Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut harus dikendalikan karena berkait erat dengan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sejarah panjang, baik berupa kesuksesan maupun kegagalan pemanfaatan gambut, harus dijadikan modal dalam pengelolaan gambut di Indonesia.
Demikian antara lain mengemuka pada lokakarya bertajuk “Gambut untuk Budidaya Sawit yang Berkelanjutan, Mungkinkah?”, di Yogyakarta, Selasa (26/4). Lokakarya ini diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pembicara pada lokakarya ini adalah Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jamhari, Wakil Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suwardi, dosen Pascasarjana IPB Ricky Avenzora, dan Direktur Tropical Peat Research Laboratory, Sarawak, Malaysia, Lulie Melling.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jamhari menuturkan, sejarah pemanfaatan lahan gambut di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1930-an oleh Belanda. Selanjutnya ada pula proyek pembukaan persawahan padi pasang surut tahun 1969.
Tingkat keberhasilan pemanfaatan gambut saat itu rendah karena masyarakat Jawa dan Bali yang ditransmigrasikan belum terbiasa berbudidaya di lahan pasang surut. “Baru generasi cucunya keberhasilan lebih baik. Jadi, memang butuh waktu untuk adaptasi dalam mengelola gambut,” kata Jamhari.
Suwardi mengatakan, luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14,9 juta hektar, tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sekitar 6,5 juta hektar lahan gambut di antaranya sudah dibuka untuk berbagai keperluan.
“Kira-kira 3,5 juta hektar gambut dalam kondisi rusak. Kerusakan itu terutama di proyek lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah, Palembang, Jambi, dan Riau,” kata Suwardi.
Menurut Suwardi, kegagalan pemerintah membuka lahan gambut pada masa lalu antara lain karena dilakukan dalam skala terlalu luas.
Selain itu, juga tidak dijaga kelembaban gambut melalui pengelolaan air yang baik. Keberadaan kubah gambut pun tidak dijaga, padahal berperan penting sebagai sumber air.
Suwardi menambahkan, pengalaman petani lokal suku Bugis dan Banjar sebelumnya sudah sukses membudidayakan padi, jagung, karet, dan kelapa pada lahan gambut dangkal di tepian sungai yang terkena pengaruh pasang surut.
Para petani lokal tersebut membuat parit sempit, dangkal, dan tidak terlalu panjang. Parit yang berkelok-kelok terbukti justru mampu menahan laju air sehingga gambut tetap basah.
Mereka juga mampu mengontrol kedalaman muka air dengan sistem sederhana dan tetap menjaga keberadaan kubah gambut.
Sekretaris Jenderal Gapki Togar Sitanggang mengatakan, industri sawit berkontribusi besar menyumbang devisa ekspor dan serapan tenaga kerja. Industri ini harus dikembangkan dengan menjaga keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor subsektor perkebunan kelapa sawit tahun 2015 mencapai 18,654 miliar dollar AS. Menurut Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, serapan tenaga kerja sawit 7,9 juta orang. (CAS)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2016, di halaman 19 dengan judul “Kendalikan Pengembangan Lahan Gambut”.