Setelah bersidang selama 11 hari, Jumat (10/5/2019) waktu setempat, dunia menyepakati untuk mengontrol perdagangan sampah plastik. Keputusan dalam sidang marathon terkait Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam, dan Konvensi Stockholm tersebut diapresiasi dan disambut baik sejumlah pihak, terutama para pegiat lingkungan.
“Kami sangat percaya diri bahwa kita akan menghasilkan keputusan hari ini,” kata Charlie Avis, juru bicara Sekretariat UNEP untuk Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm seperti dikutip Reuters, 10 Mei 2019.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Pemulung mengumpulkan sampah plastik di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (7/5/2019). Keberadaan mereka membantu proses pemilahan berton-ton sampah yang dibuang ke tempat itu setiap hari dalam kondisi tercampur. Sampah plastik yang telah terkumpul selanjutnya dijual ke pengepul untuk diolah menjadi bahan baku berbagai barang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sidang yang diikuti 1.400 perwakilan 187 negara di seluruh dunia tersebut bersidang di Jenewa, Swiss. Sidang ini disebut sebagai pertemuan pembahasan isu tekanan lingkungan terberat di dunia.
Pertemuan itu akhirnya mengamandemen Konvensi Basel 1989 yang mengontrol limbah berbahaya termasuk plastik dalam kerangka kerja yang mengikat para peserta dalam ikatan hukum (legally binding).
“Saya bangga pada pekan ini di Geneva, para peserta Konvensi Basel mencapai kesepakatan untuk terikat hukum/wajib dalam mekanisme global untuk mengelola limbah plastik,” kata Rolph Payet, Sekretaris Eksekutif Sekretariat Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI–Petugas di Bank Sampah Induk Mapalus Kota Tomohon, Sulawesi Utara, melintas di antara tumpukan sampah plastik. Mayoritas sampah plastik di bank sampah tersebut berasal dari Manado, Sulawesi Utara.
Menanggapi hal ini, Pendiri Yayasan Ecoton Prigi Arisandi berharap amandemen Konvensi Basel ini dapat mengurangi pencemaran di lautan. Pihaknya akan terus melanjutkan pemantauan perdagangan sampah plastik serta mendorong pemerintah untuk mengelola dan mengontrolsampah plastik yang diimpor.
“Kami mengimbau negara-negara pengekspor sampah plastik untuk mentaati kewajiban mereka untuk mengelola sampah di negeri sendiri dan tidak membuangnya di negara-negara belahan Selatan. Pemerintah Indonesia juga hendaknya memperketat pengaturan dan Bea Cukai memperkuat kontrol masuknya sampah plastik,” katanya.
Senada dengannya, Yuyun Ismawati, Co-founder BaliFokus/Nexus3 Foundation menyatakan amandemen ini akan memaksa semua negara untuk menetapkan standar yang lebih tinggi untuk pengelolaan sampah plastik dengan baik. Pembuangan plastik yang mengandung bahan berbahaya beracun oleh masyarakat kaya di negara lain tidak akan lagi mencemari dan membebani masyarakat miskin di negara lain.
Hingga pagi, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum dapat dikonfirmasi terkait putusan dunia ini. Namun beberapa waktu lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pun mendorong agar impor plastik untuk bahan materi daur ulang, diperketat.
Revisi aturan
Selama ini, celah “dan lain-lain” dalam HS Code impor – membuat material bahan baku tersebut lolos bercampur dengan sampah. Ini membutuhkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan yang sedang dibahas bersama KLHK dan Kementerian Perindustrian.
Konvensi Basel merupakan perjanjian internasional yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain, terutama dari negara maju ke negara berkembang. Amandemen dalam Perjanjian Basel akan meminta eksportir untuk mendapat persetujuan dari negara penerima sebelum limbah yang tercemar, bercampur atau sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang, dikirimkan ke negara tujuan.
Notifikasi awal sebelum ekspor ini menjadikan amendemen ini sebagai perangkat yang penting bagi negara-negara di belahan Selahan untuk menghentikan pembuangan sampah plastik yang tidak diinginkan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang.
Setelah China melarang importasi hampir semua jenis plastik pada tahun 2018, negara-negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara, menerima kiriman sampah plastik yang tercemar dan campuran limbah plastik berlimpah yang sulit atau bahkan tidak memungkinkan untuk didaur ulang.
Proposal Norwegia dalam bentuk amandemen Konvensi Basel membantu negara-negara berkembang agar memakai hak mereka untuk menolak menerima sampah plastik yang tak diinginkan dan tidak dikelola di negara lain. Halaman 1 Keputusan itu mencerminkan pengakuan atas situasi sampah plastik dan dampak perdagangan plastik di seluruh dunia.
Banyak negara-negara yang menyatakan dukungan mereka terhadap proposal Norwegia ini dan lebih dari satu juta tandatangan dari seluruh dunia mendukung dua petisi publik lewat platform Avaaz dan SumOfUs.
Meski dukungan melimpah, ada beberapa negara yang menentang masuknya sampah plastik ke dalam Annex II Konvensi Basel. Negara-negara ini antara lain adalah Amerika Serikat (AS), negara pengekspor sampah plastik terbesar di dunia serta Konsil Kimia Amerika (American Chemistry Council) dan Lembaga Industri Daurulang Skrap (Institute of Scrap Recycling Industries/asosiasi pebisnis perantara (broker) limbah).
Namun, mengingat AS bukan negara pihak dari Konvensi Basel (tidak meratifikasi Basel), maka konsekuensinya Amerika Serikat tidak akan diizinkan untuk melakukan perdagangan sampah plastik dengan negara-negara berkembang. Adapun negara berkembang yang dimaksud adalah negara pihak dari Konvensi Basel tetapi bukan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Mei 2019