Riset Membuka Peluang Keterlibatan Ilmuwan Indonesia
Penyakit malaria masih jadi masalah global. Peneliti di negara-negara maju telah mencapai level penyelidikan rekayasa genetika untuk membuat nyamuk Anopheles tidak bisa menularkan malaria. Namun, pengembangan riset penyakit itu membutuhkan kerja sama lintas negara.
Demikian disampaikan pemenang Hadiah Nobel Kimia 2003 yang juga Direktur John Hopkins Malaria Research Institute, Profesor Peter Agre, dalam kuliah umum di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Rabu (22/3). Kuliah umum itu digelar dalam rangkaian acara Bridges: Dialogue Towards A Culture of Peace yang difasilitasi International Peace Foundation.
“Malaria ialah masalah dunia. Satu setengah abad lalu, sebagian besar negara mempunyai kasus malaria. Saat ini sebagian negara di dunia masih terjangkiti malaria, termasuk Indonesia,” kata ilmuwan berusia 68 tahun itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tantangan terkait malaria belum usai meski banyak negara bisa mengendalikannya. Jadi perlu perhatian dan kerja keras semua pihak sebagai bentuk pengakuan bahwa malaria jadi soal penting.
“Yang penting kita menyadari pentingnya hal ini, terutama penularan pada anak-anak di bawah usia 5 tahun,” kata peneliti asal Amerika Serikat ini.
Agre meraih Hadiah Nobel Kimia 2003 bersama ilmuwan Roderick MacKinnon atas jasanya menemukan aquaporin, molekul protein penyalur air pada membran sel. Aquaporin ditemukan di semua bentuk makhluk hidup, mulai dari sel tanaman hingga sel otak manusia. Peranannya amat vital karena jadi semacam jaringan kanal penyalur air ke semua jaringan makhluk hidup.
Pada perkembangannya, Agre menemukan indikasi bahwa salah satu aquaporin di nyamuk Anopheles dihalangi, penularan parasit penyebab malaria oleh nyamuk itu bisa dicegah. Keberhasilan pengendalian penularan malaria terkait pengendalian nyamuk pembawa parasitnya.
Rekayasa genetika
“Tentu kita tak bisa membasmi semua nyamuk di dunia. Namun, jika kita bisa mencegah nyamuk menularkan malaria, misalnya dengan membasmi parasit dengan teknik agresif atau ‘mengakali’ nyamuk (secara genetika),” ucapnya.
Di sejumlah negara maju seperti AS, perkembangan riset malaria sampai tahap rekayasa molekuler pada nyamuk untuk mencegah penularan parasit pembawa penyakit ini. Jadi ada rekayasa nyamuk Anopheles secara biologi sama (dengan nyamuk Anopheles biasa), tetapi tidak bisa menularkan malaria. Itu juga bisa dengan mengembangkan mikroba di perut.
“Dari riset di John Hopkins dan lembaga riset lain, terungkap beberapa mikroorganisme ini lebih efisien menghalangi penularan parasit malaria,” katanya.
Banyak pekerjaan perlu dilakukan dan para ilmuwan muda Indonesia bisa turut berperan di sini.
“Beberapa teknik, seperti metode modifikasi genetika, butuh teknologi amat canggih (yang baru ada di negara-negara maju). Namun, para peneliti muda Indonesia bisa bekerja di luar negeri, misalnya di AS, belajar metode itu, lalu pulang lagi ke sini untuk memodifikasi dan menerapkannya (sesuai kebutuhan setempat),” ujarnya.
Penyakit terabaikan
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Yoni Fuadah Syukriani mengakui, hingga kini malaria menjadi masalah kesehatan utama. Sekitar 55 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah endemik malaria dan setiap tahun ada sekitar 250.000 kasus baru malaria di negara ini.
“Satu hal harus disadari, penyakit ini belum ada obatnya. Obat seperti kina itu tidak membunuh parasit, tetapi hanya membuatnya tidak aktif sementara,” ujarnya seusai diskusi bersama Agre, kemarin.
Yoni memaparkan, malaria bisa dimasukkan dalam golongan “penyakit terabaikan” (neglected disease). Sebab, perhatian terhadap penanganan penyakit ini tidak sebanding dengan tingkat bahaya dan jumlah penderitanya.
Apalagi resistensi parasit malaria terhadap berbagai obat antibiotik yang selama ini digunakan terus meningkat. “Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia,” ujarnya.
Sementara Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB) Edy Tri Baskoro mengatakan, pihaknya menjajaki kerja sama riset malaria dengan John Hopkins School of Medicine. Selama ini, ITB telah menggelar riset terkait malaria, baik di Sekolah Tinggi Ilmu Hayati ITB maupun permodelan matematika penyebaran penyakit itu. (DHF)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Malaria Jadi Masalah Global”.