Kipas angin meja dengan merek National berwarna hijau tentu masih melekat dalam memori orang Indonesia di usia 30-60 tahun. Penyejuk udara yang mulai diproduksi tahun 1975 ini bisa jadi masih tersimpan di dalam rumah hingga kini.
Kipas angin meja dengan merek National berwarna hijau tentu masih melekat dalam memori orang Indonesia di usia 30-60 tahun. Penyejuk udara yang mulai diproduksi tahun 1975 ini bisa jadi masih tersimpan di dalam rumah hingga kini.
Barang tua yang kini masih diproduksi dengan desain dan teknologi baru tentunya tampak di deretan barang- barang yang ditampilkan dalam Museum Panasonic di kota Kadoma, Osaka, Jepang. Meski baru diresmikan pada 7 Maret 2018 dan dibuka gratis untuk umum mulai 9 Maret, Panasonic Jepang membawa sejumlah wartawan untuk menikmatinya lebih dulu pada 3 Maret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peresmian tanggal 7 Maret tersebut sekaligus memperingati tepat 100 tahun sang pendiri Konosuke Matsushita mendirikan Matsushita Electric Housewares Manufacturing Works. Perusahaan ini yang menjadi cikal bakal terbentuknya perusahaan global, Panasonic Corporation.
Perjalanan 100 tahun perusahaan dan kehidupan pendirinya yang meninggal pada 1989 di usia 94 tahun itu diceritakan lengkap. ”Saya pun baru kali ini melihat ke Museum Panasonic,” kata Keiichiru Yoshida dari Panasonic Corporation saat mendampingi Kompas melihat-lihat bagian dalam ruangan tersebut. Padahal, ia tinggal di Osaka, sekitar sejam perjalanan menuju Kadoma, lokasi museum.
Museum Panasonic ini dibagi dalam dua bangunan dengan pohon sakura di bagian halamannya. Di dekat museum ini ada pula rumah tempat tinggal Matsushita ketika sedang berada di Kadoma. Rumah asri dengan taman yang ditumbuhi 190 tanaman sakura (Sakura Hiroba) ini di masa mendatang rencananya juga akan dibuka untuk umum.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Panasonic Corporation membuka sarana edukasi berupa Museum Panasonic yang terbuka untuk umum mulai 9 Maret 2018. Museum ini berisi perjalanan kehidupan sang pendiri perusahaan, Konosuke Matsushita, hingga produk-produknya.
Pada bangunan pertama museum menyajikan cerita kehidupan Konosuke Matsushita sejak meniti karier di usia remaja hingga menjadikan Panasonic sebagai perusahaan raksasa. Di bagian halaman bangunan pertama ini, diletakkan patung Matsushita untuk menyambut para tamu.
Di bagian awal, setelah melewati meja resepsionis, belok ke kiri sederetan foto hitam putih dipajang di tembok berpanel coklat. Foto tertua Matsushita yang bisa ditemukan yaitu sekitar tahun 1905-1910 ketika menginjak usia 11 tahun dengan berpose formal dengan Nyonya Godai, istri pemilik toko sepeda. Saat itu, pria kelahiran 27 November 1894 di Prefektur Wakayama itu bekerja pada toko tersebut.
Matsushita remaja kemudian bergabung dengan Osaka Electric Light Company sambil mengikuti sekolah malam pada Kansai Commercial and Industrial School. Berbekal pengetahuannya ini, ia pada tahun 1917 berhenti bekerja pada perusahaan itu dan mulai memproduksi dan menjual soket (dudukan) lampu melalui Matsushita Electric Housewares Manufacturing Works di Ohiraki-cho, Osaka.
Berbagai jenis soket—terutama andalan produknya saat itu berupa soket bercabang—juga ditampilkan. Sebuah ruangan replika bengkel kerja pembuatan soket yang digunakan sejak tahun 1918 juga ditampilkan di sudut ruangan.
Empat tahun membangun pabrik, pada 1923, ia mulai mengembangkan dan memasarkan lampu sepeda berbentuk lonjong. Baru pada 1927, ia memasarkan lampu sepeda kotak dengan merek National. Produk pertama yang menggunakan merek National dan familiar dengan orang Indonesia.
