Kesenjangan Talenta Digital Kita

- Editor

Senin, 12 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

”Karyawan Menjadi Kunci”, begitulah judul berita utama Kompas, Kamis, 25 Oktober 2018.

Isu sumber daya manusia (SDM) sebetulnya juga menjadi salah satu pokok bahasan dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, beberapa waktu lalu. Salah satu yang menyita perhatian publik adalah kehadiran pendiri Alibaba Group, Jack Ma, yang membagikan kisah hidupnya.

Ia mengungkapkan bahwa kerja keras, percaya pada visi dan masa depan, serta hari demi hari meningkatkan kapasitas diri, jadi resep kesuksesan dirinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Peningkatan kapasitas diri kaum pekerja tampaknya memang menjadi poin penentu, terlebih di era ekonomi digital ini.

Kebutuhan talenta digital
Pertumbuhan dan pembangunan Indonesia memang akan semakin signifikan disumbang oleh ekonomi digital. Di level regional, ekonomi digital ASEAN diproyeksikan tumbuh 500 persen dan berpotensi menembus 200 miliar dollar AS sampai 2020. Di saat bersamaan, pembeli daring akan memiliki porsi 51 persen dari total pengguna internet ASEAN sampai 2025 (Google, 2015).

Ekosistem ekonomi digital seperti infrastruktur, teknologi, pasar, pelaku usaha, kebijakan, iklim investasi, dan SDM menjadi mesin penggerak berbagai peluang di atas. Dari sederet komponen ekosistem itu, keterbatasan kapasitas SDM memang masih menjadi pekerjaan rumah yang serius di Indonesia. Tulisan ini menggunakan istilah talenta digital untuk mewakili SDM bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memiliki kecakapan pada level teknisi, profesional, fasilitator, atau pemimpin digital.

Bank Dunia, yang merujuk pada penelitian Tan dan Tang (2016), memproyeksikan bahwa Indonesia akan kekurangan 9 juta pekerja semi-terampil dan terampil di bidang TIK sepanjang 2015-2030. Bahkan, berdasarkan prediksi Oxford Economics dan Cisco di tahun 2017, sekitar 9,5 juta tenaga kerja Indonesia diperkirakan akan terdampak langsung oleh teknologi berbasis kecerdasan buatan sampai tahun 2028. Imbasnya, 2 juta posisi dalam pekerjaan akan hilang dan memaksa para pekerja berganti profesi atau industri.

Laporan lain mengungkapkan bahwa petinggi perusahaan teknologi menyatakan ketidakpuasannya pada kualitas tenaga terampil lokal Indonesia (McKinsey, 2018). Indonesia masih ketinggalan dari China dan India, baik dari segi jumlah maupun kapasitas teknisinya.

Indonesia tidak bisa menunggu lagi untuk memenuhi kebutuhan talenta digital demi terciptanya ekosistem ekonomi digital yang subur. Jika merujuk pada asumsi dan data di atas, 600.000 talenta digital harus tercetak setiap tahun. Ini kebutuhan riil Indonesia. Pertanyaan penting selanjutnya: kompetensi dan profil seperti apa yang harus dimiliki para talenta tersebut?

Forum Ekonomi Dunia (WEF) mencatat, ada beberapa bidang pekerjaan yang memiliki pertumbuhan permintaan paling signifikan, seperti analis dan ilmuwan data, pakar kecerdasan buatan dan machine learning, manajer umum dan operasional, pengembang perangkat lunak dan aplikasi, pakar big data, pakar transformasi digital, pakar teknologi baru, pakar pengembangan organisasi, dan jasa teknologi informasi.

Pada saat bersamaan, terdapat bidang pekerjaan yang menurun permintaannya, seperti petugas entri data, sekretaris administrasi, serta pekerja pabrik dan perakitan.

Terkait dengan hal ini, haruskah kita takut era disrupsi dan otomasi akan merampas pekerjaan manusia? Frank, Pring, dan Roehrig (2017) mencatat, dalam skala besar, mesin-mesin itu justru membuat pekerjaan jadi lebih baik, produktif, dan berdaya guna.

Mesin dan teknologi baru akan menaikkan standar hidup serta berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat. Pekerjaan dengan standar gaji rendah akan semakin berkurang, sedangkan pekerjaan dengan standar gaji tinggi akan semakin meningkat. Namun, hal ini hanya akan terjadi jika transformasi ini dikelola secara tepat.

Catatan lain yang sangat penting adalah pengelolaan transformasi ini tidak hanya soal penyediaan kecakapan teknis. Kemampuan pemecahan masalah kompleks, berpikir kritis, kreativitas, manajemen SDM, kemampuan untuk berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, pengambilan kebijakan, orientasi pelayanan, negosiasi, dan fleksibilitas kognitif adalah sederet kecakapan yang paling dibutuhkan di 2020 (WEF, 2018).

Artinya, talenta digital yang memadukan antara kecakapan teknis yang mumpuni dan kepribadian yang matang akan jadi profil tenaga kerja paling diburu di masa mendatang.

Aksi mendesak
Dalam jangka pendek, ada beberapa hal strategis yang harus dilakukan. Pertama, perlu pemetaan secara komprehensif tentang kesenjangan yang ada saat ini. Peta kesenjangan yang dimaksud adalah peta riil yang memuat data permintaan dan ketersediaan talenta digital di semua sub-sektor industri yang ada.

Kedua, perlu upaya serius untuk mendorong sinergi triple helix antara pemerintah, industri (termasuk perusahaan teknologi), dan universitas/lembaga pendidikan untuk menjembatani permintaan dan ketersediaan tenaga kerja terampil dengan merujuk pada peta kesenjangan yang telah dibuat.

Ketiga, perlunya sosialisasi yang masif dan kolaboratif untuk membangun kesadaran pihak-pihak terkait akan urgensi talenta digital. Terkadang seorang pengambil kebijakan tak mau memutuskan sesuatu karena ia tidak memahami isu yang akan ia putuskan.

Bulan September lalu, Kementerian Kominfo telah meluncurkan program Digital Talent Scholarship, program beasiswa pelatihan intensif selama dua bulan, dengan tema kecerdasan buatan, big data analytics, komputasi awan, keamanan siber, dan kewirausahaan digital.

Tahun ini beasiswa diberikan kepada 1.000 orang, dan tahun depan akan dikembangkan untuk 20.000 peserta dengan menggandeng universitas, industri, perusahaan rintisan lokal, dan perusahaan teknologi global. Program ini belum cukup untuk menutup kesenjangan yang begitu lebar.

Namun, rasanya inisiatif ini dapat jadi pintu masuk bagi para pemangku kepentingan untuk bekerja bersama untuk memperkecil kesenjangan yang ada. Pada saat bersamaan, strategi jangka panjang wajib dilakukan dengan menyegerakan transformasi pendidikan formal: pendidikan yang adaptif terhadap perubahan yang tak terhindarkan.

Alec Rose dalam bukunya, The Industries of the Future, menuliskan: ”many people will gain, some will gain hugely, but many will also be displaced”. Kira-kira ia ingin menyampaikan pesan bahwa era transformasi digital ini pasti menguntungkan banyak pihak; bahkan beberapa di antaranya mampu memanfaatkan peluang dengan sangat baik, layaknya Ferry Unardi, William Tanuwijaya, Achmad Zakky, dan Nadim Makarim.

Namun, banyak pula yang akan tergusur, yakni mereka yang tidak bergegas untuk beradaptasi dan terus menutup diri.

Dedy Permadi Direktur Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM

Sumber: Kompas, 12 November 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB