Kebakaran hutan dan lahan di area gambut terus terjadi di wilayah Kalimantan Tengah. Di tengah keterbatasan, sebagian warga pun bergerak untuk menanggulangi persoalan itu dengan beragam cara, termasuk menanam pisang.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Api masih membara dan menghanguskan lahan gambut di Desa Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Selasa (12/11/2019). Sekitar 5 hektar lahan di desa itu terbakar dan hanya warga yang mencoba memadamkannya dengan peralatan seadanya.
Warga Kalimantan Tengah sudah jera dengan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun. Tidak hanya kerugian materi akibat lahan terbakar, tetapi kesehatan juga terancam. Warga daerah itu pun mencoba menangkal kebakaran. Salah satunya dengan menanam pisang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Musim buah sudah hampir lewat. Nursinah (43), warga Mahir-Mahar, Kota Palangkaraya, hanya bisa membayangkan nikmat nanas yang biasa ia jual atau dirujak saat ini. Kebun nanas yang biasa menjadi sumber penghasilannya dilahap api pada September 2019.
Kebun itu tidak luas, hanya 50 meter x 70 meter, tetapi mampu menampung sekitar 1.000 nanas. Sebelum Juli, Nursinah dan suaminya membuat balur atau meninggikan tanah sehingga membentuk petak tanam. Setelah itu, baru ia mulai menanam bibit nanas.
Untuk bibit saja ia harus mengeluarkan Rp 750.000 per 1.000 bibit. Belum termasuk pupuk dan semprotan pestisida lainnya. ”Baru juga selesai tanam, eh terbakar, ya percuma jadinya kerja seminggu itu,” tuturnya lirih.
Petaka api datang menghampiri lahan nanasnya pada September 2019. Ia pun tak paham dari mana asal api itu. Ibu empat anak itu kini tak bisa lagi menikmati manis buah nanas dan keuntungannya. Ia dan suami akhirnya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Begitu juga yang dirasakan Nasrullah, Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) di Desa Tanjung Taruna, Kabupaten Pulang Pisau. Pada 2019, ia sempat kebingungan karena api sudah membara di sekitar kampungnya, sementara anaknya jatuh sakit karena sesak napas.
Kabut asap menyelimuti desanya. Bertubi-tubi masalah datang. Ia harus mengirim anaknya ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, karena menganggap di sana jauh lebih aman dibandingkan dengan kondisi di Kalteng.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Seorang pengendara motor melewati jalur Trans-Kalimantan menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dari arah Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, di tengah kepungan asap akibat kebakaran lahan di Kelurahan Kalampangan, Kota Palangkaraya, Rabu (6/11/2019).
Penghasilan minim
Di satu sisi, banyak sumur bor ikut terbakar sehingga penanganan kebakaran tak kunjung selesai. ”Anak saya berobat ke Kalsel karena di sana ada keluarga. Saya sempat bingung mau bayar pakai apa. Saya selama kebakaran mengurus pemadaman api, itu kerja hampir tidak ada uangnya, malah kami patungan beli bensin,” ujarnya.
Untuk menangani kebakaran hutan dan lahan, ia dan 15 kelompok MPA dibantu aparat keamanan mulai dari polisi hingga TNI. Namun, koordinasi yang belum jelas terkait upah mereka menjadi masalah tersendiri. Meski ada peralatan, mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli bensin agar alat bisa beroperasi.
”Suatu hari kami pernah meminjam bensin dari warung-warung sekitar, sampai mereka bosan dan tidak mau memberikan bensin karena kami menunggak terus bayarnya,” kata Nasrullah.
Sumur bor dan sekat kanal merupakan infrastruktur penunjang kegiatan pembasahan dari Badan Restorasi Gambut (BRG). Kemudian, BRG membentuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) yang juga membuat program yang sama.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Petugas berusaha memadamkan kebakaran hutan.
Di Kalteng, TRGD mengklaim telah selesai membangun 3.225 sumur bor, 1.250 sekat kanal, dan 62 paket revitalisasi ekonomi dalam waktu kurang dari satu tahun. Total anggaran Rp 84 miliar yang berasal dari APBN. Adapun BRG membangun 8.875 sumur bor pada 2017-2018. Sekat kanal yang sudah dibangun mencapai 2.534 unit pada 2017-2018. Sementara paket revitalisasi ekonomi yang sudah diberikan kepada warga berjumlah 92 paket.
Jadi, total terdapat 12.100 sumur bor, 2.784 sekat kanal, dan 154 paket revitalisasi ekonomi di Kalimantan Tengah pada 2017-2018. Jumlah itu belum termasuk yang dibangun pada 2019.
Meski demikian, kebakaran hutan dan lahan belum teratasi. Di lapangan, MPA yang menjadi ujung tombak di desa dan kelurahan memiliki kekurangan. Selain tidak digaji, pada 2017-2019 sumur bor yang sebenarnya untuk pembasahan justru lebih banyak digunakan untuk pemadaman. ”Saat sebelum kemarau, kami tidak melakukan pembasahan, tunggu ada api saja,” ucap Nasrullah.
Tanam pisang
Sebagian warga tak ingin tinggal diam dan mencari cara untuk mengatasi kebakaran lahan, seperti yang dilakukan Hariwung, Kepala Desa Sebangau Mulya, Kabupaten Pulang Pisau. Ia menggelontorkan dana hingga Rp 150 juta untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Selain membuat demplot pengelolaan lahan gambut tanpa bakar, ia saat ini gencar menanam pisang di wilayah desa. Hal itu dilakukan karena salah satu warga membuat pagar dengan menanam pisang di lahannya. Pada saat kebakaran tahun 2019, lahan yang ditanami pisang itu tidak terbakar.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Petugas berupaya memadamkan api di lahan gambut yang terbakar di Desa Tanjung Taruna, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Rabu (31/7/2019). Upaya memadamkan kebakaran lahan gambut sangat sulit dilakukan karena api tidak terlihat sebab berada 1-2 meter dari permukaan.
”Akhirnya kami coba, tidak cuma sebagai pagar, tetapi juga menjadi penghasilan baru untuk masyarakat, dan itu efektif,” kata Hariwung. Dalam kurun waktu lebih dari empat tahun, Hariwung sudah menerapkan dan membuat aturan larangan membakar.
Sayangnya, desa-desa tetangga belum menerapkan hal yang sama sehingga kawasan yang dijaga dan diolah tanpa membakar ikut kena getahnya. ”Percuma kalau yang komitmen itu hanya satu desa, desa tetangga masih membakar,” kata Hariwung.
Oleh DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 1 April 2020