelajaran daring cenderung diwarnai suasana monoton, membosankan, curang, tidak efektif, mudah capek, trauma, fobia, stres, emosional, gangguan kejiwaan, nirsosial, dan depresi. Kalau tidak ditangani, akan terlampiaskan secara negatif.

Ekosistem dan atmosfer inovasi pembelajaran daring tidak berkembang. Program pemerintah cenderung lebih fokus program jangka panjang Merdeka Belajar, sedangkan problema nyata akibat Covid-19 tidak sepenuhnya ditangani efektif. Cenderung pasrah dengan keadaan, dengan hanya menunda pembelajaran tatap muka sampai kondisi memungkinkan. Atau menyediakan paket pulsa yang tak selalu terpakai, tidak efektif, dan sebagian muspra.

Inovasi dan kreativitas siswa yang justru muncul ternyata cenderung berupa akal licik. Yang ikut kuliah daring ternyata hanya gawainya, jawaban ujian ternyata hasil kerja sama spontanitas saling contek.

Pemerintah menoleransi dengan tidak perlu menuntaskan capaian pembelajaran. Padahal, sistem jaminan mutu cenderung lebih bersifat administratif, menuntut selalu adanya nilai yang bagus, bahkan harus semakin bagus meski kadang tanpa kompetensi.

Sertifikat, tanda penghargaan, nilai ujian, dan ijazah dikhawatirkan bisa berpotensi dijualbelikan. Tampaknya, penilaian eksternal dari enam lembaga internasional sebelumnya diperkirakan tetap akan menilai paling rendah.

Jargon bahwa setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah; dicomot begitu saja, sepotong-potong, tidak utuh, dan cenderung untuk pembenaran saja. Padahal, harus merupakan kesatuan utuh yang tidak boleh terpisahkan, dengan pemberdayaan 6M (man, money, material, method, machine, management).

Merdeka belajar yang bertanggung jawab harus mampu mengembangkan out of the box, within the system. Program Nawacita dan revolusi mental sebelumnya belum menunjukkan bentuk, proses, apalagi hasilnya. Tuntutan Society 5.0 semakin tinggi, tetapi siswa semakin tidak memenuhi kualifikasi.

Bisnis yang sudah mapan saja banyak yang bangkut, terjadi pemecatan dan pengangguran. Diperkirakan, 52,6 juta potensi pekerjaan hilang karena globalisasi, disrupsi inovasi, dan akan diperparah oleh pandemi.

Digitasi, otomasi, dan kecerdasan buatan mengubah komposisi pekerjaan menjadi 60 persen oleh mesin otomatis dan 30 persen digantikan mesin canggih. Inovasi dan kreativitas ”pembelajaran kehidupan semesta” diperlukan agar tetap dapat mendidik otak, menghaluskan hati nurani, dan menerampilkan tangan secara daring tetap menyenangkan.

Adopsi inovasi
Pengguna internet Indonesia tercatat 202,6 juta, tetapi belum termanfaatkan secara positif dan optimal. Bahkan, lebih banyak untuk media sosial, ngerumpi, penyebaran ujaran kebencian, fitnah, hoaks, dan sebagainya. Padahal, masyarakat cenderung menyukai menggunakan media sosial, bahkan ketagihan. Media ini bisa dipakai dengan konten pendidikan berkebudayaan yang lebih menyenangkan.

Media seni budaya untuk pengayaan pembelajaran dapat berupa lagu, tembang, gambar, lukisan, komik, meme, puisi, pantun, sastra, cerita, legenda, pertunjukan, drama, ketoprak, teater, film, dan vlog.

Di samping pembaruan model outbond, pramuka, karang taruna, permainan lapangan, permainan tradisional, gim, media digital, Youtube, Tiktok, web series, dan sebagainya.

Augmented Reality Tembang Dolanan Anak (ARTDA) merupakan contoh media pembelajaran berbasis budaya unggulan lokal kekinian.

Pemerintah, sekolah, guru, dan siswa semestinya perlu banyak membuat adopsi inovasi sekaligus adaptasi dengan pengembangan modul, kreator konten, dan media sosial. Hal itu agar pembelajaran daring lebih bernuansa edu-tainment yang menyenangkan, mudah dipahami, dan menstimulasi keinginan tahu lebih besar.

Siswa sebagai subyek sekaligus obyek sehingga didorong lebih aktif, bukan sekadar pasif. Modul terbimbing sebagai acuan pembelajaran era pandemi dengan soko guru proses pembelajaran unggulan perlu diperkaya dan disesuaikan.

Menurut data statistik 2020, jumlah penduduk Indonesia adalah 268,1 juta. Jumlah anak usia 0-9 tahun mencapai 47,58 juta dan usia 10-19 tahun adalah 45,35 juta jiwa. Anak-anak kader Generasi Emas 2045 ini harus mendapat pendidikan unggulan secara sungguh-sungguh. Jangan sampai berbalik menjadi bencana demografi yang membebani Indonesia.

Generasi emas diharapkan mampu berprestasi tinggi mewujudkan bangsa Indonesia yang besar, maju, jaya, dan bermartabat. Generasi dengan kompetensi, karakter, gaya hidup, nilai religius, dan semangat juang unggulan. Juga memiliki sikap, pola pikir, konsep, dan berperadaban unggul dengan wawasan yang cerdas, luas, mendalam, produktif, kreatif, inovatif, dan futuristik sehingga menumbuhkan tanggung jawab dan kontribusi nyata dalam mewujudkan alam semesta yang sehat, damai, bermartabat, dan berkelanjutan seutuhnya.

Metode SariSwara (melatih wirasa, wiraga, wirama) ataupun Sistem Among (Among, Momong, Ngemong; Asah, Asih, Asuh) merupakan salah satu ajaran Ki Hadjar Dewantara. Meskipun dikembangkan saat zaman kolonial seabad lampau, hal itu tetap relevan pada zaman milenial, dengan dilakukan pembaruan sesuai zamannya.

Ki Cahyono Agus, Ketua Umum Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa; Guru Besar UGM; Anggota Dewan Pendidikan DIY

Editor: YOHANES KRISNAWAN

Sumber: Kompas, 12 Maret 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB