SOSOK fisik tak selalu sesuai bayangan umum. Prof Dr Mahar Mardjono salah satu contohnya. Wajahnya lembut. Bangun tubuhnya rata-rata orang Indonesia generasi lama. Tapi, jangan ditanya keteguhannya. Jangan diragukan integritasnya. Dan jangan diabaikan keberaniannya. Sewaktu menjadi Rektor Universitas Indonesia, 1973-1982, semua hal itu teruji. Dialah rektor yang menjadi saksi dua peristiwa penting di dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Keduanya adalah Malari (Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974) dan aksi mahasiswa memprotes NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) tahun 1978.
Selaku rektor tak jarang ia dipanggil penguasa, kebanyakan waktu itu oleh Kopkamtib di bawah panglimanya Sudomo. Di samping tekanan dari pemerintah, ada pula ancaman, rongrongan, surat kaleng, dan telepon gelap dari berbagai pihak. Bahkan ada yang menerobos masuk rumah dan menempel poster perlawanan mahasiswa.
Ia tidak gentar, sampai selesai masa jabatan rektor. Ternyata, di luar kampus, keteguhannya serupa. Sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 1982-1985, ia menghadapi masalah sulit. Sekitar 45 orang dokter dituduh terlibat perdagangan obat tak sah. Melayanglah peringatan keras kepada tiga orang dokter, seorang (Gunawan Simon) dicabut izin prakteknya. Wakilnya di dalam kepengurusan IDI waktu itu, Kartono Mohamad, mengatakan Mahar luwes dan punya sense of humor tinggi. Sebagai dokter ahli saraf, bahkan sewaktu memegang berbagai jabatan, ia memang suka bercanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak koleganya baik di IDI maupun di kampus mengagumi keberaniannya melawan arus. Mahar sendiri menganggap hal itu wajar karena dasar dan tujuan tindakannya jelas demi kebaikan, apalagi ia tidak pernah takut kehilangan jabatan.
Pria Jawa kelahiran Semarang 8 Januari 1923 dan besar di Pare, Jawa Timur ini, sejak kecil bercita-cita menjadi dokter seperti ayahnya, Mardjono Martosoedirdjo. Ia putra kedua dari empat bersaudara. Mahar belajar di Geneenskundige Hooge School, Jakarta, tapi terhenti karena Jepang keburu masuk. Ia kemudian masuk ke sekolah kedokteran, Ika Daigaku, dan ikut latihan militer Peta (Pembela Tanah Air). Ia berdinas militer sampai menjadi komandan pangkalan AL di Situbondo, Jawa Timur, sesudah ikut bergerilya di Wilayah Bekasi, Jawa Barat, dalam perang kemerdekaan.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1952) ini mendapat pendidikan neurologi di Universitas California, San Francisco, Amerika Serikat (1955), dan meraih gelar doktor di FKUI tahun 1963. Universitas Chulalongkorn Bangkok memberinya gelar doktor kehormatan pada dies natalis ke-60 universitas itu.
Pendiri Perkumpulan Ahli Neurologi, Psikiatri, dan Neurosurgery (1962) ini adalah guru besar neurologi FKUI (1958-1969), dekan FKUI (1969-1973) dan ketua Konsorsium Ilmu-ilmu Kesehatan (1985-1988) serta anggota World Federation of Neurolog. Ia anggota tim dokter ahli kepresidenan RI (1974-sekarang).
Menikah dengan Sri Djati Drajat tahun 1956, ia dari ayah tiga anak (Ari Indrayono, MA, Ir Ira Indrayati, MSc, dan Ir Adi lndrayanto, MSc), serta kakek dari tiga cucu yang lucu -lucu.
MENGAPA sekarang semakin sulit ditemukan rektor yang berani bertindak mengikuti hati nurani sendiri?
Saya tidak tahu. Saya merasa, selama menjadi rektor, memimpin dengan demokratis. Pemerintah juga tahu, saya selalu bicara blak-blakan. Suatu hari seorang teman, seorang jenderal, datang ke rumah membawa pesan dari Laksamana Sudomo agar saya tidak berbicara supaya mahasiswa tidak ribut. Saya bilang kepadanya, ”Bagaimana mungkin saya tidak boleh ngomong sebab sebentar lagi akan ada Dies Natalis. Saya harus berpidato.” Dia kemudian setuju dengan saya. Dalam pidato dies saya katakan, yang bikin masalah bukan mahasiswa, tapi ada kelompok kekuatan dari luar. Kelompok ini mempengaruhi mahasiswa. Timbul keributan, terjadi Malari.
Ketika Malari saya dipanggil Kopkamtib Sudomo. Ia tanya, ”Apa yang terjadi di kampus?” Saya justru balik bertanya, ”Saya yang seharusnya bertanya kepada Pak Domo tentang apa yang sebenarnya terjadi.” Ia tertawa saja. Saya bilang lagi, ”Saya ini hanya rektor, jangan you yang tanya saya.”
Tapi, sekarang, suasana kampus sudah lain, Kampus sangat ketat. Rektor dan mahasiswa tidak lagi independen, digunakan oleh kekuatan-kekuatan di luar kampus. Karena nggak matang, mereka dengan mudah digunakan kekuatan-kekuatan itu. Namun bila mereka mandiri dan kritis, mereka akan sulit diadu domba. Jadi yang terutama, bagaimana mendidik mahasiswa supaya mandiri, kritis, dan berkepribadian. Hal ini sekarang amat sulit dilakukan dengan pengawasan yang ketat terhadap mahasiswa dan kampus.
Apakah itu karena pemerintah tidak percaya pada kedewasaan mahasiswa?
Sampai sekarang, pemerintah masih menganggap mahasiswa sebagai trouble maker dalam politik. Saya tidak tahu apakah pengawasan ketat terhadap mahasiswa berpolitik menghasilkan perkelahian antarmahasiswa belakangan ini, seperti yang terjadi pada anak-anak SMA di Jakarta. Ini persoalan krusial. Kampus seakan-akan kehilangan daya tarik.
Anda dulu santer disebut-sebut akan menjadi menteri, namun kemudian tak pernah jadi-jadi. Apakah itu karena Anda dianggap terlalu berani?
Ha…ha…ha.. Untuk jadi menteri, harus ada king maker, tidak bisa begitu saja. Harus ada sponsor. Kebetulan saya tidak berminat jadi menteri.
Rumor tersebut ketika itu memang santer sekali, sebab hampir semua rektor UI jadi menteri. Hanya dua yang tidak jadi menteri. Yang bisa jadi rektor UI, harapannya memang jadi menteri. Namun saat saya diminta jadi rektor pun oleh Soemantri (Rektor UI 1964-1973, Red), tawaran itu dua-tiga kali saya tolak. Saya bilang kepada Soemantri, ”Saya ini seorang profesional, tidak punya keinginan memimpin universitas” Namun setelah dia mengancam akan mengambil orang dari luar UI, saya akhirnya bersedia. Semula Soemantri berjanji akan memberikan brifing. Soemantri sudah tahu permasalahan yang terjadi pada mahasiswa dan ada keinginan dari luar untuk mempengaruhi mahasiswa. Persaingan antara gajah-gajah di luar kampus. Namun belum sempat saya mendapat brifing, Soemantri keburu meninggal. Saya seperti dilemparkan ke dalam kamar gelap dan disuruh mencari sendiri. Saya akhirnya belajar dengan naluri. Tidak ada rasa was-was. Saya tangani semua masalah mahasiswa dengan intuisi. Yang penting, omongan saya harus benar, baik kepada pemerintah maupun kepada Departemen P dan K. Saya tidak peduli dibilang berani atau dalam istilah sekarang, vokal. Barangkali ada yang menilai saya salah, tapi niat saya adalah mengatakan apa yang benar menurut pendapat saya. Tapi rupanya waktu itu tidak saya sendiri yang bersikap begitu. Rektor-rektor lain pun begitu: ITB, UGM, IPB dan Universitas Airlangga. Kami tetap kritis. Prinsip kami sama. Bahkan bila ada pertemuan rektor, kami dad UI, ITB, UGM, IPB, dan Airlangga, mempengaruhi rektor-rektor lain. Saat berbicara dengan menteri atau Kopkamtib, kami berdebat, yang lain menonton dan mendengarkan.
Untunglah saya pejuang. Kopkamtib tahu betul bahwa saya bukan pengkhianat. Saya hanya ingin memperbaiki keadaan. Seorang rektor seharusnya tidak perlu takut. Namun kepada mahasiswa saya kadang-kadang keras. Pernah satu kali mahasiswa ngotot, mendatangkan seorang penceramah dari luar. Saya bilang, ”Jangan dulu. ” Mahasiswa itu bilang, ”Tidak apa-apa, Pak. Saya diskors juga tidak apa-apa.” Saya jawab dengan keras, ”Pokoknya, menurut saya, jangan dulu. Kalau dia datang ke sini, besok saya bukan rektor lagi. Saya akan mengundurkan diri. Bukan you yang saya pecat, tetapi saya akan memecat diri saya sendiri.” Keesokan harinya penceramah itu tidak jadi datang.
Saat ini banyak rektor yang gampang menskors atau memecat mahasiswa setiap menganggap melakukan pelanggaran di kampus. Bagaimana?
Itu terserah kepada rektornya. Rektor bisa dengan gampang menjatuhkan sanksi pada mahasiswa, .tapi sebenarnya bisa mempersulit dirinya sendiri untuk memecat mahasiswa. Kalau setiap melanggar dipecat, mahasiswa dengan sendirinya akan takut.
Membaca berita belakangan ini saya bertanya, kok orang bersekolah dipecat. Pada waktu saya dekan Fakultas Kedokteran, mahasiswa protes tentang pendidikan di FK dan saya minta mereka, mengadakan seminar tentang pendidikan kedokteran. Saya didik mereka supaya jangan asal gembar-gembor, tapi juga ikut mencari solusi.
Menjadi rektor memang pekerjaan sukar. Pilihannya, mau menjadi pendidik, atau perpanjangan penguasa.
SEBAGAI anggota tim dokter kepresidenan, selagi masih rektor UI, apakah Anda sering diajak among-omong oleh Presiden Soeharto tentang kemahasiswaan?
Saya tidak pernah bicara tentang kampus dengan Pak Harto selama bertugas untuk kesehatan beliau di Jalan Cendana. Setelah selesai jadi rektor, saya bertemu Presiden di Bina Graha untuk melaporkan jabatan saya sudah selesai. Saya katakan kepada beliau, ”Walau saya dekat dengan Pak Harto, saya tidak pernah membicarakan masalah kemahasiswaan di luar tugas kedinasan. Karena itu, setelah selesai bertugas sebagai rektor, saya ingin meiaporkannya.”
Saya lapor ini dan itu, saya usulkan siapa yang menjadi rektor. Pak Harto tanya pada saya, entah basa-basi atau tidak, ”Apakah Pak Mahar tidak bisa jadi rektor lagi?” Saya jawab, ”Tidak bisa, Pak. Aturannya, dua kali masa jabatan.”
Jadi, saya tidak pernah bicara tentang mahasiswa secara pribadi dengan Pak Harto. Banyak orang yang mangatakan, ”Gampang saja bagi Mahar. Dia bisa langsun ke Pak Harto ” Namun menurut saya menggunakan kesempatan karena dekat tidak boleh dilakukan siapa saja. Di Cendana kami bisa berbicara macam-macam. Tentu tentang kesehatan. Kadang-kadang kami tim dokter kepresidenan diajak Pak Harto menonton video di kediamannya. Saya segan ompog-omong soal dinas dalam kesempatan seperti itu. Bila bicara soal dinas, ya di Bina Graha.
Saya pernah mengajak mahasiswa berdialog langsung dengan Pak Harto. Yang hadir pada waktu itu, Pak Harto sendiri dan ajudannya. Dengan cara itu, aspirasi mahasiswa dapat disalurkan. Mahasiswa makin pintar dan tahu bagaimana seharusnya berdialog. Jangan ditolak terus-menerus. Itulah sulitnya mendidik mahasiswa, mendidik orang yang sudah dewasa dengan kepribadian yang sudah terbentuk.
Adakah saat ini rektor yang sanggup berbicara setara dengan penguasa sehingga dapat mengajak mahasiswanya menghadapi pejabat-pejabat untuk berdialog tentang situasi sosial?
Sekarang memang nggak ada bargaining lagi meski otonomi sudah disetujui. Pada masa saya dulu, otonomi tidak disetujui. Otonomi artinya mengatur diri sendiri, memilih dekan sendiri, mengundang orang dari luar kampus tidak perlu izin pemerintah. Saya minta itu dulu, tapi pemerintah menolak. Pemerintah malah bilang, Mahar maunya lepas saja dari pemerintah. Justru tidak, justru saya ingin membantu pemerintah. Jangan urusan tetek-bengek harus menunggu izin dari pemerintah.
Sekarang otonomi sudah disetujui, namun masih ditafsirkan sebatas keuangan saja, bagaimana kampus mendapatkan uang. Pemerintah saat ini masih tidak enak kalau rektor bilang B, setiap kali pemerintah bilang A. Padahal tidak ada aturan yang melarang rektor bicara bebas. Rektor juga tidak dilarang mengajak mahasiswa ke DPR atau ke pejabat lain.
Sekarang ada aspirasi untuk membentuk lembaga di luar senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT), sementara Dewan Mahasiswa (Dema) UI dibubarkan ketika Anda menjadi rektor. Bagaimana sikap Anda pada waktu itu terhadap keberadaan dema?
Ketika dema dibubarkan, saya bersama rektor ITB, UGM, IPB, dan Universitas Airlangga, mengajukan petisi kepada Presiden agar dema jangan dibubarkan. Ketika petisi itu kami sampaikan, Menteri P dan K Sjarif Thajeb marah-marah. Kami menganggap dema ada positifnya. Jadi, tidak benar bila menyebutkan saya tidak setuju dengan keberadaan dema.
Apakah pembubaran dema membantu tugas rektor?
Memang. Pembubaran dema sangat membantu para rektor. Mereka tidak perlu susah-susah lagi, tidak lagi menghadapi masalah, sebab mahasiswa tidak mampu lagi mengadakan protes seperti dulu. Yang saya khawatirkan, dengan pembubaran dema kegiatan untuk melatih kepekaan sosial jadi berkurang.
SMPT sebetulnya bisa saja membuat kegiatan seperti dema dulu. Persoalannya, pengawasan dari rektor saya dengar sangat ketat terhadap organisasi mahasiswa. Memang ada beberapa rektor memberikan kelonggaran. Jadi, sangat bergantung pada siapa rektornya.
Saya menganjurkan pembentukan senat atau dewan mahasiswa dibarengi dengan aturan main jelas yang disepakati bersama. Senat atau dewan hanya sebuah alat. Yang penting harus ada independensi dan kemandirian lembaga kemahasiswaan. Ada rules of conduct yang disetujui seluruh civitas academica.
Bila ada pelanggaran, tinggal baca saja aturannya. Jadi selain ada kebebasan, harus ada pula kewajiban. Tentu etisnya, kalau mengadakan aksi-aksi yang membawa nama kampus, mahasiswa harus kasih tahu rektor.
APAKAH mahasiswa sekarang masih perlu mempunyai kepekaan sosial?
Kepekaan sosial merupakan hal positif bagi mahasiswa. Dalam pidato salah satu Dies Natalis UI, saya tekankan mahasiswa tidak hanya dituntut menjadi profesional dan intelektual, tapi juga kepekaannya pada persoalan sosial. Seorang insinyur tidak cuma bisa membangun waduk lantas menggusur, membanjiri, dan menyengsarakan penduduk. Itu salah. Kepekaan sosial harus dinomorsatukan dalam membentuk mahasjswa. Sekarang ini kepekaan atau keterlibatan sosial mahasiswa dianggap hanya mengganggu kelancaran kegiatan belajar mereka. Karena itu mahasiswa dinasihati supaya tidak usah berpolitik atau mengasah kepekaan sosial, demi prestasi akademik semata. Cara seperti itu hanya akan menghasilkan intelektual dan profesional saja, tanpa kepekaan sosial. Soalnya adalah, apakah kita mau menjadikan sarjana yang berpengetahuan atau berketerampilan saja, ataukah sarjana yang punya komitmen ikut membangun masyarakatnya.
Dulu, hal itu dilakukan misalnya dengan mengadakan studium generale. Kami mengundang tokoh-tokoh di luar kampus, baik dari pemerintah maupun yang tidak disetujui pemerintah. Mahasiswa berdialog dengan mereka. Kemudian bila ada masalah di luar, ada kekurangan gizi, misalnya, mahasiswa mengadakan penelitian. Lantas hasilnya disampaikan kepada DPR atau pemerintah tanpa harus ribut turun ke jalan.
Apakah aparat keamanan bisa dibenarkan masuk kampus?
Tidak boleh. Kampus itu punya otonomi sendiri. Universitas sudah dewasa, bisa mengatur sendiri. Jadi, bila ada aturan aparat keamanan tidak boleh masuk kampus, tentara harus taat. Bila mereka bisa masuk kampus begitu saja, kampus bisa kacau. Yang harus bertindak pertama-tama adalah dekan atau rektor. Bisa saja polisi bertanya kepada dekan atau rektor, tetapi tidak lantas ada kejadian, langsung membubarkannya dan mahasiswa ditangkapi. Persoalan besar kita, persepsi tentang masalah ini masih berIain-lainan.
Apa kerisauan Anda saat ini?
Yang paling saya risaukan, tiadanya kebebasan bertanya. Mahasiswa saat ini sangat jarang bertanya kepada dosen. Kebebasan bertanya itu awal dari kepekaan sosial. Ini memang tidak hanya menyangkut pendidikan di perguruan tinggi, tetapi sejak di keluarga atau SD. Pada saat SMP dan SMA mereka sudah dilatih untuk berani bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu dan pada saat mahasiswa mereka bisa kritis. Nalarnya dipakai.
Sekarang ini sejak SD pun orang sudah dirusak sistem pendidikan. Saya pernah bertanya pada cucu saya, ” You bertanya tidak sama gurumu?” Jawabnya: tidak. Ia cuma mendengar. Guru omong ini dan itu, lantas ulangan. Padahal anak sebenarnya selalu ingin bertanya. Pada saat mahasiswa, tanpa adanya kebebasan pada mahasiswa, murid produk seperti ini hanya cari selamat. Jadi dosen pun mereka akan begitu. Lalu kita harus mulai dari mana?
Bagaimana cara Anda menjaga integritas?
Itu hasil pendidikan di rumah dan di sekolah sejak pendidikan dasar. Bila sudah dididik untuk memiliki integitas, no problem. Kehidupan saya ditunjang dengan buka praktek. Tapi, bila saya praktek pagi hari, berarti saya korupsi waktu mengajar di FKUI. Jadi batasannya sudah kabur.
Biasanya dokter yang dosen berpikir, karena gaji cuma sekian, daripada mencuri, ya praktek. Pada prinsipnya, perbuatan semacam itu korupsi juga. Polisi minta duit karena tidak bisa hidup.
Namun bila sudah jadi pejabat tinggi, korupsi bermilyar-milyar, ya itu harus ditindak. Bila saya sendiri tidak ikut, tidak berarti saya tidak memikirkan masalah itu.
Bagaimana cara Anda mendidik anak supaya memiliki integritas?
Anak-anak melihat saya sebagai contoh sejak mereka kecil. Saya tidak usah khotbah kepada anak-anak saya tentang demokrasi karena mereka mengaIami demokrasi di rumah. Mereka bebas berbicara, bahkan memaki-maki saya asalkan ada landasannya.
Sampai sekarang mereka sering cerita, teman-temannya yang anak-anak pejabat dapat proyek ini dan itu, tapi mereka mengatakan tidak tergoda mengandalkan surat-surat sakti.
Saya hanya bisa mendidik anak-anak saya supaya tidak begitu. Banyak orang mau jadi pegawai negeri karena bisa korupsi atau paling tidak, ada macam-macamnya. Ketika saya menjadi Manggala P4, saya tanya seorang dirjen, ”Berapa gaji Saudara?” Ia jawab, ”Gaji saya memang sedikit, tapi dari macam-macam bisa mendapat berjuta-juta. Ada uang rapat, insentif, uang jalan, dan sebagainya.”
Untuk bisa hidup, dosen sekarang harus mengajar di mana-mana. Saya sudah tua, mendapat uang dari praktek. Untung saja anak-anak saya sudah besar semua. Saat ini saya tinggal dengan istri saja. Satu juta rupiah sudah cukup. Tidak usah ngoyo.***
Pewawancara: Bambang Wisudo, Salomo Simanungkalit, Efix Mulyadi
Sumber: Kompas, 15 Desember 1996