Perdebatan melalui media sosial sehubungan dengan perbedaan pandangan politik masih sangat memungkinkan terjadi di masyarakat mengingat akan diselenggarakannya pilkada serentak pada 2018 mendatang. Twitter yang menambah jumlah karakternya menjadi 280 karakter mampu membuat penggunanya menjelaskan secara lebih detail gagasan mereka. Dampak positif dan negatif sama-sama bisa muncul, bergantung dari bagaimana perilaku bermedia sosial penggunanya.
”Segregasi politik hampir pasti terjadi. Terutama di daerah-daerah yang masyarakatnya terbiasa dengan internet dan media sosial. Khususnya untuk masyarakat kota, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat,” kata Agus Sudibyo, pengamat media sosial dan akademisi komunikasi, saat ditemui di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (9/11).
Berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet yang terdapat di Indonesia berjumlah 132,7 juta orang pada 2016. Pengguna internet terbanyak berada di Pulau Jawa, yaitu sebanyak 86,3 juta orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait dengan penggunaannya, sejumlah 97,4 persen memakai internet untuk bermedia sosial. Sementara itu, alasan mereka menggunakan internet, persentase paling banyak adalah untuk memperbarui informasi atau membaca berita, yang persentasenya sebesar 25,3 persen.
Agus mengatakan, dampak positif atau negatif yang dimunculkan akibat bertambahnya jumlah karakter pada media sosial Twitter ia kembalikan lagi kepada para penggunanya. ”Jumlah katanya lebihi panjang itu bisa positif dan bisa juga negatif. Itu bergantung pada pengguna ataupun penggunaannya,” kata Agus.
Jumlah katanya lebihi panjang itu bisa positif dan bisa negatif. Itu bergantung pada pengguna ataupun penggunaannya.
Indriyatno Banyumurti, Program Coordinator dari Information Communication and Technology (ICT) Watch, mengakui, bertambahnya karakter itu mampu memberikan manfaat bagi pengguna Twitter karena bisa menjelaskan secara lebih detail. Namun, hal itu perlu diwaspadai karena pengguna Twitter tidak hanya melulu orang-orang yang bertujuan menyebarkan konten positif.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak Januari hingga September 2017, terdapat 521.407 laporan konten negatif dari media sosial Twitter. Pihak kementerian menerima laporan atas konten negatif terbanyak pada Agustus dengan jumlah 521.359 laporan. Adapun konten negatif itu terdiri atas SARA, radikalisme, pornografi, kekerasan, dan lain sebagainya.
”Orang yang ingin menyebarkan konten positif bisa lebih terbantu karena, dengan bertambahnya karakter, membuat mereka bisa menjelaskan pikiran mereka secara detail. Namun, orang yang berniat menyebarkan konten negatif atau berita bohong juga bisa lebih detail dalam membuat informasi bohong,” kata Indriyatno saat ditemui di Le Meridien, Karet Tengsin, Jakarta Pusat, Kamis (9/11).
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak Januari hingga September 2017, terdapat 521.407 laporan konten negatif dari media sosial Twitter.
Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE-Net) Damar Juniarto mengungkapkan, sejumlah pengguna media sosial memanfaatkan sisi emosional dari para pengguna lainnya untuk menciptakan suatu kebenaran alternatif dari sebuah fakta. Kebenaran alternatif ini yang diketahui oleh sebagian besar orang sebagai kabar bohong atau hoaks.
Selanjutnya, kebenaran alternatif seolah terafirmasi karena disebarluaskan secara sporadis dan masif. Perlahan-lahan orang yang terus-menerus mengonsumsi informasi itu pun menerima kebenaran alternatif sebagai sebuah fakta yang sebenarnya.
Dalam pemberitaan Kompas (16/2), menurut hasil survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), sebesar 91,80 persen dari 1.116 responden menerima berita bohong paling sering mengenai berita sosial politik terkait pemilihan kepala daerah atau pemerintah. Berita bohong itu tersebar paling banyak melalui media sosial dengan persentase sebesar 92,40 persen.
Agus menuturkan, hoaks atau kabar bohong itu merupakan suatu hal yang tidak terelakkan. ”Kita tidak dapat mengetahui apakah berita itu hoaks atau bukan sebelum membacanya. Berita hoaks adalah suatu ketelanjuran,” kata Agus. ”Masyarakat harus kritis terhadap informasi yang mereka dapatkan agar terhindar dari hoaks.”
Agus beranggapan, Twitter sebagai sebuah perusahaan media sosial memiliki andil dalam tersebarnya ujaran kebencian, kabar bohong, ataupun hoaks karena mereka menjadi mesin penyebar kabar tersebut.
Twitter harus ikut bertanggung jawab dengan tersebarnya konten-konten negatif. Mereka seharusnya memiliki mekanisme yang dapat menyaring kicauan-kicauan yang mengandung ujaran kebencian, hoaks, SARA, dan lain sebagainya.
”Twitter harus ikut bertanggung jawab dengan tersebarnya konten-konten negatif. Mereka seharusnya memiliki mekanisme yang dapat menyaring kicauan-kicauan yang mengandung ujaran kebencian, hoaks, SARA, dan lain sebagainya. Harus ada aturan yang jelas bagi perusahaan media sosial,” kata Agus.(DD16)
Sumber: kompas, 9 November 2017