Singkatnya, mulai dari lampu sepeda ini kini Panasonic menghasilkan berbagai peralatan rumah tangga, instalasi saluran udara pada pabrik, alat kecantikan, otomotif, kamera, hingga kontraktor bangunan. Di Indonesia, dalam urusan penyejuk ruangan (air conditioner/AC) mengklaim memuncaki peringkat pertama dengan penguasaan 24 persen.
Capaian Panasonic Corporation (holding) yang pada laporan tahun 2017 membukukan penjualan 7,34 triliun yen itu tentu tak dicapai dengan mudah. Krisis ekonomi Jepang ketika terlibat dalam Perang Dunia II turut mendera Panasonic.
Satu kunci awal yang membuat perusahaan itu tetap bertahan karena berorientasi pada manusia sejak awal berbisnis, termasuk perhatian kepada pekerjanya. ”Perusahaan yang memiliki orang-orang baik akan berkembang. Apabila tidak ada orang baik, (perusahaan) akan hancur,” kata Matsushita.
Untuk memastikan Matsushita memiliki orang-orang baik dalam jajarannya, sejak 1932 atau 1933, perusahaan memulai tradisi perkumpulan pagi dan sore setiap hari. Dalam kesempatan berkumpul tersebut, pemimpin mengingatkan dan menanamkan kembali nilai-nilai dan prinsip perusahaan, mengevaluasi pekerjaan hari itu, hingga saling berbagi atas momen-momen harian.
”Ini juga masih dilakukan di Panasonic Indonesia. Bayangkan setiap hari dilakukan sejak tahun 1933,” kata Amanda Utari, anggota staf komunikasi Panasonic Indonesia yang ikut dalam tur. Sekadar informasi, Panasonic Indonesia atau Panasonic Gobel Indonesia merupakan patungan antara perusahaan Panasonic dan Gobel, sebuah kerja sama panjang yang dimulai sejak 1960.
Pada bagian kedua museum barulah terdapat berbagai produk Panasonic. Selain kipas angin yang telah tertanam dalam mindset orang Indonesia akan merek National, tentu saja barang-barang lain dengan merek National yang berganti nama menjadi Panasonic juga ditampilkan. Televisi hitam putih, baterai, mesin cuci, radio, pemutar video, mesin cuci, setrika, hingga produk pionir, yaitu lampu sepeda, juga ditampilkan.
Produk-produk lama yang berjumlah sekitar 300 buah ditampilkan dalam ruangan kaca tersendiri. Meski diperkenankan masuk dalam ruangan itu, wartawan tak diperkenankan mengambil gambar di dalamnya.
”Saat dibuka untuk umum nanti ruangan ini tak boleh dimasuki. Pengunjung hanya melihat dari luar. Ini wartawan eksklusif bisa masuk. Foto-foto hanya untuk dokumen pribadi. Jangan dipublikasikan di media ataupun ditampilkan di media sosial,” kata Satoshi Ishida, Associate Director Panasonic Museum.
Setelah itu, museum menampilkan galeri produk masterpiece sejumlah 150 barang elektronik dalam enam kluster. Pada kluster yang berisi produk televisi, pengelola museum menampilkan iklan-iklan televisi zaman dulu bagi pemasaran produk itu.
Di sisi lain, terdapat hiburan visual yang disorot dengan lima proyektor besar pada layar sepanjang 16 meter yang menampilkan sedikitnya 2.000 produk Panasonic. Di depan layar terdapat tonggak bersensor. Jika bagian atas tonggak itu ditiup dan mengenai produk yang sedang melintas, layar akan menampilkan detail produk.
Pada versi berikutnya, tiupan pada tonggak akan membuat produk itu bertebaran dan berpindah tempat. ”Jangankan anak kecil, orang dewasa akan suka bermain-main sambil mengenal produk kami,” kata Ishida.
Sebuah perjalanan transformasi produk yang tak berhenti dan terus beradaptasi dengan kecanggihan teknologi. Namun, dasar dari semua ini adalah nilai-nilai yang ditanamkan bagi karyawan Panasonic yang setiap hari disampaikan perusahaan. Dan perusahaan global ini membuat museum sebagai pengingat akan nilai-nilai di tengah perubahan zaman.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 Mei 2018